Saat ini Pemerintah Provinsi dengan DPRD Jawa Timur (Jatim) sibuk membahas RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2014-2019 setelah pelantikan Gubernur Jatim dilakukan beberapa waktu lalu. RPJMD ini merupakan panduan pembangunan selama lima tahun, yang nantinya akan diturunkan dalam rencana kerja tahunan, termasuk konsekuensinya terhadap penyusunan anggaran daerah (APBD). Dengan begitu, RPJMD merupakan dokumen yang sangat strategis karena secara teoritis akan menentukan arah dan percepatan pembangunan. Seyogyanya dalam proses pembahasan RPJMD ini representasi teknokratis masyarakat dilibatkan untuk menjaga agar arah pembangunan lebih lurus. DPRD secara politik memang mewakili rakyat, namun dalam aspek teknokratis belum tentu mempunyai kompetensi yang memadai untuk memberikan tanggapan terhadap RPJMD tersebut, sehingga celah ini harus dimanfaatkan oleh kelompok strategis untuk menyuarakan gagasannya.
Gugusan Persoalan
Seluruh aspek tentu dibahas dalam RPJMD tersebut, namun tulisan ini hanya akan melihat aspek ekonomi sesuai dengan kompetensi yang saya miliki. Jika dilihat secara saksama dalam beberapa tahun ini, maka persoalan ekonomi Jatim dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, rata-rata lebih tinggi dari nasional, tapi makin lama percepatan penurunan angka kemiskinan kian melambat. Seperti halnya kondisi pada level nasional, pertumbuhan ekonomi di Jatim kian tidak sensitif terhadap kelompok bawah. Bahkan yang lebih mencemaskan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan kenaikan ketimpangan pendapatan (gini rasio 0,41 pada 2012). Data ini semakin memperkuat argumen bahwa pertumbuhan ekonomi di Jatim cuma berkawan dengan kelompok berpendapatan atas. Pola ini berbeda sekali dengan model yang terjadi di Pulau Sumatera, di mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menyebabkan peningkatan ketimpangan pendapatan.
Kedua, kualitas tenaga kerja (TK) di Jatim amat memprihatinkan sebab 66,21% dari total TK bekerja di sektor informal (2013). Angka tersebut naik tipis dibandingkan tahun sebelumnya (2012), yakni sebesar 66,20% (BPS, 2013). Fakta ini menunjukkan dua hal penting: (1) pemerintah daerah gagal membuka lapangan kerja yang cukup dan layak untuk menampung angkatan kerja (baik yang baru maupun lama), meskipun angka pengangguran terbuka terus menurun, di mana saat ini pada kisaran 4,3% (lebih rendah daripada pengangguran terbuka nasional); (2) kesejahteraan TK secara keseluruhan jauh dari laik karena sifat dari pekerjaan di sektor informal sebagian besar subsisten, tidak ada jaminan upah minimum, dan keberlanjutan usaha rendah. Inilah yang antara lain menjadi sebab rata-rata pendapatan per kapita Jatim jauh lebih rendah dari nasional. Pada 2012, rata-rata pendapatan per kapita Jatim pada kisaran Rp 26 juta/tahun, sedangkan pendapatan per kapita nasional hampir mencapai Rp 40 juta/tahun.
Ketiga, konsentrasi pembangunan antarwilayah di Jatim makin membesar dari waktu ke waktu. Sekadar ilustrasi, pada 1984 Surabaya baru memberikan kontribusi sekitar 13% terhadap PDRB Jatim, namun pada 2010 donasinya telah membengkak menjadi 26%. Selanjutnya, tujuh wilayah di Jatim (Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kota Kediri, dan Malang Raya) pada 1984 baru menyumbang sekitar 22% terhadap PDRB Jatim, tetapi pada 2010 telah melesat menjadi 56%. Konfigurasi konsentrasi itu sebagian besar disebabkan terjadinya penumpukan investasi di daerah tersebut. Investasi terkait dengan infrastruktur dan daya dukung ekonomi lainnya. Ciri dari daerah maju adalah sumbangan sektor industri, perdagangan, dan jasa yang besar. Sektor ekonomi tersebut memang relatif memiliki nilai tambah yang tinggi ketimbang sektor pertanian, sehingga daya dongkrak terhadap kesejahteraan menjadi lebih besar. Tanpa ada komitmen yang kuat terhadap pemerataan daerah masalah ini tentu sulit diatasi.
Pemerataan Pembangunan
Masalah tersebut masih dapat dibentangkan ke banyak aspek yang lain, seperti alokasi belanja anggaran, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang lebih rendah dari rata-rata nasional, dan alokasi kredit perbankan ke sektor riil (khususnya ke sektor pertanian) yang amat kecil. Persoalan ini menjadi isu strategis sehingga seharusnya wajah RPJMD sebagian besar menyasar pada aspek-aspek tersebut. Paket kebijakan terpenting untuk menyelesaikan trilogi persoalan dasar (kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan) adalah membangkitkan kembali sektor pertanian. Pada 2013, Jatim membuat “rekor†baru, di mana menurut BPS pertumbuhan sektor pertanian hanya 1,59% (pada saat pertumbuhan ekonomi Jatim 6,55%). Barangkali ini pertumbuhan sektor pertanian paling rendah dalam sejarah Jatim, sehingga harus ditelisik secara serius mengapa hal ini terjadi. Tanpa penguatan sektor pertanian, jangan mimpi dapat mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan secara efektif.
Berikutnya, tentu saja membangun pertanian tak bisa dipisahkan dengan sektor industri dan perdagangan. Kabupaten yang sebagian besar tergantung dari pertanian (tanpa pengolahan) pasti kemiskinannya tinggi. Oleh sebab itu, di daerah yang potensi pertaniannya tinggi harus diikuti dengan pembangunan industri dan perdagangan yang terkait sektor pertanian dan pelakunya bukanlah investor besar (tapi berbasis UMKM/koperasi). Akhirnya, belanja modal untuk pembangunan infrastruktur harus dinaikkan, sebab pada 2012 hanya sekiyar 8,5% dari total belanja. Belanja modal ini nantinya sebagian besar dipakai untuk menyantuni sektor pertanian dan daerah yang terbelakang agar pemerataan pembangunan antarwilayah lekas tercapai. Harus ada perubahan radikal terhadap struktur alokasi belanja dengan mengurangi alokasi belanja birokrasi, yang pada 2012 mencapai 51% (selama ini struktur belanja APBD lebih banyak menyantuni aparat ketimbang rakyat). Saatnya anggota legislatif dan pemerintah daerah/kabupaten yang relatif tertinggal bersuara lebih keras lagi, jangan diam terus.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef