Krisis nilai tukar belakangan ini, meskipun sekarang agak mereda, untuk kesekian kali memberikan peringatan dan hikmah kepada pemerintah agar mengelola perekonomian dengan dasar-dasar yang benar. Pertama, pada pokoknya perekonomian berjalan dan diuji ketangguhannya dengan basis fundamental ekonomi. Kinerja fundamental ekonomi bukan hanya ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi, namun keseluruhan derap ekonomi yang bisa dilihat dari stabilitas ekonomi (inflasi, nilai tukar, fiskal), aspek sosial–ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan), dan daya dorong ekonomi (konsumsi rumah tangga, investasi, perdagangan). Kedua, relasi dengan negara lain ataupun dunia internasional harus dalam kerangka membangun penguatan ekonomi domestik dan penambahan kapasitas ekonomi nasional, bukan sekadar membuka perekonomian. Jika keterbukaan ekonomi dilakukan tanpa urutan dan tingkat kedalaman yang terukur, maka justru malapetaka yang bakal terjadi.
Fundamental Ekonomi
Pemerintah sudah lama diingatkan bahwa jalan perekonomian telah menuju ke arah yang menyimpang. Tanda-tanda fundamental ekonomi yang keropos sudah ditunjukkan dengan sangat jelas, namun pemerintah bergeming. Alih-alih melakukan perubahan kebijakan agar kemudi perekonomian menjadi lurus, pemerintah malah kukuh bahwa situasi ekonomi sedang sehat dan terus tumbuh dengan meyakinkan. Pemerintah selalu menyampaikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rasio utang yang rendah, pendapatan per kapita yang makin meningkat, dan investasi yang melambung sebagai contoh kekuatan fundamental ekonomi nasional. Puja-puji dari negara lain dan lembaga internasional kian membuat pemerintah terlena, bahkan terjebak dalam sikap pongah, sehingga alpa untuk melihat kelemahan ekonomi yang sedang terjadi. Bahkan, krisis ekonomi yang kerap terjadi (dengan interval waktu yang kian pendek), seperti pada 2008, 2010, dan 2013; tidak membuat pemerintah lekas siuman.
Dari sekian banyak persoalan yang terkait dengan rapuhnya fundamental ekonomi, sebagian dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pada era 1990-an dan pasca-reformasi ekonomi (1998), proses transformasi ekonomi mengalami masalah yang mendasar. Sektor industri yang dikembangkan tidak bertumpu kepada sektor basis sehingga pendalaman industrialisasi terkendala oleh banyak rintangan. Sangat sedikit komoditas primer strategis nasional yang diolah menjadi barang olahan sehingga menjadi andalan ekspor. Sebagian besar ekspor malah didonasikan oleh barang-barang primer yang harganya rendah dan fluktuatif di pasar internasional. Akibatnya, sektor industri berkembang dengan tanpa mengakselerasi sektor pertanian (dalam arti luas) dan sedikit membuka lapangan kerja. Selanjutnya, sektor industri itu juga sulit maju karena bahan baku pasokannya ditentukan oleh ketersediaan di luar negeri, yang membuat daya saingnya rendah. Hasilnya, Indonesia secara berangsur sejak 2005 malah mengalami gejala deindustrialisasi (peran sektor industri terus menurun).
Demikian pula, soal lain yang cukup meresahkan adalah ketergantungan investasi dari pemain luar negeri. Investasi merupakan tulang punggung perekonomian karena menyerap tenaga kerja dan menciptakan barang/jasa yang bisa diperjualkan di pasar. Dalam konteks ini, perlu diperhatikan bahwa faktor kepemilikan investasi menjadi unsur penting sebab nisbah ekonomi ditentukan oleh kepemilikan tersebut. Lazimnya, pemilik (investor) akan mendapatkan bagian yang lebih besar. Jadi, isunya bukan hanya kenaikan investasi, tapi juga siapa pemilik investasi tersebut. Pada titik ini, persoalan investasi di Indonesia mengemuka, yakni sebagian besar penanaman modal disumbang oleh investasi asing (sekitar 70% dari total nilai investasi). Aneka kebijakan dan insentif investasi diberikan kepada investor asing, jarang menyentuh investasi dalam negeri, sehingga wajar bila nisbah yang diterima Indonesia lebih sedikit. Sebagian besar laba PMA itu dibawa lagi ke negara asalnya (repatriasi) dan menjadi sumber defisit transaksi berjalan.
Kontrol Modal
Pola yang sama juga terjadi pada investasi portofolio dan sektor keuangan. Liberalisasi sektor keuangan telah berlangsung di Indonesia sejak pertengahan 1960-an dan makin kencang pada dekade 1980-an. Kontrol modal sudah dilepas sejak masa Orde Baru sehingga arus lalu lintas uang dengan mudah keluar-masuk pasar Indonesia lewat berbagai macam instrumen. Sektor perbankan dibuka secara total dari pelaku ekonomi asing melalui aneka kebijakan deregulasi pada 1983 dan 1988. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan tingkat keterbukaan sektor keuangan yang tinggi di Asean, hanya di bawah Singapura. Bank-bank asing sangat mudah masuk dan membuka cabang di Indonesia disaat negara lain begitu protektif untuk menerima kehadiran bank asing. Jumlah bank asing dan cabang yang dibuka tumbuh pesat belakangan ini di Indonesia. Demikian pula, instrumen surat berharga dan pasar saham disesaki oleh investor asing, jauh meninggalkan pemain dalam negeri.
Pada saat terjadi krisis nilai tukar, penyebab pendalaman krisis itu tak lain berasal dari sektor keuangan. Pemegang surat berharga, baik SBI maupun SUN, dengan cepat menjualnya saat ekonomi sedang luruh sehingga menekan lebih dalam nilai tukar rupiah. Di pasar saham situasi juga sama, para pelaku ekonomi di pasar saham ramai-ramai menjual saham (yang 70% dikuasai oleh asing) sehingga IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) luluh lantak ke titik nadir. Seandainya pemerintah tidak terlalu membuka diri sektor keuangannya, cukup mudah untuk mengendalikan terjadinya fluktuasi di pasar keuangan, yang kemudian menjadi sumber pemberat terjadinya krisis nilai tukar. Sektor keuangan sendiri yang tadinya digunakan sebagai pendukung dan pelayan sektor riil justru menjadi sumber pendapatan/spekulasi dan menjadi dunia ekonomi yang terpisah dengan sektor riil. Akibatnya, pertumbuhan sektor keuangan tidak memiliki korelasi dengan gerak dan dinamika sektor riil.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah dan BI mestinya memanfaatkan krisis nilai tukar sebagai cara untuk mengeluarkan racun spekulasi di sektor keuangan, yang dikenal dengan istilah hot money. Pemerintah dan BI perlu lekas bertemu untuk merumuskan perubahan UU kontrol modal sehingga nantinya uang dari luar negeri tidak seenaknya keluar-masuk ke pasar Indonesia sesuka hatinya. Demikian pula, instrumen SBI dan SUN dipastikan harus steril dari unsur spekulasi yang berharap laba dalam jangka pendek, yaitu dengan jalan meningkatkan lama masa pegang surat berharga tersebut, misalnya minimal 1 tahun. Sangat disayangkan apabila BI saat ini justru membuka kembali kepemilikan SBI dalam jangka pendek (1 bulan atau 3 bulan), padahal praktik ini telah menjadi sumber pendalaman krisis. Singkatnya, pekerjaan rumah sebetulnya sudah terbentang jelas, tinggal apakah pemerintah dan BI memiliki kemauan melakukan penataan sebagai dasar penguatan fundamental ekonomi di masa mendatang.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef