Lanskap ekonomi global maupun nasional mengalami perubahan yang cepat dalam dua dekade terakhir. Pada satu sisi, perubahan teknologi dan informasi membuat perekonomian kian menyebar dan tersambung. Produksi, distribusi, dan konsumsi (juga investasi) bergerak dengan langgam baru. Ekonomi kian mudah menggelembung.
Di sisi lain, aneka tata kelola ekonomi yang kurang tepat di masa lalu telah menyumbat pembesaran ekonomi. Sehingga, praktis selama satu dekade terakhir perekonomian dunia cuma sibuk melakukan mitigasi untuk keluar dari jerat perlambatan ekonomi, tak terkecuali Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi global dan nasional menuju lereng menurun, yang bagi banyak negara sangat kerepotan untuk menahan lajunya. China adalah raksasa ekonomi yang paling menderita dalam urusan penurunan pertumbuhan ini. Berita baiknya, sejak 2016 kita berhasil mematahkan kutukan penurunan pertumbuhan itu.
Pembesaran kapasitas ekonomi
Krisis ekonomi 1997/1998 memberikan hikmah bahwa sentralisasi ekonomi, struktur pasar yang terkonsentrasi (monopoli/oligopoli), dan investasi berbasis ekstraksi SDA bakal menenggelamkan ekonomi nasional (di samping faktor-faktor lain). Itu sebabnya tuntutan bagi aplikasi desentralisasi ekonomi begitu menyeruak.
Secara formal, sejak 2001 otonomi daerah dan desentralisasi ekonomi diadopsi dengan cepat. Reformasi ekonomi juga memproduksi lembaga penting untuk mengatur iklim usaha yang sehat, yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Iklim usaha yang tak sehat telah menyebabkan ekonomi nasional tak efisien dan berdaya saing, selain menimbulkan luka ketakadilan menganga (ketimpangan). Jadi, lembaga KPPU memanggul misi yang amat strategis sehingga eksistensinya mesti terus dirawat dan diperkuat.
Selanjutnya, krisis ekonomi 2008 menyumbangkan pelajaran yang berharga (untuk kesekian kalinya): ekonomi mudah rontok bila tak punya daya di sektor pangan dan energi. Pada tempo tersebut harga pangan dan minyak internasional melesat, sedangkan Indonesia telah menjadi importir pangan dan minyak.
Harga-harga barang lain naik akibat rembetan peningkatan harga minyak dan pangan sehingga inflasi meroket. Tercatat pada 2008 inflasi menyentuh 11,06 persen. Belum usai mengatasi masalah itu, datang gempa berikutnya dari AS.
Kredit macet perumahan meledak dan menjadi sumbu megakrisis ekonomi global: subprime mortgage. Pompa ekonomi dunia melemah (AS) dan mudah diduga segera merembet ke negara lain karena interaksi ekonomi internasional yang pekat.
China, Jepang, Eropa, termasuk Indonesia, ekonominya memasuki musim muram. Peristiwa ini dengan segera memberikan kalam: agenda ketahanan dan kemandirian ekonomi domestik tak bisa lagi dikompromikan.
Pengalaman itu memberikan pengetahuan bahwa ekonomi nasional butuh pijakan dua kaki untuk keluar dari belitan masalah berat, sekaligus menapis harapan di masa depan yaitu memompa ekonomi dari sisi permintaan (demand-side economics) dan pembesaran kapasitas ekonomi (supply-side economics).
Pada sisi permintaan, selama hampir lima tahun ini pemerintah telah menyusun kuda-kuda yang cukup tangguh berupa politik fiskal yang ramah terhadap proteksi sosial, kebijakan aset dan akses yang menyasar lapisan masyarakat kelas menengah-bawah, dan menegakkan ekonomi inklusif sebagai tema besar pembangunan.
Pada banyak sudut, ekonomi sisi permintaan sekaligus didesain untuk mengerek kekuatan pelaku ekonomi lemah sehingga rancang bangun keadilan bisa didirikan. Soal keadilan ini menjadi titik lemah ekonomi nasional di masa lalu sehingga tidak boleh dibiarkan makin parah karena pasti akan menjadi kawah kritis dalam jangka panjang.
Pada sisi lainnya, pembesaran kapasitas ekonomi ditopang oleh pembangunan infrastruktur, deregulasi, dan penguatan sumber daya insani. Infrastruktur menjadi minyak pelicin ekonomi karena menambah akses kegiatan produksi (jalan usaha tani, irigasi, bendungan, listrik), mengurangi ongkos logistik (jalan/tol, dermaga/pelabuhan, bandara), juga menurunkan disparitas keadilan pembangunan (antarwilayah, sektor, dan kelompok masyarakat).
Deregulasi menggerus biaya transaksi yang menjadi penghambat investasi, khususnya pada aspek perizinan. Sementara itu, penguatan mutu manusia difokuskan untuk peningkatan produktivitas melalui perbaikan akses kesehatan dan pendidikan, kurikulum yang makin relevan, dan kerja sama yang intensif dengan pelaku ekonomi.
Daya ungkit ketiga variabel ekonomi sisi penawaran ini menjadi kisah sukses banyak negara untuk mengangkat ekonomi sebab memiliki kemam-puan untuk menambah bobot kapasitas ekonomi.
Reformasi fiskal
Kondisi ekonomi dunia dalam lima tahun ke depan dipandang belum akan memberikan sinyal kegairahan sehingga kaki-kaki domestik mesti diperkokoh. Salah satu yang mesti kekar adalah kaki fiskal.
Presiden telah memberikan kerangka kebijakan reformasi fiskal yang bertumpu kepada tiga pilar, yakni (i) politik anggaran yang fokus kepada peningkatan produktivitas ekonomi dan perlindungan sosial/makro; (ii) alokasi anggaran yang disiplin menyantuni program unggulan (money follow programme/MFP)/meso; dan (iii) indikator berbasis kinerja dari setiap mata anggaran yang dibelanjakan/mikro.
Ketiga reformasi anggaran negara tersebut sudah diamalkan oleh kementerian/lembaga (K/L) selama lima tahun ini dengan tingkat capaian yang berbeda-beda. Pada tiap kesempatan poin-poin tersebut kerap pula disampaikan Presiden agar menjadi pedoman bersama, bukan hanya bagi K/L namun juga tata kelola fiskal pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota).
Politik anggaran yang fokus pada dukungan produktivitas ekonomi, penguatan mutu manusia, dan perlindungan sosial merupakan cerita keberhasilan paling penting. Anggaran pembangunan infrastruktur naik mendekati 200 persen dibanding periode sebelumnya. Demikian pula alokasi anggaran untuk fungsi ekonomi bertambah dua kali lipat.
Anggaran kesehatan untuk pertama kali menyentuh 5 persen dari total APBN (sesuai mandat UU Kesehatan No 36/2009), di mana sebelumnya paling tinggi 3 persen. Sementara, anggaran perlindungan sosial naik tajam (sekitar 11 kali) dari periode sebelumnya. Alokasi anggaran menjadi sangat fokus sesuai prioritas pembangunan dan hasilnya mudah dilacak di lapangan.
Harus diakui postur anggaran baru ini menjadi papan yang kuat untuk berselancar di tengah ombak besar ekonomi global. Lima tahun ke depan tinggal menjaga dan mempertajam program sesuai dengan target-target baru yang akan ditetapkan.
Pekerjaan rumah yang masih lumayan banyak adalah mengoptimalisasikan reformasi fiskal pada level meso dan mikro, yakni MFP dan indikator berbasis kinerja. K/L telah mencoba untuk menindaklanjuti tata pengelolaan baru, tapi belum sepenuhnya bisa dieksekusi. Alokasi anggaran pada unit kerja (eselon 1-3) sebagian belum menampakkan prioritas sehingga pada beberapa bagian masih menunjukkan watak “bagi rata†agar seluruh unit kerja memiliki program dan anggaran.
Selanjutnya, pada level mikro belum semua keberhasilan program diukur dari impact/outcome, namun baru output yang diperoleh. Misalnya, jumlah pelatihan yang diadakan atau bangunan fisik (seperti pasar) yang dibangun. Data terkait peningkatan mutu peserta pelatihan dan pedagang yang memperoleh manfaat dari pembangunan pasar tidak banyak ditelisik. Model semacam ini masih menjadi praktik lazim sehingga dua tantangan ini yang harus diurus di masa depan.
Di luar itu, tentu saja yang mesti dihela adalah kebijakan fiskal dari sisi penerimaan, khususnya untuk mendongkrak rasio pajak secara bertahap. Pertumbuhan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tinggi patut disambut gembira (terakhir tumbuh 49,04 persen di 2018). Namun, realitas itu juga menunjukkan periode sebelum ini banyak potensi penerimaan menguap sehingga tak masuk jadi sumber daya fiskal. Ikhtiar mendongkrak PNBP perlu jadi agenda dalam memperbesar kapasitas fiskal.
Sementara itu, penerimaan dari pajak jadi tantangan terjal karena situasi ekonomi yang belum menggairahkan. Jika tingkat pajak badan hendak diturunkan secara bertahap, kalkulasi penerimaan secara utuh harus dilakukan. Demikian pula pengaturan skema rentang tingkat pajak pribadi juga perlu dicermati. Selama ini batas pengenaan tingkat pajak 30 persen (tertinggi) berlaku untuk pendapatan di atas Rp 500 juta. Mengamati perkembangan saat ini rasanya penyesuaian batas pendapatan pengenaan pajak 30 persen itu dapat diberlakukan, tentu berdasarkan kajian yang matang.
 Inisiasi perubahan kebijakan
Perubahan ekonomi telah berjalan dengan cukup kencang, seperti yang (sebagian) dipaparkan di atas. Namun, terdapat satu problem sistemik yang belum teratasi dengan meyakinkan, yaitu defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Kemampuan ekspor nonmigas masih lemah, baik karena problem perlambatan ekonomi global maupun transformasi ekonomi domestik yang belum sepenuhnya menggeliat.
Surplus neraca perdagangan periode 2015-2017 (masa 2012-2014 defisit) tak dapat dipertahankan pada 2018. Demikian pula defisit neraca transaksi berjalan pada 2018 mendekati batas 3 persen terhadap PDB (tepatnya 2,8 persen). Impor migas belum bisa sepenuhnya ditahan sehingga surplus nonmigas tidak mampu menutup defisit perdagangan migas. Situasi ini mengharuskan pemerintah memprioritaskan masalah itu sebagai agenda vital lima tahun ke depan.
Momentum ini bisa dimanfaatkan sekaligus untuk memperkuat tujuan pembesaran kapasitas ekonomi (yang sarananya sudah disiapkan) dan mewujudkan hikmah dari krisis 2008, yakni ketahanan dan kemandirian ekonomi.
Lima sektor ekonomi yang bisa dipacu: maritim, pariwisata, ekonomi kreatif/digital, pangan, dan energi (dalam bingkai reindustrialisasi). Sektor pariwisata dan ekonomi kreatif tumbuh di atas 6 persen per tahun, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Ekosistem kedua sektor itu sebagian telah disiapkan sehingga percepatan amat mungkin dikerjakan.
Sektor maritim didayagunakan untuk menopang strategi industrialisasi, perdagangan, dan jasa (termasuk transportasi). Pangan dan energi perlu pendekatan baru yang lebih kredibel agar potensi yang tersedia dapat direalisasikan. Energi baru dan terbarukan porsinya mesti ditambah untuk mengurangi tekanan persoalan lingkungan, sekaligus menjamin keberlanjutan pembangunan.
Merealisasikan aneka hal besar itu jelas tak sederhana, bahkan maha-rumit. Dibutuhkan tiga instrumen yang koheren dan solid, yakni inisiasi perubahan kebijakan, desain kelembagaan (aturan main) yang lengkap, dan ketersediaan sumber daya anggaran. Pada isu energi dan pangan, misalnya, inisiasi perubahan kebijakan yang bisa dikaji salah satunya terkait skema model subsidi pupuk (benih dan yang lain) dan subsidi energi (listrik, gas, dan minyak).
Skenario kebijakan dibentangkan dan dianalisis sesuai tujuan dan target yang hendak diwujudkan. Demikian pula berkenaan dengan impor komoditas pertanian/pangan, model kebijakan kuota dan tarif laik disandingkan agar bisa dipilih opsi optimal bagi kepentingan ekonomi negara. Hal yang sama berlaku untuk skema utang, tata kelola BUMN, dan isu strategis lain yang perlu ditaruh di altar perundingan sebagai pokok bahasan.
Jika inisiasi perubahan kebijakan sudah ditentukan, maka penyusunan kelembagaan yang rinci menjadi pertempuran berikutnya. Idiom the devil is in the detail sebetulnya melekat pada urusan kelembagaan itu. Mesti disusun kelembagaan yang biaya transaksinya paling rendah, menjamin kepastian, dan jelas pembagian otoritas/tugas.
Program baru pemerintah, misalnya kartu prakerja, pasti akan berhadapan dengan rintangan kelembagaan ini bila ingin efektif dieksekusi. Selebihnya tinggal menyediakan dukungan anggaran dan sumber daya lain untuk menopang pelaksanaannya.
Melalui ragam hikmah masa lalu, modal pembangunan yang telah ditanam (dalam beberapa tahun terakhir), strategi perbaikan yang sistematis, dan inisiasi perubahan kebijakan; maka kondisi perlambatan ekonomi global dapat lebih mudah dimitigasi, serta yang paling pokok fondasi ekonomi domestik bisa diperkuat untuk memenangkan harapan bangsa di masa depan.
AHMAD ERANI YUSTIKA ;Â STAF KHUSUS PRESIDEN RI; GURU BESAR FEB UNIVERSITAS BRAWIJAYA