Peristiwa tiga tahun lalu, tepatnya pada semester pertama 2008, saat ini berpotensi terulang lagi. Krisis pangan dan minyak dunia menjadi sumber malapetaka saat itu karena Indonesia telah menjadi importir penting untuk kedua barang tersebut. Harga minyak internasional nyaris menembus US$ 150/barel dan indeks harga pangan melambung tidak terkendali. Akibat kenaikan harga minyak dan pangan membuat inflasi pada 2008 melambung menjadi 11,06%. Tentu saja, inflasi pangan dan minyak secara riil jauh lebih tinggi ketimbang angka inflasi tersebut, karena keduanya menjadi sumber terpenting pembentuk inflasi. Kejadian itu mirip dengan 2010 lalu, di mana inflasi nasional sebesar 6,96%, tetapi inflasi pangan sendiri mencapai 17,7%. Inflasi bukan saja membuat daya saing komoditas domestik menjadi menurun, namun yang lebih mencemaskan adalah turunnya daya beli masyarakat sehingga menggerogoti kesejahteraan mereka.
Melacak Daya Beli
Tidak mudah mengidentifikasi daya beli masyarakat secara riil, khususnya berkenaaan dengan masalah pangan. Namun, dengan patokan bahwa rata-rata 50% pendapatan rumah tangga di Indonesia dihabiskan untuk konsumsi pangan, maka tidak sulit menghitung dampak kenaikan harga pangan terhadap daya beli masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Rakyat miskin sendiri menjadi fokus di sini karena konsumsi pangan mereka bisa menghabiskan 70-80% dari total pendapatannya. Data kemiskinan menunjukkan, pada 2010 persentasenya mencapai 13,3% atau sekitar 31,02 juta jiwa. Namun, sebetulnya yang bisa digolongkan orang miskin yang rawan terhadap kenaikan harga pangan lebih banyak dari itu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sekurangnya terdapat 29,3 juta jiwa lagi yang berada dalam kondisi “hampir miskinâ€. Kelompok ini dipastikan juga riskan terhadap guncangan harga pangan.
Dengan begitu, jumlah penduduk yang betul-betul akan mendapat beban sangat buruk dari krisis pangan (dan minyak) saat ini mencapai 60 juta penduduk. Kelompok ini bakal langsung terperangkap dalam kubang kemiskinan ekstrem apabila harga pangan meningkat, misalnya kenaikan 10-20%. Kalkulasi kasarnya, jika diasumsikan kelompok ini membelanjakan 70% pendapatannya untuk konsumsi pangan, maka setiap kenaikan 10% harga pangan menyebabkan persentase belanja pangan meningkat 7% dari total pendapatan (dengan asumsi mereka tidak mengurangi volume konsumsi pangan). Jika angka ini dijadikan patokan, maka hanya tersisa 23% dari pendapatan yang bisa dibelanjakan untuk kebutuhan lainnya, seperti pakaian, rumah (listrik, air), pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Sebaliknya, jika mereka tidak ingin mengorbankan pengeluaran non-pangan, maka berarti kaum miskin harus mengurangi belanja pangannya.
Faktanya, saat ini kenaikan harga pangan 10% itu menggunakan asumsi yang sangat konservatif. Seperti yang telah disebutkan di muka, pada 2010 saja inflasi harga pangan mencapai 17,7%. Jika inflasi pangan itu dibulatkan menjadi 20%, maka konsumsi pangan kelompok miskin melonjak menjadi 84% dari total pendapatan. Bayangkan, apakah mungkin mereka hanya membelanjakan 16% sisa pendapatannya untuk keperluan pakaian, rumah, pendidikan, dan kesehatan? Â Â Â Itulah gambaran pola konsumsi dan daya beli sekitar 60 juta penduduk paling miskin di Indonesia. Mereka tergolong kelompok yang paling terpapar akibat kenaikan harga pangan. Di luar itu, sebetulnya masih ada lagi 40-50 juta jiwa yang rentan terhadap kenaikan harga pangan, yakni kelompok yang pendapatannya antara US$ 1-2/hari, di mana mereka ditaksir membelanjakan sekitar 60% pendapatannya untuk konsumsi pangan. Jika kenaikan harga pangan lebih dari 20%, maka kelompok ini juga bakal mengalami kesulitan hidup.
Trilogi Patologi Ekonomi
Dalam soal daya beli ini, akar dari rangkaian problem itu berasal dari trilogi penyakit ekonomi berikut, yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran. Celakanya, kinerja pemerintah dalam tiga patologi akut itu bisa dikatakan jauh dari memuaskan. Pertama, meskipun dana dan segepok kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, namun penurunan jumlah orang miskin tidak menunjukkan data yang impresif (Grafik 1). Pada 1990, persentase kemiskinan sebesar 15,1% atau setara 27,2 juta penduduk kala itu. Pada 2010, persentase penduduk miskin sebesar 13,33% (31,02 juta jiwa). Bayangkan, selama 20 tahun persentase kemiskinan hanya turun 1,8%! Selama kurun 2005-2009 total dana langsung yang digulirkan untuk mengatasi kemiskinan sebesar Rp 245,2 triliun. Tetapi, anggaran itu hanya menurunkan angka kemiskinan dari 16,0% (2005) menjadi 14,2% (2009). Ini menunjukkan betapa tidak efektifnya pemanfaatan anggaran untuk pengurangan kemiskinan.
Grafik 1: Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 1990-2010
Sumber: Statistik Indonesia dan Data Sosial Ekonomi, BPS (berbagai tahun)
Kedua, ketimpangan pendapatan meningkat seiring laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seperti yang terlihat pada Grafik 2, Rasio Gini meningkat hingga mencapai 0,36 pada 2009 (rentang Rasio Gini antara 0 – 1, di mana angka 1 berarti ketimpangan sempurna). Hal ini dapat dijelaskan lewat dua cara: (i) terdapat tendensi kesenjangan antara inflasi dan upah minimum (provinsi) semakin tipis. Beberapa tahun lalu (misalnya 2001), persentase kenaikan upah minimum jauh lebih besar ketimbang inflasi, namun dalam beberapa tahun terakhir (misalnya 2008) proporsi kenaikan inflasi nyaris sama dengan kenaikan upah minimum; dan (ii) pertumbuhan antarsektor ekonomi semakin pincang. Pada 2010, misalnya, sektor pertanian hanya tumbuh 2,9% dan sektor industri 4,5%. Jika dibuat rata-rata, kedua sektor itu tumbuh 3,7% saja. Sebaliknya, sektor non-tradeable yang tidak banyak menyerap tenaga kerja justru tumbuh rata-rata 7,7%. Inilah sumber terpenting ketimpangan tersebut.
Grafik 2: Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini
Indonesia 2002-2009
Sumber: Diolah dari BPS, 2010
Ketiga, pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan penurunan (meskipun amat pelan), tapi jumlah pekerja yang tergolong setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) masih sangat besar, diperkirakan mencapai 30 juta jiwa. Lebih mengecewakan lagi, jumlah pekerja yang masuk ke sektor informal terus tumbuh sehingga sampai 2009 lalu mencapai 65% dari total tenaga kerja. Fenomena ini terjadi karena faktor-faktor berikut: desain insentif yang tidak bekerja di sektor pertanian, mahalnya biaya izin usaha, perilaku rent-seeking dalam promosi sektor ekonomi, akses permodalan yang tidak berjalan maksimal, dan ketiadaan perlindungan hukum terhadap sektor informal. Seluruh penyebab itu adalah masalah kelembagaan yang tidak disiapkan secara serius oleh pemerintah sehingga menimbulkan komplikasi masalah ekonomi, khususnya pengangguran.
Tiga Hirarkhi Kebijakan
Secara umum ada tiga hirarkhi kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah untuk memitigasi problem krisis pangan agar tidak menggerogoti daya beli masyarakat, khususnya kaum miskin. Pertama, pemerintah mesti menyiapkan skema bantuan pangan (khususnya beras) kepada penduduk yang diidentifikasi sebagai kelompok miskin versi BPS, yang jumlahnya sekitar 31,02 juta jiwa. Subsidi pangan ini harus datang tepat jumlah, tepat mutu, dan tepat waktu. Petani yang memiliki lahan di bawah 0,5 hektar juga perlu dilindungi dengan asuransi pertanian. Sementara itu, bagi kelompok “hampir miskin†dan yang berpendapatan US$ 1-2/hari skenario yang mesti disiapkan adalah kegiatan crash program jika memang kenaikan harga pangan sudah lebih dari 20%. Kegiatan pembangunan infrastruktur di pedesaan, seperti pembangunan irigasi dan jembatan, merupakan pilihan yang dapat diprioritaskan. Di perkotaan, crash program berupa pembangunan jalan dan dukungan sektor informal bisa didesain.
Kedua, manajemen impor dan distribusi pangan harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan pasokan cukup tanpa merugikan kepentingan petani. Di sini diperlukan tiga kriteria penting: (i) akurasi data yang betul-betul presisi sehingga jumlah impor sesuai dengan kebutuhan. Ini tidak mudah, karena harus diakui selama ini data pemerintah menyimpan banyak kelemahan; (ii) mengontrol pelaku, jumlah, dan momentum impor. Bulog perlu diberi ruang untuk melakukan impor tersebut, khususnya beras, gula, dan kedelai. Monopoli/oligopoli impor untuk beberapa komoditas pangan, seperti gandum, harus diakhiri; dan (iii) keberanian pemerintah memberikan penalti yang keras bagi pelaku di pasar distribusi yang melakukan tindakan tercela, seperti penimbunan atau melakukan kontrol harga (price maker) secara berlebihan. Problem ini sudah diketahui dengan baik, tapi pemerintah kurang punya nyali untuk mengatasinya.
Ketiga, melakukan langkah besar, drastis, dan sistematis untuk menempatkan kembali sektor pertanian dan industri (yang berbasis pertanian) sebagai sektor pemimpin di Indonesia. Dua manfaat penting akan diraih dari upaya ini. Disatu sisi, ketahanan pangan secara otomatis akan menguat dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, baik lewat kegiatan produksi maupun perdagangan (ekspor). Di sisi lain, masalah kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran dapat diatasi dalam satu hentakan. Sektor pertanian dan industri (yang berbasis pertanian) memiliki ciri penyerapan tenaga kerja yang banyak sehingga pengangguran bisa diatasi, ketimpangan juga hilang karena pertumbuhan sektor pertanian dan industri mengimbangi sektor non-tradeable, dan kemiskinan berkurang secara massif karena mereka bekerja sehingga pendapatan dan daya belinya meningkat. Inilah jalan terjal yang harus dilalui pemerintah jika menginginkan rakyatnya tidak selalu hidup dalam kecemasan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef