Dalam literatur ekonomi dikenal istilah â€Engel’s Lawâ€, yang sampai kini terus bertahan karena tetap relevan. Hukum yang ditemukan oleh Ernst Engel (1821-1896) itu menyatakan: â€semakin tinggi pendapatan individu, maka proporsi konsumsi pangan (barang primer) akan semakin menurunâ€. Implikasinya, tambahan pendapatan tersebut akan digunakan membeli barang/jasa sekunder dan tersier. Jika ditarik pada level negara: kian tinggi pendapatan per kapita, maka akan meningkatkan konsumsi barang/ jasa di sektor industri atau jasa. Inilah yang terjadi saat ini, di mana permintaan barang/jasa di sektor sekunder dan tersier terus melesat dengan pertumbuhan yang mencengangkan. Sementara itu, pertumbuhan sektor pangan tidak terlalu dramatis karena hanya mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu sektor sekunder yang paling dinamis pertumbuhannya adalah industri elektronika, termasuk yang dialami oleh Indonesia.
Industri Elektronika Nasional
Krisis ekonomi memang telah melantakkan ekonomi nasional dari banyak penjuru. Secara umum, pembusukan kegiatan ekonomi itu dipicu oleh dua sumber. Pertama, perusahaan yang berorientasi ekspor pasti hancur karena pasar internasional sedang lunglai. Kedua, korporasi yang memakai sebagian bahan baku dari impor juga bakal tergulung karena nilai kurs (rupiah) yang anjlok. Implikasinya, biaya produksi menjadi meningkat yang tentu memengaruhi peningkatan harga jual. Situasi inilah yang terjadi di sektor industri elektronika. Sepanjang perjalanan pengembangan industri elektronika di Indonesia, sampai kini sebagian produksinya sudah diorientasikan kepada ekspor. Naasnya, pertumbuhan ekspor ini bakal tertahan karena pasar dunia yang lesu. Di samping itu, ongkos produksi juga kian mahal karena sebagian komponen industri elektronika harus diimpor. Dengan begitu, kedua penyebab sumber itu dialami sekaligus oleh industri elektronika di Indonesia.
Sungguh pun begitu, situasi di atas tidak lantas membuat industri elektronika nasional mati suri. Data terbaru yang ada mengkonfirmasi bahwa volume eskpor memang mengalami penurunan, tapi pasar domestik masih cukup bagus. Memang volume penjualan mengalami penurunan, tapi secara umum nilai penjualan masih meningkat (antara lain disebabkan oleh kenaikan harga barang). Pada kuartal I/2009 diperkirakan nilai pasar elektronika meningkat menjadi 4,25% dibandingkan periode yang sama 2008. Dari sisi harga, sejak kuartal IV 2008 para produsen industri elektronika sudah menaikkan harga 8-10%. Pelemahan rupiah sendiri telah mendongkrak biaya produksi sekitar 20%. Dengan berdasarkan asumsi-asumsi di atas, diprediksi pada 2009 penjualan elektronika masih akan tumbuh 5-10%, atau senilai Rp 20 triliun (pada 2008 nilai penjualan sekitar Rp 18 triliun). Jadi, dalam beberapa aspek industri elektronika masih tetap akan bertahan.
Namun, di balik kemajuan dan daya tahan industri elektronika dalam menghadapi krisis ekonomi, masih terdapat masalah yang cukup krusial. Persoalan itu tidak lain adalah kemandirian industri eleketronika itu sendiri. Pertama, pemain besar di industri elektronika adalah pelaku asing melalui penanaman modal asing (PMA). Indonesia hanya dijadikan sebagai tempat produksi dan pasar barang, sehingga keuntungan yang diperoleh tidak mencerminkan pendapatan yang diterima oleh ekonomi domestik. Bahkan, bila sebagian produksi itu diekspor, maka kemungkinan laba akan direpatriasi ke negara asal. Kedua, kandungan impor dari industri elektronika cukup besar, di mana untuk keseluruhan sektor industri berkisar 10,9 – 63,7% (Indef, 2008). Implikasinya, sebagian dari keuntungan produksi merupakan milik negara lain. Jadi, dari kacamata ini terlihat struktur industri elektronika sebenarnya masih rapuh karena mengandalkan pelaku maupun bahan baku asing.
Skenario Kebijakan
Mencermati deskripsi tersebut, tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah memberdayakan potensi ekonomi domestik agar terlibat secara penuh dalam pengembangan industri elektronika. Secara teoritis, sekurangnya terdapat tujuh subsistem yang harus diurus untuk mendukung pertumbuhan industri komponen elektronika, yaitu subsistem industri komponen, permintaan domestik, ekspor impor, tenaga kerja, bahan baku, pemerintah, dan industri elektronika (Sutarto, 2008). Dari komponen-komponen tersebut, hanya aspek permintaan domestik dan tenaga kerja yang relatif telah berjalan dengan baik. Sementara itu, aspek-aspek yang lain perlu sentuhan lebih kuat lagi, khususnya dalam membangun pelaku ekonomi domestik yang tangguh, bahan baku, dan perdagangan internasional (ekspor – impor). Di sinilah peran pemerintah menjadi penting karena pengembangan komponen-komponen itu menghendaki intervensi kebijakan pemerintah dengan dosis dan arah yang tepat.
Secara umum, skenario kebijakan yang bisa didesain pemerintah berada dalam tiga ruang lingkup, yakni peningkatan tarif bea masuk, local content, dan produktivitas tenaga kerja. Riset yang dilakukan oleh Sutarto (2008) menunjukkan bahwa ketiga kebijakan itu dapat memberikan hasil yang positif bagi pertumbuhan industri. Secara lebih spesifik, kebijakan peningkatan tarif bea masuk memberikan hasil yang paling baik di antara ketiga kebijakan yang diterapkan. Kebijakan tarif bea masuk memberi ruang bagi pelaku ekonomi nasional untuk mengembangkan diri, sekaligus menahan penetrasi produk asing ke pasar domestik. Jika pada saatnya nanti industri elekronika sudah kuat, kebijakan tarif bea masuk itu bisa dilepas dan diganti dengan kebijakan lain. Intinya, pemerintah mesti memperkuat struktur industri terlebih dulu, baik pemain maupun proses produksinya, setelah itu baru berbicara tentang perluasan pasar pada level dunia/internasional.
Seputar Indonesia, 6 April 2009
*Ahmad Erani Yustika,
Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya