Pada saat penyusunan APBN, salah satu bagian yang paling krusial adalah pembuatan asumsi makroekonomi. Bagian ini sangat genting karena memiliki implikasi terhadap penerimaan negara, besaran belanja, serta alokasi pengeluaran. Asumsi makroekonomi yang dibuat itu antara lain adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, suku bunga (SBN), harga minyak, lifting minyak dan gas, kemiskinan, dan pengangguran. Kekeliruan dalam proyeksi nikai tukar, misalnya, pasti akan berpengaruh terhadap penerimaan negara (khususnya dari minyak), jumlah subsidi (energi), dan pembayaran utang (luar negeri). Hal yang sama juga terjadi pada asumsi makroekonomi lainnya. Lebih dari itu, proyeksi makrekonomi itu dijadikan panduan oleh para pelaku ekonomi untuk merencanakan usahanya. Para pelaku ekonomi tersebut (entah di pasar barang, tenaga kerja, atau uang) menggantungkan sebagian besar keputusannya dari kredibilitas proyeksi ekonomi pemerintah.
Negosiasi Proyeksi
Persoalannya, kredibilitas proyeksi ekonomi itulah yang saat ini dipertanyakan kepada pemerintah. Hampir dalam setiap penyusunan asumsi makroekonomi APBN deviasi proyeksi dengan realisasi cukup jauh. Pemerintah bisa berkilah terdapat faktor yang sulit diantisipasi, seperti krisis ekonomi, sehingga menjadi faktor pengganggu proyeksi tersebut. Tapi bila dibandingkan dengan proyeksi lembaga lain (nasional maupun internasional), deviasi proyeksi dengan realisasi itu amat besar. Lembaga internasional/multilateral, seperti IMF, Bank Dunia, ADB, dan lain-lain juga mengalami kesalahan dalam membuat proyeksi, tapi penyimpangannya tidak sebesar pemerintah. Dalam soal ini, asumsi makroekonomi yang dibuat oleh Bank Indonesia malah lebih bagus, meskipun tidak tepat sepenuhnya. Kasus menarik terjadi pada 2013 ini, pemerintah membuat asumsi pertumbuhan ekonomi 6,8%, tapi pada Triwulan I-2013 hanya terealisasi 6,02%. Pada tahun lalu, BI membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 6,5%, sedangkan Indef 6,3%.
Proyeksi yang meleset cukup jauh itu bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, tapi juga inflasi, nilai tukar, dan harga minyak. Seperti yang telah disampaikan di muka, implikasi terhadap presisi proyeksi yang rendah itu tentu cukup banyak, khususnya potensi penerimaan dan belanja negara. Kejadian itulah yang kemudian membuat pemerintah harus merevisi dan melakukan negosiasi dengan DPR untuk pembahasan RAPBN-P setiap tahunnya. Dalam proses negosiasi itu dua hal yang hampir pasti terjadi. Pertama, prosesnya rumit dan cukup lama, terlebih bila diimbuhi dengan isu sensitif, seperti kenaikan harga BBM. Proses negosiasi yang lama bukan sekadar menguras pikiran dan waktu, tapi juga momentum yang hilang. Kedua, proyeksi yang dibuat atas proses negosiasi memiliki ruang kesalahan kembali karena tidak selalu dipertimbangkan dengan kalkulasi teknokratis. Misalnya dalam kasus RAPBN-P 2013, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekomomi 6,2%, tapi DPR minta 6,5%. Akhirnya kesepakatan dibuat pada angka 6,3%.
Asumsi yang baru tersebut tentu saja memiliki kredibilitas yang juga tak meyakinkan, karena dengan melihat kinerja pertumbuhan ekonomi Triwulan I-2013 yang rendah, penyerapan anggaran yang buruk, dan ditambah dengan kontraksi ekonomi akibat kenaikan BBM, maka potensinya pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 6,1%. Itulah yang kemudian membuat Sofjan Wanandi (Ketua Apindo) sudah tak percaya lagi dengan proyeksi pemerintah. Dia menyatakan, terserah pemerintah mau membuat proyeksi berapapun, tapi dia lebih percaya dengan kalkulasi yang dibuat dunia usaha sendiri (detikfinance, 25/6/2013). Apa yang dirasakan oleh Apindo tersebut saya rasa mewakili perasaan sebagian besar pelaku ekonomi, akibat jauhnya jarak antara proyeksi dan realisasi. Tentu saja ini menyedihkan, karena pada umumnya pemerintah diharapkan menjadi pemandu kegiatan ekonomi, bukan malah menjadi pihak yang menyesatkan masyarakat.
Proyeksi Pesanan
Sulit diterima oleh akal sehat bila lunturnya kredibilitas tersebut disebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kementerian Keuangan dan Bappenas memiliki banyak ekonom hebat yang punya pengetahuan ekonomi lengkap, sehingga tak sulit untuk ramalan ekonomi. Apalagi pekerjaan itu merupakan hal rutin yang tiap tahun dilakukan. Dugaan yang bisa diajukan, pembuatan asumsi makroekonomi yang terlalu optimistik (dalam kasus pertumbuhan ekonomi) disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemerintah ingin membangun suasana optimisme kepada seluruh pelaku ekonomi/masyarakat sehingga kinerja ekonomi yang terealisasi sesuai dengan yang ditargetkan. Kedua, mungkin saja para ekonom di kementerian tersebut sudah membuat asumsi pertumbuhan ekonomi yang realistik sesuai dengan kaidah analisis ekonometrik, namun karena harapan menteri atau presiden agar pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi membuat proyeksi tersebut diubah sesuai dengan pesanan.
Apapun yang terjadi, saat ini penting bagi pemerintah mengembalikan kredibilitasnya, yang sebagian dimulai dari penyusunan proyeksi ekonomi. Ada dua cara yang bisa dipilih pemerintah. Pemerintah boleh meneruskan tradisi sebagai pembuat proyeksi asumsi makroekonomi, namun dengan menempatkan analisis teknokratis sebagai satu-satunya sandaran. Tidak diperkenankan faktor lain, seperti memberi harapan semu kepada pelaku ekonomi atau menyantuni pesanan, memengaruhi penentuan proyeksi ekonomi. Atau, pemerintah melimpahkan pembuatan proyeksi makroekonomi kepada pihak lain. Kanada menyerahkan proyeksi ekonomi kepada sektor privat, AS dilakukan oleh CBO (Congressional Budget Office), Australia diberikan kepada para ekonom, dan Chile memberikan kuasa kepada NGO’s untuk memfasilitasi pertemuan panel ahli (Blondal, 2009). Terserah pemerintah memilih yang mana, tapi harus dipastikan proyeksi itu lebih realistis dan tidak manipulatif.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef