Di dunia yang semakin datar dan tanpa batas ini, terdapat keterkaitan antara kejadian di satu negara dengan peristiwa di negara lainnya. Krisis global sekarang juga bukan perkecualian, meskipun dampaknya dirasakan amat berat di beberapa negara dan tidak terlalu parah di negara lainnya, seperti Indonesia. Hal ini disebabkan ekonomi Indonesia yang tidak bersentuhan terlalu besar dengan pasar finansial di AS. Di samping itu, sebagian juga terjadi pengalihan pangsa ekspor dari AS, Eropa, dan Jepang ke Asia Tenggara dan emerging market (seperti Cina, Brazil, dan Korea Selatan). Meskipun begitu, performa yang relatif baik terhadap badai eksternal tersebut masih diiringi dengan kesinambungan masalah klasik, yakni sulitnya mengeliminasi praktik korupsi. Pemerintah sebetulnya tidak diam selama ini, namun kejadian-kejadian yang terulang membuat kemajuan yang dilakukan pemerintah seperti pupus begitu saja.
Defisit Kelembagaan
Dalam teori ekonomi, biaya dapat berwujud pada dua jenis, yakni biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap tidak dipengaruhi oleh jumlah unit barang/jasa yang diproduksi, sementara biaya variabel ditentukan oleh jumlah unit barang/jasa yang diproduksi. Pada konteks investasi, biaya tetap antara lain ditunjukkan oleh pengeluaran yang dipakai untuk mengurus perizinan dan membuat kontrak. Sementara itu, biaya variabel mencakup perpajakan, pengupahan, pemutusan hubungan kerja, dan lain sebagainya. Di luar itu, investasi juga membutuhkan faktor lain yang penting, yaitu lingkungan makro yang bagus (enabling environment). Di sini, negara yang keamanannya tidak pasti, birokrasi yang berbelit-belit, korupsi terus berkecambah, dan perangkat hukumnya lemah menyebabkan biaya tetap dan variabel menjadi mahal. Implikasinya, perekonomian menjadi sangat rentan terhadap ketidakpastian.
Di sini sekurangnya terdapat tiga faktor yang memengaruhi investasi ditiap negara, yakni iklim usaha, regulasi, dan kelembagaan. Iklim usaha berkaitan dengan perizinan yang sederhana, infrastruktur yang memadai, dan kepastian usaha. Harus diakui faktor ini menjadi masalah serius di Indonesia, khususnya persoalan ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, listrik, dan lain sebagainya. Sedangkan regulasi berkenaan dengan aspek-aspek yang bersentuhan dengan aturan perpajakan, kontrak kerja, pemutusan hubungan kerja, dan lain-lain. Kritik terhadap faktor ini juga cukup besar karena Indonesia sampai kini masih tergolong negara yang kurang fleksibel dalam mendesain regulasi yang sesuai dengan kepentingan dunia usaha. Sementara itu, kelembagaan menyangkut jaminan hak kepemilikan, kepastian hukum, dan tata kelola pemerintahan yang baik; yang celakanya juga berjalan di tempat.
Pada aspek kelembagaan inilah kemajuan yang dicatat pemerintah kurang begitu optimal ketimbang aspek regulasi dan iklim usaha. Dua yang terakhir ini, meskipun kondisinya belum sempurna, tapi pemerintah memiliki geliat yang kuat untuk memerbaikinya. Situasi seperti itu kurang terlihat pada aspek kelembagaan, di mana masalah jaminan hak kepemilikan, kepastian hukum, dan tata kelola pemerintahan kondisinya jauh dari mapan. Di sini, tata kelola pemerintahan masih kerap tergelincir pada praktik “koruptif†yang membuat seluruh upaya perbaikan iklim usaha dan penguatan regulasi menjadi seperti mubazir. Praktik mafia hukum yang dipertontonkan dalam kasus “KPK – Polri†dan malpraktik kebijakan penanganan Bank Century (setidaknya laporan BPK menunjukkan hal itu) merupakan bagain dari episode gelap penguatan kelembagaan yang masih jauh diterapkan negeri ini.
Pulau Ketidakpastian
Kondisi ekonomi global yang masih lesu menyebabkan performa ekspor Indonesia sampai 2010 tidak akan banyak memberikan dukungan bagi pemulihan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekspor pada Triwulan III 2009 masih minus sekitar 8%, meskipun sudah jauh lebih bagus ketimbang dua triwulan sebelumnya. Sedangkan APBN dan stimulus fiskal sukar diharapkan menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi karena jumlahnya yang terbatas. Bahkan, sebagian besar proporsi APBN habis hanya untuk pos belanja rutin pemerintah, seperti membayar pegawai dan belanja departemen. Pengeluaran yang benar-benar untuk pembangunan bisa dikatakan hanya efektif kurang dari 30% dari APBN. Sedangkan stimulus fiskal, berkaca dari pengalaman tahun ini, tidak mungkin diharapkan berbuat banyak karena rendahnya kapasitas birokrasi untuk menyerap dan menyelenggarakan kegiatan produktif.
Untungnya, daya beli masyarakat masih menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi, tetapi terdapat tanda dalam beberapa waktu terakhir mengalami penurunan daya beli yang cukup berarti. Penurunan daya beli itu bisa diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain krisis yang telah berlangsung cukup lama, kian banyaknya pos jaga-jaga yang dilakukan rumah tangga (untuk keperluan pengeluaran kesehatan, pendidikan, dan lain-lain), angka pengangguran yang tidak bisa ditekan secara meyakinkan, dan suku bunga deposito yang relatif menggiurkan. Serangkaian sebab itu secara pasti melemahkan daya beli masyarakat sehingga pemerintah tidak mungkin mengharapkan daya beli masyarakat sebagai penghela pertumbuhan ekonomi. Realitas inilah yang dihadapi perekonomian nasional saat ini sehingga pemerintah harus memiliki sekian banyak skenario untuk bisa keluar dari zona kemandegan ekonomi.
Oleh sebab itu, investasi merupakan satu-satunya cara yang dapat diharapkan sebagai sumber pemulihan ekonomi. Dana segar dari negara-negara yang berjaya karena kenaikan harga minyak, seperti di kawasan Timur Tengah, dapat dijadikan sebagai salah satu sasaran. Tentu saja, kesempatan tersebut baru akan sukses direngguk apabila kasus-kasus koruptif yang selama ini membuat ketidakpastian dapat dihilangkan. Investor perlu diyakinkan bahwa kasus semacam Bank Century dan konflik antara “KPK – Polri†tidak diulangi lagi. Tidak ada jalan lain, kasus semacam Bank Century itu perlu dituntaskan sampai ke akar-akarnya sehingga menjadi pelajaran bagi semua pihak. Jika ini tidak dikerjakan, maka ekspektasi masyarakat, baik domestik maupun asing, akan tetap menganggap Indonesia sebagai bagian dari “pulau ketidakpastian†(island of uncertainty) yang tidak layak dijadikan tempat investasi yang nyaman.
Seputar Indonesia, 15 Desember 2009
*Ahmad Erani Yustika, Wakil Dekan (Akademik) Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Indef