Sebongkah ide memang tidak pernah bisa dibelenggu. Tapi, agar dapat merayap, sebuah gagasan jelas butuh kaki. Masalahnya, justru di titik inilah hal genting itu terjadi, di mana antara gagasan dan ruang yang tersedia tidak selalu berjalan paralel di Indonesia. Pada masa Orde Baru, benih-benih ide rasanya tidak pernah berhenti menyembul dari ladang pemikiran para intelektual. Bahkan, bila ditelisik jauh ke belakang, perdebatan-perdebatan akademik sudah tumbuh subur, bahkan sebelum kemerdekaan diproklamasikan. Namun, ruang untuk menyemaikan benih-benih gagasan kerap kali ditepis dengan beragam alasan, tentu yang terpenting adalah stabilitas politik. Pada zaman Orde Baru, suara-suara kritis dibungkam demi alasan stabilitas, padahal sebetulnya hanyalah dalih untuk melanggengkan kekuasaan.
Orde Baru dan Ekonomi Rente
Ekonomi Orde Baru sekurangnya berjalan dengan tiga karakteristik penting. Pertama, memfasilitasi terciptanya mental pemburu rente (rent-seekers) yang memunculkan kapitalis semu (erzats capitalism). Usahawan tersebut menjadi besar karena kedekatannya dengan pengambil kebijak¬an sehingga dengan gampang memeroleh fasilitas kebijakan (previlege) untuk memuluskan operasi usahanya, misalnya fasilitas monopoli, tata niaga, kartel, lisensi, dan lain-lain. Inilah yang melatarbelakangi Kunio (1990) menye¬¬but praktik bisnis di Indonesia dengan kapitalisme semu, yakni usahawan yang besar bukan karena jiwa kewirausahaan dan daya inovasi melainkan karena dukungan fasilitas dari birokrasi. Sedangkan negara sendiri turut secara langsung terlibat dalam aktivitas ekonomi melalui per¬usahaan negara (BUMN), yang dalam banyak kesempatan hanya dijadikan sapi perah untuk menafkahi kepentingan-kepentingan politik pemerintah.
Kedua, penghancuran sektor pertanian secara sistematis. Industrialisasi yang dikembangkan tidak menyertakan sektor pertanian sebagai basisnya. Sebaliknya, sudah sejak lama proteksi sektor pertanian dikurangi sehingga kian mempersulit kehidupan petani. Kebijakan pemerintah makin menjauh dari sektor pertanian, antara lain ditunjukkan dari mutasi lahan yang terus berlangsung, infrastruktur pertanian yang rusak, dan kelembagaan ekonomi yang hancur. Hasilnya, tingkat produktivitas dan kompetisi komoditas pertanian Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Sekarang Indonesia merupakan salah satu net importir terbesar untuk komoditas pertanian, semacam kedelai, jagung, gandum, buah-buahan, susu, daging, dan seterusnya. Hal yang sama juga untuk benih yang sebagian besar harus diimpor. Intinya, di sektor pertanian -yang merupakan sumber kedaulatan ekonomi terpenting- Indonesia sudah kalah telak sejak lama.
Ketiga, menyantuni liberalisasi sehingga penetrasi asing tidak bisa dikendalikan. Penetrasi asing itu dapat dilihat dari upaya mereka mendesak pemerintah melakukan liberalisasi pasar, salah satunya melalui program privatisasi. Proyek ini mulai marak sejak 1998 ketika krisis ekonomi terjadi. Saat itu, Indonesia menjadi pasien dari IMF, namun IMF (dan negara maju di baliknya) meminta Indonesia untuk menerima obat yang mereka tawarkan, di antaranya privatisasi. Sejak saat itu, privatisasi menjadi menu utama kebijakan pemerintah, bahkan termasuk ke usaha-usaha yang sebetulnya sangat strategis, seperti telekomunikasi (kasus privatisasi PT. Indosat). Privatisasi itu sekurangnya membawa bencana dalam dua sisi: (i) negara kehilangan sumber pendapatan yang potensial dari BUMN bagus (semisal telekomunikasi dan perbankan); dan (ii) penetrasi asing menjadi lebih kukuh karena pemilik modal yang potensial adalah para taipan dunia itu, bukan dari pemodal domestik.
Krisis dan Laba Politik
Praktik ekonomi yang jauh dari terpuji itulah yang menggelindingkan krisis ekonomi ke Indonesia. Majalah Asiaweek (17/7/1998) mencatat setidaknya terdapat lima deskripsi perekonomian nasional waktu itu: (i) nilai mata uang rupiah sudah merosot mencapai 83,2 terhadap dolar sejak krisis pertama kali menyerang pada bulan Juli 1997 (terbesar dibanding negara lainnya yang juga mengalami krisis); (ii) indeks saham turun cukup besar walaupun kondisinya tidak terlampau parah dibandingkan dengan negara lain; (iii) nilai kapitalisasi pasar turun paling tinggi mencapai angka 88%, yang sesungguh¬nya ini mendeskripsikan bahwa perusahaan-perusahaan telah “mati”; (iv) tingkat suku bunga meroket mencapai 65% pada tahun 1998 akibat kebijakan uang ketat; dan (v) neraca modal selalu defisit, di mana penyumbang defisit terbesar berasal dari sektor swasta, khususnya repatriasi laba PMA.
Semua juga mafhum, bahwa krisis ekonomi itu menjalar menjadi krisis politik yang meluluhlantakkan bangunan sistem politik Orde Baru. Secara ringkas, sistem politik Orde Baru bisa dilipat dalam empat ciri berikut: (i) pentingnya tujuan “maksimalisasi produktivitas dan pertumbuhan eko¬nomi”; (ii) percaya sepenuh hati terhadap tertib politik (stabilitas) sebagai alas pertumbuhan ekonomi; (iii) keyakinan absolut bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat berjalan bila aset produktif diberikan kepada mereka yang cakap dan hasilnya diharapkan menyebar ke seluruh rakyat (trickle down effect); dan (iv) sistem politik dibangun dalam wujud monopolisasi representasi kepentingan pada hampir seluruh level dan gerak masyarakat. Bentuk konkritnya, suara rakyat hanya diwadahi oleh lembaga tunggal yang direstui oleh negara. Kredo inilah yang secara signifikan dan sistematis melemahkan daya kritis dan tenaga tekan rakyat terhadap negara.
Pada titik inilah anugerah krisis tersebut terbuka lebar. Kesumpekan politik yang telah dipendam sekian puluh tahun seperti mendapatkan saluran untuk menyembur dengan deras. Pendeknya, krisis ekonomi menjadi katalisator yang penting bagi rakyat menuntut perubahan, nyaris tanpa bisa dibendung. Seperti yang kita ketahui, tanggul sistem politik berbasis stabilitas politik itu akhirnya jebol. Perubahan politik secara radikal berlangsung dengan cepat dan massif, yang intinya berujung kepada demokratisasi sistem politik. Di sinilah pintu suara kritis/alternatif mendapatkan celah untuk eksis. Ide-ide yang berseberangan dengan pemerintah dibiarkan meluncur tanpa ‘polisi tidur’ yang merintangi. Jadi, dalam konteks ini, krisis justru menjadi kanal pembuka atas macetnya saluran partisipasi publik. Dengan kata lain, di samping meninggalkan ‘ongkos ekonomi’ krisis juga mewariskan ‘laba politik’ yang dirayakan oleh sebagian besar warga.
Rekonstruksi Pembangunan
Momentum inilah yang sekarang harus dimanfaatkan oleh para ekonom untuk mengisi ruang gagasan yang terbuka, sambil berharap ide tersebut dapat memengaruhi pengambil kebijakan. Sekarang sungguh-sungguh dibutuhkan rekonstruksi (konsensus) pembangunan sebagai revisi atas cacat pembangunan yang dijalankan selama ini. Fakta yang tidak dapat ditutupi, kondisi mutakhir menunjukkan ekonomi Indonesia mengidap persoalan serius sekurangnya dalam tiga hal. Pertama, investasi merosot secara drastis dan elastisitas investasi terhadap penyerapan tenaga kerja juga kian rendah sehingga menyebabkan jamaah pengangguran membludak. Kedua, kebijakan ekonomi pemerintah kurang mencerminkan pemihakan terhadap rakyat kecil sehingga kaum miskin terus meningkat secara cepat. Ketiga, pertumbuhan sektor keuangan bergegas dengan cepat namun dengan meninggalkan sektor riil. Akibatnya, ekonomi domestik sangat rentan terhadap guncangan eksternal.
Oleh karena itu, rekonstruksi pembangunan harus menyediakan instrumen untuk memecahkan masalah di atas. Investasi terpenting yang sudah diambil Indonesia adalah desentralisasi ekonomi. Dengan delegasi wewenang kepada daerah untuk memformulasikan desain pembangunan ekonomi, diharapkan watak kebijakan lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat. Di sini perlu dipahami bahwa investasi merupakan syarat perlu (necessary) dalam pembangunan ekonomi, namun belum mencukupi (not sufficient). Investasi yang fokus pada modal dan teknologi hanya akan mengakibatkan barisan pengangguran bertambah, meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi. Di siniah urgensi pemerintah untuk kembali merawat sektor pertanian dan usaha mikro/kecil sebagai pilar pembangunan ekonomi. Pertumbuhan kedua sektor ini dipastikan akan menyerap tenaga kerja dan peningkatan pendapatan sehingga bisa mengatasi dua persoalan sekaligus: pengangguran dan kemiskinan.
Akhirnya, konsensus baru pembangunan harus meletakkan sektor keuangan sebagai basis terpenting pergerakan sektor riil. Di samping itu, liberalisasi sektor keuangan juga harus dikendalikan agar ekonomi domestik kalis dari ombak ekonomi yang datang tiba-tiba. Stiglitz (2007) telah berulang kali menyatakan bahwa negara-negara yang parah diterjang krisis ekonomi, salah satunya disebabkan oleh liberalisasi pasar modal (capital market liberalization). Liberalisasi inilah yang membuka pintu lebar-lebar bagi hilir mudiknya ’uang panas’ (hot money) di negara-negara berkembang. Modal panas ini tidak bersinggungan dengan sektor riil dan dengan cepat keluar dari suatu negara begitu ada insentif yang lebih besar di negara lain. China, India, dan Malaysia merupakan tipikal negara yang pandai memproteksi sektor keuangannya sehingga ekonominya relatif mapan menahan gejolak ekonomi eksternal. Semoga jalan ini akan memandu hari depan rakyat Indonesia menjadi lebih pasti.
Majalah ADIL, No. 23, 23 Agustus – 05 September 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)