Bank Indonesia amat yakin bahwa kebijakan menaikkan BI rate merupakan formula paling efektif saat ini untuk menekan inflasi dan jatuhnya nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, sejak 2 bulan terakhir secara agresif BI rate telah mengalami kenaikan sekitar 1,75%. Ini tentu saja mengakhiri rezim tingkat suku bunga acuan rendah yang dijalankan BI dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pasca-inflasi tinggi 2008 lalu. Awalnya BI menempuh operasi pasar untuk meredam penurunan nilai tukar, namun instrumen tersebut dirasakan tidak manjur. Di lain pihak, BI juga tidak melihat inisiatif progresif yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi keadaan defisit transaksi berjalan, sehingga kebijakan BI rate diambil oleh BI sebagai alternatif operasi pasar. Tetapi jika dilihat perkembangan akhir-akhir ini, di mana rupiah sudah menyentuh angka Rp 12.000/dolar, maka efektivitas instrumen BI rate pun mendapatkan kritik yang sangat tajam dari berbagai kalangan, bahkan juga oleh pemerintah.
Pelemahan Industri
Apabila diperhatikan data perdagangan internasional (ekspor-impor) sampai Agustus 2013, maka akan dijumpai angka yang mengerikan. Periode Januari-Agustus 2013 untuk pertama kalinya neraca perdagangan nonmigas mengalami defisit sebesar US$ 4,96 miliar. Periode yang sama tahun lalu masih surplus US$ 20,87 miliar. Bagaimana dengan ekspor-impor migas? Periode Januari-Agustus 2013 sudah defisit US$ 10,24 miliar, dua kali lipat ketimbang masa yang sama tahun lalu (US$ defisit 5,27 miliar). Sepanjang tempo tersebut neraca perdagangan Indonesia dengan mitra strategis mengalami defisit yang membesar dibanding tahun lalu, misalnya dengan Thailand defisit US$ 4,4 miliar; Jerman (US$ 1,2 miliar); Perancis (US$ 0,3 miliar); China (US$ 8,4 miliar); Jepang (US$ 2,4 miliar); Australia (US$ 1,6 miliar); Korsel (US$ 2,1 miliar); dan Taiwan (0,5 miliar). Indonesia hanya memeroleh surplus perdagangan dengan mitra strategis seperti Singapura (US$ 0,3 miliar); Malaysia (US$ 1,1 miliar); AS (US$ 4,5 miliar); dan India (US$ 6,5 miliar) [BPS, 2013].
Di luar itu terdapat data lain yang mencemaskan. Sumbangan sektor industri dalam perekonomian nasional pada kurun 2005-2013 telah mengalami penurunan dari semula pada kisaran 28% menjadi 23,5%. Ini yang kemudian memunculkan istilah “deindustrialisasiâ€, sepadan dengan konsep “involusi†di sektor pertanian. Pada kurun waktu yang sama, struktur ekspor yang berbasis sumber daya alam (SDA) mengalami kenaikan 19%, dari semula 20% (2005) menjadi 39% (2013) dari total ekspor. Sebaliknya, ekspor yang berbasis bukan SDA turun sebesar 12%, dari semula 48% (2005) menjadi 36% (2013) [BI, 2013]. Data lainnya juga menunjukkan pada semester I-2013 sumbangan ekspor sektor industri hanya 11,37% dari total ekspor. Sementara itu, sektor pertanian memberikan donasi sangat kecil (0,41%) dan –yang lebih fantastis- hasil pertambangan mendonasikan ekspor sebesar 88,23%, semisal batu bara, biji tembaga, biji nikel, dan bauksit (SEKI-BI, 2013).
Jika struktur impor tersebut dibedah lagi, maka akan didapat postur sebagai berikut. Impor barang konsumsi menyumbang cukup besar (14,82%) dari total impor, disusul barang modal (13,66%), dan yang tidak diklasifikasikan (0,59%). Namun, di atas itu semua, penyumbang impor terbesar adalah bahan baku dan penolong (70,93%). Ada tiga hal menarik dari struktur impor pada semester I-2013 tersebut. Pertama, impor barang konsumsi meningkat tajam dari kisaran 9% pada 2012 menjadi 14,8% pada 2013 (BPS, 2013). Artinya, anjloknya nilai tukar tidak membuat impor barang konsumsi turun sehingga kian menggerus devisa. Kedua, sektor industri yang berkembang di Indonesia ditandai dengan tingginya penggunaan bahan baku impor sehingga tidak memiliki kaitan dengan sektor primer domestik. Ketiga, impor barang modal mengalami penurunan sekitar 7% ketimbang tahun lalu sehingga ini menjadi sinyal kontraksi produksi pada periode 6 bulan sampai 1 tahun ke depan.
Relaksasi Moneter
Rangkaian cerita di atas, ditambah dengan realitas defisit neraca transaksi berjalan yang bersumber dari defisit pendapatan dan jasa (misalnya jasa transportasi laut), membuat prospek ekonomi nasional pada 2014 sangat berat. Tekanan terhadap nilai tukar akan terus menghantui oleh sebab masalah domestik (kemampuan ekspor sektor industri yang merosot) dan potensi pengurangan volume kebijakan quantitative easing pemerintah AS yang mengakibatkan terjadinya arus modal keluar (capital outflow). Sebetulnya defisit neraca transaksi berjalan ini bukanlah peristiwa yang istimewa karena Indonesia berulang kali mengalaminya, bahkan pada saat ekonomi sedang bagus (misalnya sebelum krisis besar 1997/1998). Namun, saat ini kondisinya agak berbeda karena sumber defisit transaksi berjalan itu tak hanya berasal dari neraca modal dan jasa, tetapi juga dari neraca perdagangan, baik migas maupun nonmigas. Inilah yang membuat analis berpikir bahwa fundamental ekonomi nasional rapuh.
Pada posisi sekarang justru yang perlu dilakukan adalah melakukan relaksasi moneter dengan menurunkan (sekurangnya ditahan) BI rate untuk menggairahkan sektor riil. Lakukan perubahan kebijakan ini dengan komunikasi utuh kepada seluruh kelompok kepentingan ekonomi. Pada awalnya mungkin ini akan memicu kenaikan inflasi, tapi dengan pergerakan ekonomi pelan-pelan membuat potensi ekspor bisa dinaikkan. Di luar itu, kebijakan kenaikan BI rate juga tak memiliki pengaruh terhadap penurunan impor, sehingga tujuan akhir memerbaiki defisit transaksi berjalan tak seperti harapan. Berikutnya, pemerintah secara matang dan selektif memberi insentif kepada sektor industri yang berorientasi ekspor dengan menggunakan bahan baku domestik. Pemerintah telah memiliki peta jalan pohon industri di Kementerian Perindustrian dan Pertanian yang tidak dijalankan sesuai rencana selama ini, sehingga dokumen itu patut dibuka lagi dan diperjuangkan di lapangan.
Sebaliknya, impor konsumsi dan bahan baku diberi disinsentif yang terukur sehingga mengurangi impor secara meyakinkan. Dengan opsi ini sub-sektor industri berbahan baku impor itu secara bertahap akan menyesuaikan dengan situasi yang ada sehingga meneruskan usaha tersebut lebih banyak mudharatnya. Sangat lama pemerintah tidak mengotak-atik problem di sub-sektor industri otomotif dan elektronika, sekadar misal, padahal sub-sektor industri tersebut memiliki sumbangan besar bagi sektor industri namun dengan ketergantungan bahan baku impor yang besar. Sebaliknya, komoditas primer nasional (pertanian, pertambangan, perkebunan, dan lain-lain) tak diberi insentif untuk diteruskan menjadi komoditas manufaktur. Singkat kata, pemerintah seyogyanya memanfaatkan momentum penurunan harga komoditas primer di pasar internasional untuk membangun industri domestik yang kokoh. Saya berharap sisa umur kekuasaan pemerintah dapat dimanfaatkan untuk menabur kebajikan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef