Krisis ekonomi 1997/1998 telah melantakkan sendi-sendi perekonomian nasional karena skalanya yang sangat massif. Namun, krisis 10 tahun lalu itu masih menyisakan beberapa pelaku ekonomi di daerah yang justru lebih bergairah akibat krisis ekonomi. Saat itu, beberapa komoditas perkebunan harganya melambung di pasar internasional. Kebetulan pula, krisis ekonomi membuat rupiah merosot nilainya. Pada momentum itu, daerah-daerah dan pelaku ekonominya yang kebetulan memiliki komoditas pertanian/perkebunan malah mendapatkan boom karena krisis ekonomi. Akibat situasi itu, para pelaku ekonomi yang mempunyai basis kegiatan di sektor perkebunan malah berharap krisis jangan cepat berlalu. Kali ini, krisis ekonomi juga terjadi lagi, tentu dengan sebab yang berlainan ketimbang 10 tahun silam. Jika dikaitkan dengan posisi daerah, pertanyaan yang penting diajukan, apakah daerah (dan pelakunya) masih diuntungkan seperti krisis 1997/1998 lalu?
Karakteristik Krisis
Fakta yang tidak bisa ditutupi adalah realitas bahwa sektor ekonomi yang paling terguncang oleh krisis kali adalah pasar finansial (pasar modal). Perembetan krisis finansial di AS berlangsung amat cepat tanpa sempat pelaku ekonomi domestik (Indonesia) melakukan langkah antisipasi untuk mengeluarkan investasi portofolionya di sana. Implikasinya, sebagian pelaku di lantai bursa ikut ambruk bersamaan dengan tumbangnya pasar finansial dunia. Selanjutnya, tanpa bisa dicegah lagi, kepanikan merembet ke semua pelaku di pasar modal, walaupun sesungguhnya sebagian tidak terkait dengan pasar di AS. Inilah yang membuat pondasi pasar modal di tanah air limbung akibat terjadi kolektivitas kepanikan. Tidak sampai di sini, skala krisis kemudian menjadi meluas karena pemerintah gagal mengisolasi rembetan krisis ke nilai tukar. Penurunan nilai tukar rupiah mengakibatkan pelaku ekonomi semakin tertekan, apalagi bagi mereka yang utangnya (dolar AS) jatuh tempo.
Deskripsi itu memberikan peta yang agak jelas bahwa secara teoritis krisis kali ini akan mengakibatkan dua sektor/pelaku ekonomi yang paling terkena dampak. Pertama, hancurnya pasar modal membuat kapitalisasi perusahaan-perusahaan yang tercatat di lantai bursa menjadi merosot drastis. Saat ini terdapat beberapa saham perusahaan yang cuma bernilai Rp 50/saham (lebih murah dari harga permen). Dalam beberapa aspek, situasi ini hampir sama dengan krisis 1997/1998. Akibat penurunan harga saham itu, banyak perusahaan besar sekarang ini sedang mengalami kesulitan likuiditas, bahkan sebagian sudah dilego ke pihak lain, termasuk pelaku ekonomi asing. Kedua, krisis ini juga memukul sektor industri yang berorientasi ekspor dan/atau tergantung bahan baku impor (dalam proses produksinya). Industri yang berorientasi ekspor hancur karena perlambatan ekonomi dunia, sedangkan yang berbahan baku impor juga ambruk karena kurs rupiah yang terus merosot.
Jadi, secara proyektif pelaku ekonomi skala menengah/kecil yang sebagian besar outputnya dijual ke pasar domestik, atau seluruh bahan bakunya mengandalkan sumber ekonomi domestik, tidak banyak mengalami gangguan. Masalahnya, beberapa hal yang dulu terjadi pada krisis 1997/1998 saat ini tidak terulang. Midalnya, krisis kali ini justruĀ didahului oleh penurunan harga-harga komoditas pertanian di pasar internasional. Implikasinya, daerah-daerah produsen komoditas pertanian (dan perkebunan) saat ini tidak bisa mengambil keuntungan di tengah krisis ekonomi. Bahkan, beberapa pelaku ekonomi kecil di sektor perkebunan (misalnya petani kelapa sawit) terjerat kredit sehingga harus menjual kebunnya. Lainnya, pasar ekonomi dunia mengalami perlambatan yang jauh lebih berat daripada Indonesia, sehingga potensi untuk merebut pasar internasional menjadi tertutup. Ini juga memukul beberapa daerah yang sebagian komoditasnya dijual ke pasar dunia.
Paket Kebijakan Daerah
Bagi sebagian daerah, khususnya daerah tertinggal, memang situasi kali ini sangat berat, meskipun secara teoritis seharusnya dampaknya tidak akan sampai ke sana (daerah). Sekurangnya terdapat tiga hal yang akan dirasakan daerah akibat krisis ekonomi saat ini. Pertama, sektor pertanian dan perkebunan terpukul karena penurunan harga internasional dan perlambatan ekonomi dunia. Sekarang sudah terdapat beberapa petani kecil yang menjual kebunnya agar terhindar dari jebakan kredit. Kedua, munculnya pengangguran baru, khususnya mereka yang terlempar (push-out) dari kegiatan di sektor pertanian/perkebunan. Akselerasi pengangguran ini akan semakin cepat bila tren harga komoditas pertanian di pasar internasional tidak segera pulih. Ketiga, pendapatan asli daerah juga berpotensi merosot, khususnya daerah-daerah yang sangat menggantungkan penerimaan dari sumber daya alam (minyak, gas, batubara, dan lain-lain). Akibatnya, APBD akan terganggu dan menekan pembangunan daerah.
Menilik analisis tersebut, maka pemerintah diharapkan tidak mengonsentrasikan solusi krisis hanya ke sektor finansial dan industri. Pemerintah harus mengalokasikan kebijakan dan sebagian sumber daya ekonomi ke daerah, karena dampak krisis juga sangat dirasakan di daerah. Dua paket kebijakan yang penting untuk dirumuskan adalah crash-program di bidang infrastruktur dan penguatan sektor pertanian/perkebunan. Infrastruktur daerah harus menjadi prioritas ketimbang di pusat (Jakarta/Jawa) karena akan menggaransi bagi loncatan pemulihan ekonomi daerah. Program ini sekaligus dapat menyerap tenaga kerja, khususnya apabila dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur pedesaan/pertanian. Sedangkan penguatan sektor pertanian ditempuh dengan jalan relaksasi modal bagi petani kecil dan percepatan pembagian lahan. Dengan jalan ini, semoga dampak krisis bisa sedikit diredam sehingga daerah tidak kembali terperosok di lubang yang sama.
Seputar Indonesia, 11 Desember 2008
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya