Tahun 2008 tinggal tersisa 10 hari lagi, tapi perayaan pergantian tahun nampaknya tidak akan segemerlap pada tahun-tahun sebelumnya. Ini semua bakal terjadi karena muramnya situasi krisis ekonomi yang semakin hari justru kian tidak jelas bagaimana harus diatasi. Seluruh instrumen “baku” ekonomi sudah diluncurkan disemua negara, tapi belum ada tanda-tanda paket kebijakan itu akan memerbaiki kondisi ekonomi. Kebangkrutan korporasi raksasa tiap hari diumumkan dengan meninggalkan beban utang dan pemutusan hubungan kerja yang tidak tertanggungkan. Celakanya, institusi negara yang sekarang menjadi satu-satunya sandaran untuk membantu pemulihan krisis ekonomi memiliki selaksa keterbatasan yang alamiah: dana cekak, rasionalitas yang terbatas, dan implementasi kebijakan yang lemah. Lingkungan ekonomi seperti inilah yang kini dihadapi oleh industri otomotif, setelah pada 2008 ini mengalami pertumbuhan yang luar biasa.
Krisis dan Otomotif
Kinerja industri otomotif di Indonesia pada 2008 ini sebetulnya sangat bagus, bahkan diperkirakan sampai akhir tahun penjualan menembus angka 600.000 unit. Jika ini terjadi, maka penjualan itu merupakan rekor baru yang belum pernah dicapai sebelumnya. Sektor ini sebenarnya sempat nyaris runtuh pada 2006 akibat kebijakan kenaikan harga minyak pada Oktober 2005 (yang rata-rata mencapai 100% lebih) sehingga permintaan mobil langsung anjlok. Pada 2007 sektor otomotif baru bergeliat lagi dan puncak pertumbuhan penjualan terjadi pada 2008. Produsen mobil sampai Agustus/September 2008 masih optimis pada 2009 prospek penjualan akan meningkat lagi karena ekspektasi harga minyak yang mulai turun (ketimbang periode Januari – Juli 2008 yang harganya melambung tidak terkendali). Alasan inilah yang menjadi sebab sektor ini begitu percaya diri menghadapi tahun depan karena tidak ada satupun variabel ekonomi yang diperkirakan bisa mengganggu.
Namun, perkiraan itu menjadi berantakan saat krisis ekonomi terjadi di penghujung September 2008 yang dipicu oleh kehancuran pasar finansial AS. Dalam sektor industri otomotif dunia sendiri, didapati sebuah kenyataan yang rasanya sulit dimengerti. Produsen otomotif terbesar di AS, General Motors (GM), menyatakan diri bangkrut dan meminta bailout dari pemerintah agar dapat bertahan. Celakanya, sampai sekarang belum ada tanda-tanda pemerintah AS mengabulkan permintaan tersebut, karena kongres AS cenderung menolak proposal tersebut. Meskipun nanti disetujui, kemungkinan bailout yang diberikan jauh dari yang diminta GM. Lebih menyentak lagi, produsen mobil dengan angka penjualan terbesar di dunia, Toyota, juga memproklamasikan hal serupa. Toyota menyatakan situasi keuangannya benar-benar mengalami persoalan besar sehingga keambrukan berada di depan mata. Inilah tragedi terbesar dari krisis ekonomi dunia selama lebih dari 5 dekade terakhir ini.
Pasar otomotif Indonesia tentu saja juga terkena dampak dari persoalan krisis ekonomi tersebut, meskipun Indonesia bukanlah produsen otomotif. Problem sektor otomotif di Indonesia bisa dipetakan lewat tiga jalur. Pertama, hanmpir semua produsen otomotif dunia bermain di Indonesia karena ceruk pasarnya yang besar. Masalahnya, para produsen otomotif ini kondisinya sedang sekarat sehingga kemungkinan penetrasi produksinya merosot. Kedua, perlambatan ekonomi dunia turut menggerogoti pertumbuhan ekonomi nasional sehingga menyebabkan daya beli penduduk ikut surut. Implikasinya, permintaan terhadap barang/jasa juga turun, termasuk permintaan terhadap sektor otomotif. Ketiga, pekerja yang terlibat dalam kegiatan di sektor otomotif lumayan besar di Indonesia, walaupun tidak ada angka yang cukup pasti. Para pekerja tersebut tersebar dalam kegiatan yang langsung berhubungan dengan produksi maupun tidak langsung, seperti distribusi, penjualan, dan bengkel.
Otomotif dan Pasar Ologopoli
Perkiraan dampak krisis ekonomi terhadap penurunan penjualan otomotif sebetulnya memiliki potensi diminimalisir karena harga minyak akhir-akhir ini cenderung menurun, bahkan sekarang sudah tiba pada level di bawah US$ 40/barrel. Penurunan harga minyak ini tentu akan secara relatif akan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap BBM, sehingga menjadi pemicu kenaikan pembelian mobil. Tetapi skenario ini baru akan berjalan apbila pemerintah merespons cepat penurunan harga minyak di pasar internasional ke dalam kebijakan penetapan harga minyak domestik. Sayangnya, hingga kini respons itu cenderung lambat dan persentase penurunannya sangat kecil ketimbang yang seharusnya. Skema penurunan harga minyak domestik dalam persentase yang cukup besar sebenarnya bukan hanya dibutuhkan oleh sektor otomotif, tapi juga sektor ekonomi lainnya yang proses produksinya sangat tergantung dari pasokan energi minyak.
Pelaku otomotif sendiri memprediksi penjualan pada 2009 menurun sekitar 35-40% ketimbang tahun 2008. Secara teoritis penurunan itu dapat sedikit dihindari apabila harga BBM dapat diturunkan lagi, misalnya premium pada level Rp 3.500/liter. Tetapi, tentu bukan faktor harga BBM saja yang dibutuhkan untuk membantu pemulihan sektor otomotif. Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah potensi kenaikan harga jual mobil akibat penurunan kurs rupiah. Jika penurunan rupiah terhadap dolar dapat dikendalikan, maka harga mobil dapat ditekan untuk tidak naik; demikan sebaliknya. Lainnya, lebih dari separuh pembeli mobil di Indonesia menggunakan skema kredit sehingga naik/turunnya pembelian sangat dipengaruhi oleh tinggi/rendahnya suku bunga kredit. Masalahnya, dalam 4 bulan terakhir ini suku bunga kredit cenderung naik, bahkan banyak bank yang enggan lagi bermain di pasar otomotif karena potensi gagal bayar yang semakin besar. Tentu ini merupakan pekerjaan rumah yang tidak gampang diselesaikan karena menyangkut kepentingan ekonomi lainnya.
Di luar antisipasi krisis ekonomi tersebut, industri otomotif di Indonesia sendiri sebenarnya mengidap masalah lama yang tidak segera dipecahkan hingga kini. Pertama, merek otomotif sebetulnya sangat banyak, sehingga mestinya pasar persaingan sempurna yang terbentuk. Namun, para pemegang lisensi penjualan mobil, yakni agen tunggal pemegang merek (ATPM), cenderung membentuk pasar oligopoli karena satu ATPM bisa menguasai 8 merek. Sehingga, dari sekitar 20 merek otomotif yang beredar di pasar hanya dikuasi kurang dari 5 ATPM besar. Kedua, peningkatan local content industri berjalan sangat lambat sehingga Indonesia cuma dimanfaatkan sebagai pasar saja, tapi nilai tambahnya lari ke luar negeri. Implikasinya, setiap kenaikan penjualan berarti kian besar impor yang mesti dilakukan (membuang devisa) sekaligus terdapat potensi repatriasi (pengiriman keuntungan ke negara asal produsen). Nampaknya, masalah ini jauh lebih sistemik dari krisis ekonomi itu sendiri sehingga seharusnya mendapatkan atensi yang besar dari pemerintah. Di sinilah medan pertarungan riil yang seharusnya dimenangkan pemerintah di sektor industri otomotif.
Seputar Indonesia, 22 Desember 2008
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Ekonomi – Universitas Brawijaya