Pada masa kampanye ini, beberapa isu perekonomian yang menyangkut pelaku ekonomi â€rakyat†kembali menyeruak ke permukaan. Aneka janji dan program diumbar untuk mengangkat harkat pelaku ekonomi yang selama ini terpinggirkan tersebut. Nasib pelaku ekonomi yang coba diangkat dalam tema kampanye itu antara lain buruh, nelayan, petani, pedagang kecil (pasar tradisional), pemain di sektor infiormal, dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hampir semua partai politik, calon legislatif, dan kandidat presiden berlomba-lomba menempatkan dirinya sebagai pembela kaum ekonomi yang tersisih itu. Dari beberapa pelaku ekonomi kecil itu, salah satu yang paling sering dimunculkan adalah pemihakan terhadap UMKM. Tentu saja kepedulian para aktor politik terhadap entitas ekonomi kecil itu pantas disambut, karena jika komitmen mereka benar-benar direalisasikan maka wajah kehidupan ekonomi di negeri ini bakal berubah drastis.
Relevansi dan Masalah
Sekurangnya terdapat dua alasan mengapa UMKM relevan diperhatikan secara serius. Pertama, struktur ekonomi nasional didominasi oleh UMKM, yakni sekitar 99,9% dari total unit usaha di Indonesia. Jika dikalkulasi, jumlah unit usaha UMKM tersebut mencapai 49 juta dan menampung sekitar 86 juta tenaga kerja. Dengan demikian bisa dibayangkan besaran (magnitude) kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional. Kedua, sayangnya donasi yang begitu besar terhadap perekonomian nasional itu tidak diiringi dengan kontribusi penciptaan nilai tambah yang proporsional terhadap jumlah unit usahanya. Dengan kata lain, sebagian besar orientasi UMKM masih memproduksi barang primer sehingga nisbah ekonominya kecil dibandingkan pelaku ekonomi lainnya (di sisi hilir). Oleh karena itu, misi mengangkat harkat kehidupan pelaku UMKM memang merupakan hal yang niscaya bagi penguatan ekonomi ke depan.
Masalahnya, sampai sejauh ini sedikit sekali kreativitas program yang diluncurkan para kontestan politik. Mereka hanya menyodorkan slogan pemihakan terhadap UMKM (dan pelaku ekonomi rakyat lainnya) tanpa label program di belakangnya. Boleh jadi, kesulitan menyusun program yang baik itu disebabkan keterbatasan pengetahuan atas persoalan UMKM itu sendiri. Jika dirunut, secara mendasar sebetulnya ada dua pokok soal yang dapat diidentifikasi dari UMKM tersebut (meskipun masih banyak masalah lainnya). Pertama, sekitar 75% pelaku UMK tidak dapat mengakses lembaga pembiayaan (bank). Implikasinya, pelaku UMKM sulit mengakselerasi kegiatan ekonominya, meskipun terdapat potensi pengembangan yang besar. Kedua, kurang lebih 80% pula pelaku usaha kecil tidak memiliki izin usaha sehingga kegiatannya tidak memiliki perlindungan hukum. Konsekuensi lainnya, mereka juga sulit membuat kontrak dengan pihak lain.
Di luar itu, studi massif yang dikerjakan oleh Bank Dunia (2006) di Indonesia menemukan 15 faktor yang menjadi kendala bagi pelaku usaha kecil untuk berkembang. Faktor-faktor itu adalah keterbatasan infrastruktur usaha (permodalan dan akses terhadap pasar), lemahnya permintaan atas produk, rendahnya akses ke kredit formal, buruknya akses jalan, tingginya biaya transportasi, mahalnya tingkat bunga, lemahnya akses pasar, kualitas jalan yang rendah, buruknya kualitas listrik, ketidakpastian kebijakan ekonomi, prosedur pinjam uang yang berbelit, kekhawatiran akan cicilan utang, tingginya biaya listrik, adanya pungli dan korupsi, dan minimnya informasi tentang pasar. Temuan ini tentu saja bukanlah hal yang baru, namun tetap memberikan resonansi yang besar. Dengan pengetahuan itu dapat disusun matriks program pengembangan usaha kecil di Indonesia. Setidaknya, setiap program yang didesain dapat menyelesaikan masing-masing masalah yang muncul.
Program Strategis
Secara strategis, desain penguatan usaha kecil dapat dipecah berdasarkan dua tujuan besar. Pertama, transformasi bertahap agar usaha kecil melakukan lompatan ke usaha yang lebih besar (menengah). Selama ini, dari waktu ke waktu jarang terjadi perubahan status sebuah unit usaha kecil yang beranjak ke skala yang lebih besar. Dengan kata lain, tidak terjadi proses perkembangan. Di sini faktor pendukung yang dibutuhkan adalah akses terhadap modal dan perbaikan manajemen (organisasi). Khusus untuk permodalan, semua usaha kecil harus memiliki izin usaha sehingga aset yang dimiliki menjadi bankable. Lebih dari itu, izin usaha akan menjamin kepastian hukum sehingga pelaku ekonomi lainnya (seperti importir) memiliki kepercayaan membuat kontrak (transaksi) dengan usaha kecil tersebut. Selain itu, kapasitas manajerial dan organisasional diperkuat melalui pelatihan dan pembelajaran yang terus-menerus, khususnya dari usaha lainnya yang telah mapan (bukan dari birokrasi).
Kedua, saat ini tidak mungkin sebuah unit usaha bisa maju tanpa melakukan interaksi (aliansi) dengan usaha lain. Pengalaman diberbagai negara, juga beberapa wilayah di Indonesia, usaha kecil yang maju awalnya diiniasi oleh pola pengembangan terpadu (cluster), di mana pusat usaha kecil dikelilingi lembaga penopang yang berada di sekitarnya, misalnya lembaga pembiayaan, riset dan pengembangan (R&D), universitas, pemasok input, organisasi pemasaran, penyedia jasa usaha/bisnis, pemerintah daerah, dan usaha menengah/besar. Jika pola ini dibangun secara terpadu, maka aliansi/kemitraan antara usaha mikro, kecil, menengah, dan besar mudah dikerjakan. Dengan jalan ini, proses pembesaran skala usaha juga lebih cepat dicapai. Setiap pemerintah daerah wajib membangun skema ini sehingga secara nasional akan muncul pulau-pulau pertumbuhan yang dihela oleh usaha kecil. Inilah bekal yang bisa diambil para kontestan politik untuk dipakai berkompetisi mensejahterakan rakyat.
Seputar Indonesia, 18 Maret 2009
*Ahmad Erani Yustika,
Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya