Pada saat sosialisme “berjaya” pada dekade 1950-an yang tampak di permukaan sebetulnya khayalan tentang indahnya pemerataan. Sebab, yang sebenarnya terjadi adalah kemelaratan massal di sela-sela kemewahan yang dinikmati segelintir elite politik. Itulah aurat sosialisme yang coba ditutupi lewat baju “sama rata, sama rasa”. Kontras dari itu adalah impian kapitalisme tentang pesona “pertumbuhan tak terbatas” yang bakal dinikmati oleh semua orang melalui kebebasan tak terhingga bagi individu untuk menggelindingkan kegiatan ekonomi. Realitasnya, kebebasan tak terbatas itu hanyalah milik pemilik modal yang jumlahnya amat sedikit, sedangkan selaksa kaum tunakapital tersandera dalam pilihan-pilihan yang serba terbatas. Hasilnya, ketimpangan kesejahteraan yang amat telanjang dan watak kerakusan korporasi yang tidak terbendung. Ketelanjangan kapitalisme inilah yang hari-hari belakangan ini tersingkap dari kancing baju perekonomian AS, sehingga kehormatannya nyaris terkoyak.
Destruksi Kreatif
Peristiwa dramatis di AS sejak Juli 2007 lalu (tepat satu dekade setelah krisis ekonomi di Asia), yang ditandai oleh kasus subprime mortgage, merupakan rangkaian krisis panjang yang bakal mengudara ke segala arah, termasuk menuju ke Asia (tidak terkecuali Indonesia). Semakin hebat integrasi ekonomi suatu negara terhadap perekonomian global, di mana AS sebagai pemandunya, maka kian besar potensi bagi negara tersebut terkena imbas krisis keuangan AS. Problemnya, penjalaran itu dimungkinkan akan lebih cepat karena ketidaksanggupan pemerintah AS untuk mengatasi persoalan krisis finansial ini. Setelah dua raksasa mortgage tumbang, yakni Fannie Mae dan Freddie Mac, dua minggu lalu giliran “anakonda” lembaga investasi AS juga gulung tikar, yaitu Lehman Brothers dan Merrill Lynch. Tidak cukup sampai di situ, disaat pemerintah AS belum tahu kebijakan apa yang mesti diproduksi, tiba-tiba Washington Mutual (WaMu), bank simpan pinjam terbesar di AS, bangkrut pula.
Tragedi itu sebetulnya bersumber dari keyakinan yang sudah ditanam dan dihidupkan sejak lama: ekonomi tanpa regulasi dan internasionalisasi persaingan ekonomi. Ekonomi tanpa regulasi merupakan bendera yang menjadi jualan kaum liberalis untuk meyakinkan kepada semua pengambil kebijakan ekonomi bahwa keterbelakangan ekonomi merupakan akibat praktik aktivisme negara. Inisiatif individu yang dipagari dengan beragam regulasi membuat kemampuan inovasi menjadi mati. Implikasinya, kegiatan ekonomi menjadi stagnan akibat ketiadaan insentif. Oleh karena itu, watak ekonomi “serba negara” yang antiinovasi tersebut perlu diakhiri melalui kebebasan tanpa batas sehingga memunculkan kekuatan deskruktif yang memicu kreativitas (creative destruction menurut istilah Schumpter). Munculnya lembaga keuangan/investasi di AS pada akhir abad 19 maupun awal abad 20, seperti Lehman Brothers dan Merrill Lynch, merupakan buah dari destruksi kreatif tersebut.
Sementara itu, internasionalisasi persaingan ekonomi merupakan kepercayaan lain yang tidak kalah “spektakuler”. Kaum liberalis berpandangan sangat logis: pemagaran persaingan ekonomi antarnegara berarti melindungi praktik inefisiensi ekonomi yang digeluti oleh warga/firma suatu negara. Implikasinya, konsumen (di negara yang bersangkutan) ditutup peluangnya untuk mendapatkan barang/jasa yang lebih bagus dengan harga murah. Demikian pula, produsen disuatu negara disumbat kesempatannya untuk memeroleh input atau sumber daya ekonomi lainnya (termasuk tenaga kerja) yang bermutu/murah karena pergaulan ekonomi dengan negara lain dibatasi. Singkatnya, bila seluruh praktik antipersaingan internasional itu dilanggenggkan, maka inefisiensi ekonomi bakal terjadi dan kesejahteraan masyarakat sulit diciptakan. Hal ini baru dapat diterobos bila persaingan ekonomi internasional diamalkan secara menyuluruh (kaffah).
Kontestasi Pemikiran
Dua pilar ekonomi itulah yang sedikit demi sedikit dipraktikkan disemua negara, tidak terkecuali kawasan Amerila Latin dan Eropa Timur yang dulunya sangat kukuh dengan gagasan sosialisme. Dekade 1980-an merupakan titik awal dari penasbihan ide “ekonomi tanpa regulasi” tersebut dan secara cepat menjalar ke semua arah (negara). Mula-mula liberalisasi finansial dipraktikkan terlebih dulu dan baru diikuti liberalisasi barang/jasa, di mana yang terakhir ini ditandai via ratifikasi GATT/WTO di Marakesh (Maroko) pada 1994. Namun, ketangguhan keyakinan itu tidak berumur lama, sebab kurang dari dua dekade prinsip-prinsip itu telah kehilangan pamornya. Ekonomi tanpa regulasi terbukti merupakan gagasan paling tidak kreatif yang pernah muncul dalam sejarah pemikiran ekonomi. Masalahnya bukan terletak pada logika berpikirnya, tapi kealpaannya untuk menempatkan individu sebagai makhluk multifaset.
Perilaku menyimpang individu merupakan keniscayaan yang ditinggalkan oleh kaum liberalis sehingga regulasi untuk membatasi tabiat buruk manusia tidak masuk dalam hitungan. Padahal, perilaku yang mencederai etika merupakan bagian penting dalam kasus ambruknya sektor keuangan AS saat ini. Seterusnya, kanibalisme ekonomi tidak diprediksikan akibat kepercayaan bahwa “equal access” akan membuat seluruh individu mendapatkan hasil yang setara. Nyatanya, kepemilikan aset dan modal lebih menentukan siapa pemenang dalam pertarungan ekonomi tanpa regulasi, sehingga ketimpangan pendapatan dan keterbelakangan di banyak negara merupakan fakta keras yang sulit dibantah. Menjadi jelas, gagasan liberalisme dianut oleh banyak pemikir bukan karena kedigdayaan bangunan teorinya, melainkan oleh sebab rapuhnya tiang-tiang ide sosialisme. Jadi, saat ini yang dibutuhkan adalah kontestasi pemikiran genial yang tidak diikat oleh fanatisme dua fundamentalisme ideologi ekonomi itu.
Kompas, 13 Oktober 2008
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Brawijaya