Tepat 10 tahun yang lalu, persisnya Juli 1997, perekonomian di wilayah Asia (Timur) rontok dihantam kirisis ekonomi yang berat. Krisis ekonomi yang dipicu oleh terkulainya mata uang bath (Thailand) dan menjalar ke Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Korsel (lima negara yang paling parah terjangkit krisis ekonomi) nyaris melenyapkan seluruh pencapaian gemilang yang diperoleh negara-negara tersebut selama dua dekade sebelumnya. Krisis ekonomi itulah yang lantas menjadi alas bagi negara-negara Asia Timur (AT) menjalankan babakan reformasi ekonomi untuk menata kembali perekonomian mereka. Hal yang sama juga dikerjakan di kawasan Amerika Latin (AL), di mana proses reformasi ekonomi dimaknai sebagai upaya keluar dari situasi ekonomi yang serba distortif akibat intervensi pemerintah yang berlebihann. Risalah ini ingin mengulas bagaimana model reformasi ekonomi di dua kawasan itu dilakukan dan pelajaran apa yang bisa diambil bagi penguatan ekonomi nasional?
Dua Model Reformasi
Model reformasi AT cenderung didesain melalui pentahapan yang berurutan, atau jamak disebut dengan istilah “gradual dan sistematis” (Ghai, 1997). Pendekatan ini juga lebih menitikberatkan kepada strategi “bottom-up” serta menempatkan reformasi pada level mikro ekonomi, seperti reformasi kelembagaan (reformasi di sektor pertanian dan reformasi usaha-usaha industri) dan reformasi harga; mendahului reformasi pada level makro ekonomi (kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi perdagangan luar negeri). Seterusnya, dalam mendesain perbaikan kinerja perusahaan, khususnya perlakuan terhadap badan usaha milik negara (BUMN), pendekatan AT lebih banyak menempuh kepada upaya-upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas, bukan privatisasi. Kesimpulannya, negara-negara AT menganggap yang diperlukan oleh sebuah korporasi adalah otonomi dan akuntabilitas, bukan pada masalah kepemilikannya.
Selain itu, reformasi ekonomi di AT difokuskan kepada: (i) sektor pertanian dan industri menengah/kecil bisa dipakai sebagai dasar keuntungan (advantage) bagi perekonomian nasional; (ii) asumsi bahwa pasar bebas akan bisa berjalan secara cepat (overnight), adalah salah. Langkah pentahapan secara terukur adalah kondisi yang penting untuk menuju kepada evolusi ke sistem pasar; (iii) penciptaan kesempatan berusaha bagi BUMS dan mengembangkan tata kelola perusahaan bagi BUMN lebih penting daripada privatisasi; (iv) kebijakan perdagangan yang berorientasi ekspor akan meningkatkan efisiensi dan daya saing, serta meningkatkan prospek investasi dan pertumbuhan; (v) reformasi secara gradual bisa berjalan hanya apabila situasi sosial politik mendukung; dan (vi) kebijakan fiskal dan moneter kurang penting pada jangka pendek dan menengah. Reformasi kelembagaan dan harga lebih berguna pada fase ini sehingga mendahului reformasi pada level makro.
Berbeda dengan AT, reformasi ekonomi di AL memfokuskan kepada paket kebijakan fiskal untuk mengantisipasi kondisi perekonomian negara. Di Brazil, misalnya, segera pemerintah mengurangi anggaran pengeluaran (government expenditure) dan meningkatkan penerimaan negara (lewat pajak) sambil pada saat yang sama memperbaiki neraca pembayaran. Sementara itu, di sisi kebijakan moneter segera ditempuh program penyesuaian nilai tukar otomatis melalui depresiasi dolar sebesar 7%/tahun. Dalam jangka pendek tentu saja paket kebijakan tersebut akan memengaruhi terhadap pertumbuhan ekonomi (penurunan), tetapi dalam banyak segi mampu menyelamatkan agregat-agregat makro lainnya (IMF, 1998). Di luar itu, proses perbaikan kebijakan di AL sering kali bersentuhan dengan aspek-aspek yang sangat politis, seperti penguasaan aset ekonomi oleh militer dan praktik kolusi antara elite dengan pengusaha yang bermental rent seekers.
Kinerja Ekonomi Dua Kawasan
Setelah proses reformasi ekonomi tersebut berjalan sekitar satu dekade, bisa dilihat perbandingan kinerja ekonomi di antara dua kawasan tersebut. Seperti terlihat dalam tabel, data-data tersebut mengisahkan dua kinerja ekonomi yang agak berbeda. Dalam beberapa indikator utama, seperti GDP/kapita dan (indeks) harga konsumen, kinerja ekonomi di AT lebih stabil ketimbang Amerika Latin dan Karibia (ALK) dalam beberapa dekade terakhir. Bahkan pada periode 2000-2005, pendapatan/kapita di AT meningkat 7% dibandingkan periode sebelumnya, sedangkan di ALK hanya tumbuh 1%. Demikian pula untuk indikator investasi domestik bruto, tabungan nasional bruto, defisit anggaran pemerintah, ekspor dan impor, dan neraca perdagangan kawasan AT lebih memiliki kinerja yang bagus ketimbang ALK. Hanya pada indikator aliran modal swasta dan penanaman modal asing (PMA) kinerja kawasan ALK lebih baik daripada AT, khususnya pada periode 2000-2005.
Jika diidentifikasi secara mendalam, kinerja ekonomi AT yang cukup bagus setidaknya berasal dari dua sumber. Pertama, penataan kelembagaan ekonomi yang lebih sistematis mendahului reformasi kebijakan fiskal/moneter. Dalam aspek ini, yang disentuh pertama kali adalah perbaikan iklim kompetisi domestik sehingga mendorong munculnya efisiensi ekonomi. Negara seperti Cina, Korsel, dan Vietnam melakukan ini secara cepat sehingga negara-negara tersebut menjadi tempat yang nyaman untuk investasi. Kedua, pengaturan hak kepemilikan (property rights) yang ketat sehingga memberi kepastian usaha. Sebelum reformasi ekonomi, persoalan hak kepemilikan merupakan ganjalan besar bagi pelaku ekonomi (asing maupun domestik) untuk melakukan investasi karena cemas terhadap kemungkinan, misalnya, nasionalisasi. Kedua paket kebijakan ‘kelembagaan’ ini dikejakan secara sistematis sampai hari ini sehingga menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
Meskipun Indonesia termasuk bagian dari kawasan AT, tidak lantas reformasi ekonomi yang dipilih mengikuti model AL. Perbedaan itu terlihat dari pilihan melakukan privatisasi ketimbang perluasan otonomi dan akuntabilitas perusahaan negara. Selain itu, secara umum Indonesia memilih berkutat kepada kebijakan fiskal/moneter dibandingkan menata kelembagaan ekonomi. Argumentasi inilah yang menjadi salah satu poin untuk menjelaskan mengapa kinerja ekonomi Indonesia tidak seatraktif negara lain di kawasan AL. Fakta lainnya, problem rent-seeking masih terus menghantui hingga kini sehingga mengganggu iklim kompetisi, di mana hal ini bisa dilihat dalam kasus (sekadar contoh) tata niaga impor gula. Dalam reformasi ekonomi model AL, mestinya persoalan perburuan rente ini harus sudah diselesaikan dalam tahap awal reformasi ekonomi. Jika tidak, perekonomian nasional akan terus disandera oleh para pembajak yang bermental makelar.
Problem Pasar Pembiayaan
Di balik kinerja ekonomi yang prospektif di AT, terdapat satu masalah yang hingga kini masih belum terpecahkan dengan baik, yakni inefisiensi lembaga intermediasi (perbankan) dan manajemen risiko yang buruk. Sebagai lembaga intermediasi, semestinya perbankan memiliki agresivitas yang kuat sebagai penopang pergerakan setor riil. Di Indonesia, misalnya, perbankan hanya menyalurkan kredit sekitar 60% dari dana pihak ketiga (deposito) yang diperoleh (loan to deposit ratio/LDR) pada tahun 2006. Dengan LDR serendah itu, lembaga perbankan justru menjadi kartu mati dalam kegiatan ekonominya. Implikasinya, lembaga intermediasi itu malah berperilaku layaknya ‘makelar’, yakni memarkir dana pihak ketiga dalam wujud investasi obligasi (SBI) yang kurang memiliki efek terhadap perkembangan sekor riil. Soal inilah yang tampak menjadi kelemahan utama perekonomian Asia, khususnya di Indonesia, pada saat ini.
Selebihnya, informasi lain menunjukkan pasar pembiayaan (financing market) di Asia masih sangat menyandarkan kepada lembaga perbankan, kecuali di Jepang, Korea, dan Malaysia. Sedangkan di negara-negara maju, seperti di USA dan Eropa (dengan pengecualian Inggris) pasar pembiayaaan kegiatan ekonomi lebih banyak memanfaatkan pasar saham dan obligasi. Tentu saja, diversifikasi pasar pembiayaan tersebut akan kian mempercepat perputaran kegiatan ekonomi. Di Indonesia, walaupun dominasi deposito bank masih kuat dalam pembiayaan, namun 15 tahun terakhir ini terdapat kemajuan yang pesat dalam pasar saham dan obligasi. Pasar saham tahun 1990 nilainya baru 4,4%, tapi tahun 2004 sudah melesat menjadi 24,9% dari GDP. Demikian halnya dengan pasar obligasi, tahun 1990 baru 0,4% menjadi 24,1% dari GDP (2004) [Finance and Development, 2006]. Tapi kita harus hati-hati agar perkembangan pasar saham dan obligasi itu tidak berbelok menjadi pasar spekulasi.
Deskripsi di atas memberi pelajaran yang penting bagi Indonesia sekurangnya tiga hal. Pertama, pentahapan yang terukur sangatlah penting dalam proses reformasi ekonomi, di mana di dalamnya aspek kelembagaan (rules of the game) mendapatkan porsi perbaikan yang sangat besar. Kedua, pasar tidak boleh dimaknai sebagai instrumen yang netral dalam mengatur kegiatan ekonomi. Sebaliknya, pasar harus dikendalikan karena dalam realitasnya pasar bukan saja mengontrol, tetapi juga dikontrol (oleh pemilik modal). Jadi, menyerahkan kegiatan ekonomi sepenuhnya kepada pasar merupakan keyakinan yang berlebihan. Ketiga, sektor keuangan tidak boleh dilepaskan terpisah dari sektor riil karena hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi mirip buih (bubble) dan memproduksi persoalan yang sangat serius, yakni pengangguran dan kemiskinan. Indonesia harus belajar memetik hikmah ini bila tidak ingin terjerumus untuk yang kesekian kalinya.
Majalah ADIL, No. 22, 09-22 Agustus 2007
*Ahmad Erani Yustika, dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)