Secara teoritis krisis nilai tukar kali ini bersumber dari dua hal. Pertama, pembalikan arus modal keluar (capital outflow) saat negara maju (seperti AS dan sebagian negara Eropa Barat) perekonomiannya membaik. AS, misalnya, angka pengangguran terbuka sekarang sudah turun menjadi sekitar 7%, setelah sebelumnya bertengger pada kisaran 10%. Di tambah lagi, arus modal ke dalam negeri berkurang akibat pemerinah AS akan mengurangi secara bertahap kebijakan quantitative easing (QE) sehingga investasi langsung dan portofolio tertekan. Kedua, selama ini Bank Indonesia (BI) dan pemerintah dianggap menggunakan kebijakan moneter dan fiskal yang longgar, yakni BI rate yang cenderung turun (dan bertahan cukup lama) dan defisit fiskal yang terus meningkat. Implikasinya, BI rate yang rendah mendorong dana keluar dan defisit fiskal menambah utang (sebagian dalam bentuk dolar) yang keduanya memicu depresiasi rupiah.
Fiskal dan Moneter
Akumulasi dari dua sebab itulah yang secara mendasar mendorong penurunan nulai tukar. Pada sumber yang pertama, perekonomian nasional sangat tergantung dari luar negeri. Penanaman modal asing langsung (PMA) secara persisten menyumbang setidaknya 70% dari total investasi. Selain itu, SBI (Sertifikat Bank Indonesia) disokong sekitar 30% oleh asing, demikian pula dengan SUN (Surat Utang Negara). Dalam proporsi yang lebih besar terjadi di pasar saham, di mana sekitar 70% pemain dan volume transaksi dikuasai oleh asing. Jadi, jika perekonomian nasional dalam beberapa tahun terakhir dianggap tumbuh sangat dinamis, sebetulnya sebagian (besar) didorong oleh kekuatan luar negeri. Pada saat ekonomi sedang stabil (ditambah dengan fundamental ekonomi yang baik), situasi tersebut tidak terlalu menimbulkan persoalan. Namun, begitu ekonomi suhunya mulai memanas, maka isntrumen yang tadinya menjadi sumber pertumbuhan berubah menjadi pemicu malapetaka.
Bagaimana dengan kebijakan moneter dan fiskal? Pada era Darmin Nasution sebagai Gubernur BI, 2010-2013, kebijakan moneter dibuat longgar dengan menurunkan BI rate secara bertahap. Darmin Nasution bukanlah pemeluk aliran monetaris sehingga kebijakannya lumayan memihak sektor riil. Dengan BI rate yang rendah, kredit dapat direlaksasi agar investasi meningkat. Kebijakan ini juga ditopang oleh inflasi yang cukup rendah dalam 3 tahun terakhir (setelah sempat meningkat pada 2008 lalu akibat kenaikan BBM dan pangan). Hasilnya, saat Darmin Nasution meninggalkan pos Gubernur BI, BI rate berada dalam posisi yang cukup rendah (5,75%). Ini merupakan rekor BI rate paling rendah selama ini. Tentu saja kebijakan ini juga ada biayanya jika tidak dikelola dengan hati-hati. Arus modal yang deras masuk akibat prospek investasi yang bagus telah menimbun dana asing dalam jumlah besar yang sewaktu-waktu bisa dibawa keluar. Realitasnya, inilah yang sekarang terjadi.
Berikutnya, di sisi fiskal akumulasi utang yang sangat besar untuk membiayai anggaran defisit menyebabkan keseimbangan primer terancam (penerimaan dikurangi belanja, di luar pembayaran utang). Sejak 2011 lalu keseimbangan primer APBN telah defisit dan ini menjadi sinyal betapa tidak sehatnya anggaran pemerintah. Pemerintah selalu menggunakan rasio utang terhadap PDB (dan defisit fiskal terhadap PDB) untuk meyakinkan bahwa APBN masih sehat. Tentu saja data itu boleh dipakai pemerintah, namun indikator lain tak boleh diabaikan agar situasi yang sebenarnya terjadi bisa dilihat secara utuh. Lebih memprihatinkan lagi, kemampuan bayar utang pemerintah makin lemah karena debt service ratio (DSR) membengkak menjadi 4,4 persen pada Triwulan II – 2013. DSR dihitung berdasarkan pembayaran utang dibagi penerimaan ekspor. Pada saat pembayaran utang makin membesar dan ekspor menurun, maka DSR akan meningkat. DSR dianggap aman jika tak lebih 30 persen.
Lalu Lintas Modal
Di luar aspek teoritis di atas, apa yang sebetulnya terjadi di pasar? Karakteristik pasar di sektor keuangan di Indonesia dicirikan dengan banyaknya pelaku yang tidak berorientasi investasi (dalam jangka panjang), tapi para spekulan yang ingin meraih laba dalam jangka pendek. Itu terjadi pada hampir semua instrumen di sektor keuangan, baik di deposito bank, pasar saham, SUN, SBI, dan lain-lain. Celakanya, sebagian dari pelaku itu adalah asing yang dengan mudah mengkonversi investasi jangka pendeknya itu ke dolar dan dibawa kabur ke negara asalnya. Dalam siuasi inilah perilaku kawanan (herd behaviour) muncul: satu pelaku yang panik dan mengkampayekan kerentanan ekonomi dengan cepat diikuti oleh pelaku lainnya. Sudah sejak lama pemerintah dan BI diminta untuk menggiring pelaku itu menjadi investor sejati dengan paket edukasi dan regulasi, tapi sampai sekarang tak juga dikeluarkan, misalnya pengendalian lalu lintas devisa dan aturan soal short-selling di pasar saham.
Bagaimana efektivitas paket ekonomi pemerintah yang baru dikeluarkan ini? Dari empat pokok paket itu yang memiliki dimensi jangka pendek hanya satu, yaitu pengenaan pajak impor barang-barang mewah. Kebijakan ini secara kuantitatif tidak banyak membantu, namun memberikan sinyal yang cukup baik. Selebihnya, pemerintah mengadopsi paket kebijakan yang memiliki dimensi jangka menengah, seperti mendorong ekspor, menjaga daya beli, dan mempercepat investasi. Persoalan investasi bahkan sudah dikeluarkan paketnya sejak Boediono menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, yang sampai saat ini sangat lambat dijalankan. Saat ini yang dibutuhkan dalam jangka pendek adalah merevisi APBN-P 2013 agar defisitnya di bawah 2 persen dan pembatasan lalu lintas modal (termasuk repatriasi PMA). Mendorong ekspor dan daya beli tidak mudah dikerjakan jika pasar internasional masih berawan dan inflasi tidak dikendalikan pemerintah. Sekali lagi, pemerintah cuma bermain pada kebijakan konservatif saat persoalan sudah lumayan gawat.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef