Periode 2014 sudah ditinggalkan, namun segepok pekerjaan rumah di bidang ekonomi telah menanti pemerintah baru. Sebagian kecil pekerjaan rumah itu telah dicicil pemerintah, seperti menyusun ulang anggaran negara (APBNP 2015). Namun, seperti bisa disimak, aneka persoalan ekonomi yang beralas dari kerentanan ekonomi domestik, seperti nilai tukar, terus berkembang dan menghendaki penanganan secara sistematis. Salah satu yang krusial adalah kondisi defisit neraca perdagangan. Sejak puluhan tahun lalu, khususnya era 1970-an, Indonesia tak pernah mengalami defisit neraca perdagangan. Artinya, ekspor lebih besar daripada impor. Bahkan, pada periode 2006-2007 surplus neraca perdagangan hampir menyentuh angka US$ 40 miliar. Namun, rekor itu terhenti pada 2012 lalu, di mana Indonesia akhirnya terkapar dan era defisit neraca perdagangan dimulai.
Ekspor dan Deindustrialisasi
Penurunan ekspor Indonesia terjadi pada keadaan ketika cuaca iklim ekonomi internasional sedang buruk. Praktis, sejak 2008 ekonomi global tak pernah dalam kondisi bugar untuk mendongkrak kegiatan ekonomi. Beragam krisis ekonomi menghajar, baik yang bersumber dari sektor keuangan maupun fiskal. Krisis yang episentrumnya dari negara maju tersebut, seperti AS dan sebagian negara Eropa, memiliki daya tebar yang cepat dan kuat sehingga negara lain sulit mengelak dari imbasnya. Tentu saja, liberalisasi ekonomi yang terjadi secara massif sejak dekade 1980-an menjadi sebab utama penyebarannya yang meluas itu. Sebab, liberalisasi membuka seluruh pintu ekonomi sehingga tiap negara tak dapat mengisolasi dampak dari penyakit yang diderita oleh negara lain. Indonesia, sebagai pengikut liberalisasi yang konsisten, tak luput dari sergapan itu.
Pada 2008-2011 Indonesia masih bisa menyelamatkan neraca perdagangan, meskipun terus terjadi penurunan pertumbuhan. Setidaknya, ekspor masih lebih besar ketimbang impor, walaupun dengan marjin yang kian tipis. Namun, saat ekspor benar-benar tak bisa dipacu dan volume impor relatif sulit dikendalikan, maka pada 2012 Indonesia tersungkur dan neraca perdagangan defisit sebesar US$ 1,6 miliar. Pada 2013 defisit makin membesar menjadi US$ 4,06 miliar dan tahun lalu masih defisit (walaupun mengecil menjadi sekitar US$ 1,8 miliar). Pada 2014 nilai ekspor tercatat sebesar US$ 176,29 miliar, sedangkan impor sebesar US$ 178,18 miliar. Bisa dikatakan, perekonomian global yang muram telah melumpuhkan kapasitas ekspor nasional sehingga daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi turut melemah. Sejak 2010 pertumbuhan ekonomi terus turun hingga sekarang.
Tentu saja kesalahan tunggal tidak layak disematkan kepada situasi ekonomi internasional tersebut. Sekurangnya dua sebab ekonomi domestik turut memperparah kinerja perdagangan. Pertama, era penurunan ekspor bergerak beririsan dengan gejala deindustrialisasi. Maksudnya, ekspor yang merosot terjadi bersamaan dengan penurunan kontribusi sektor industri terhadap perekonomian. Saat ini sumbangan sektor industri terhadap PDB (produk domestik bruto) hanya 23,5%; padahal pada 2006 masih sekitar 28%. Artinya, pendalaman ekonomi nasional berhenti sehingga nilai tambah tak meningkat. Kedua, dalam kurun waktu yang sama terjadi peningkatan porsi impor dalam bentuk bahan baku. Sekarang sekitar 72% dari total impor adalah bahan baku, sehingga menerbitkan kesimpulan sektor industri/jasa yang dikembangkan tak berbasis sumber daya ekonomi domestik.
Pengendalian Liberalisasi
Dalam situasi yang porak poranda seperti itu pemerintah (melalui Kementerian Perdagangan) membuat target peningkatan ekspor yang fantastis dalam 5 tahun ke depan (2015-2019). Pada 2015 ini target pemerintah masih terbilang realistis (meski tak mudah mencapainya), yakni sebesar US$ 192,9 miliar. Peningkatan sekitar US$ 15 miliar dibandingkan tahun lalu masih berada dalam jangkauan pemerintah. Tentu saja, faktor ekonomi global yang masih berawan bisa menggganggu target tersebut, di samping penguatan ekonomi domestik kemungkinan baru terjadi mulai 2016. Tapi target itu makin sulit dicapai pada tahun-tahun berikutnya, karena pada 2016 ekspor diharapkan mencapai US$ 255,6 miliar; kemudian US$ 322,2 miliar (2017); US$ 391,5 miliar (2018); dan US$ 458,8 miliar (2019) [Kementerian Perdagangan, 2015).
Target itu dikatakan fantastis disebabkan oleh dua faktor berikut. Pertama, dalam sistem ekonomi yang terbuka daya dorong ekonomi sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi internasional, apalagi terkait perdagangan. Dalam 3 tahun ke depan ekonomi internasional masih relatif sama, sehingga peningkatan ekspor tak bisa dipacu secara cepat. Kedua, liberalisasi perdagangan yang makin massif, apalagi Indonesia sebentar lagi akan masuk dalam Masyarakat Ekonomi Asean/MEA, membuat pasar domestik kian terbuka sehingga potensi peningkatan impor menjadi lebih besar. Saat ini saja, pada periode Januari – Oktober 2014, pada level Asean Indonesia mengalami defisit dengan Vietnam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand (Kementerian Perdagangan, 2015). Sulit dalam jangka pendek untuk mengubah situasi ini, bahkan pada level Asean sekalipun.
Tentu saja optimisme itu lantas tak laik diapresiasi. Keberanian pemerintah tersebut pantas diberi tepuk tangan, namun jangan sampai target itu menjadi tak berpijak bumi. Oleh karena itu, hal-hal pokok yang mesti dikerjakan pemerintah adalah: memperdalam kegiatan ekonomi (reindustrialisasi), investasi inovasi dan pengembangan teknologi (anggaran R&D diperbesar), membangun keterkaitan ke belakang dan ke depan yang kuat (backward and forward linkages), modernisasi jaringan pemasaran internasional (via penguatan intelijen ekonomi ditiap kedutaan di luar negeri), peningkatan komitmen sektor keuangan (perbankan) ke sektor riil, pembangunan infrastruktur yang solid, dan efisiensi birokrasi. Hal ini masih harus ditambah dengan evaluasi atas keterbukaan ekonomi agar tidak telanjang. Itulah agenda dan harga yang harus ditebus pemerintah jika target tersebut tak ingin disebut sebagai mimpi.
Â
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef