Perekonomian 2011 dipastikan akan memiliki prospek yang lebih cerah ketimbang 2010. Ekonomi negeri maju dan beberapa motor penggerak perekonomian dunia (China, India, Brazil, dan lain-lain) diproyeksikan berjalan lebih kencang pada tahun ini. Sungguh pun begitu, tetap saja ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi dunia masih akan terjadi pada 2011 ini, meneruskan tahun sebelumnya (2010). Perekonomian negara-negara maju (AS, Jepang, dan Eropa) memang akan tumbuh lebih baik ketimbang tahun sebelumnya, namun pertumbuhannya tidak akan setinggi negara-negara emerging markets, sehingga potensi pengaliran dana dari negara maju ke negara berkembang masih akan terus berlangsung. Inilah yang menyebabkan capital inflow mengalir dari negara maju ke negara berkembang, termasuk ke Indonesia. Kelihatannya ini menguntungkan bagi kita, tapi sebetulnya terdapat ancaman di baliknya.
Menjaga Inflasi Inti
Pada 2010 lalu, inflasi inti (core inflation) memang masih dalam taraf yang bisa dikendalikan (4,28%), meskipun capital inflow mengalir deras ke Indonesia. Tentu saja keberhasilan Bank Indonesia (BI) yang mampu menjaga inflasi inti ini patut diapresiasi mengingat pengelolaan capital inflow itu memang tidak semudah yang dibayangkan. Di sisi lain, keberhasilan pengendalian inflasi itu harus dibayar dengan mahal berupa beban bunga yang harus dibayar BI dari capital inflow yang ditanam di SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Oleh karena itu, pada 2010 lalu BI harus merogoh kocek sangat dalam untuk membiayai operasi moneter lewat SBI. Seandainya BI tidak melakukan sterilisasi capital inflow ke SBI, maka rupiah akan mengalami penguatan yang hebat dan itu pasti akan memukul daya saing ekspor nasional. Jadi, di sini seperti buah simalakama, sulit mencapai dua tujuan itu sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
Pada tahun ini, di luar perkiraan bahwa capital inflow masih akan deras mengalir ke sini, perlu diantisipasi adanya pembalikan arus modal keluar yang berpotensi menggelincirkan perekonomian. Potensi ini bisa terjadi dari dua kemungkinan. Pertama, perekonomian domestik tiba-tiba memburuk akibat soal ekonomi (harga pangan dan minyak yang melambung) ataupun situasi politik yang memanas. Meskipun sampai hari ini hal itu jauh dari kemungkinan terjadi, namun tidak ada yang memastikan segala sesuatunya akan terus aman sampai akhir tahun. Kedua, apabila pemulihan ekonomi negara-negara maju ternyata lebih cepat dari yang diperkirakan. Jika ini yang terjadi, maka dengan mudah investor membawa kembali uangnya dan menanamkan ke negara asalnya. Bila salah satu skenario itu terjadi, maka inflasi berpotensi melambung akibat nilai tukar yang melemah sebagai dampak dari pembalikan arus modal (sudden reversal).
Berikutnya, saat ini juga terdapat intensi wacana yang sedemikian tinggi untuk menaikkan BI rate sebagai upaya untuk menekan inflasi. Saya memiliki pendapat yang berbeda soal ini. Secara teoritis memang telah cukup alasan bagi BI untuk menaikkan BI rate karena inflasi 2010 mencapai 6,96%. Tapi, jika masalah itu hendak ditutup dengan menaikkan BI rate kemungkinan akan muncul masalah yang lebih besar. Skenarionya, BI rate akan mengerek tingkat suku bunga perbankan (deposito dan kredit) lebih tinggi sehingga membuat ongkos investasi makin mahal. Implikasinya, barang berkurang (menyebabkan inflasi) dan pengangguran bertambah sehingga menekan pertumbuhan ekonomi. Berikutnya, sumber inflasi bukan hanya dari sisi moneter (akan dijelaskan di bagian bawah) sehingga kebijakan menaikkan BI rate menjadi tifdak efektif. BI rate akan efektif jika sumber inflasi sebagian besar berasal dari sisi moneter.
Pangan dan Minyak
Persoalannya, apabila otoritas moneter berhasil mengatasi inflasi, tidak lantas ancaman itu berhenti. Beberapa tahun terakhir justru menunjukkan sumber ancaman inflasi terbesar ada di non-moneter, baik itu harga pangan, minyak, maupun harga-harga yang diatur pemerintah (administered price). Celakanya, harga pangan dan minyak pada tahun ini berpotensi melambung karena perubahan iklim dan kenaikan permintaan. Harga pangan di pasar internasional dipastikan akan naik karena di beberapa negara terjadi gelombag bencana, khususnya banjir, sehingga mengganggu produksi komoditas pertanian. AS, Eropa, Brazil, dan Australia merupakan negara-negara yang sempat dilanda bencana hebat. Sementara itu, harga minyak saat ini sudah bertengger pada level yang tinggi, sekitar 90 US$ per barrel, karena permintaan naik sebagai dampak dari musim dingin yang hebat di negara-negara Eropa dan AS.
Beberapa komoditas pangan nasional sampai kini masih harus impor, seperti gula, kedelai, jagung, beras, daging, susu, dan lain-lain. Jika harga pangan tersebut di pasar internasional meroket (ditambah kemungkinan nilai tukar anjlok akibat pembalikan arus modal), maka bisa dipastikan harga pangan domestik akan melambung dan menjadi sumber inflasi yang besar (seperti kasus awal 2008 lalu). Jadi, selama kebutuhan pangan kita masih tergantung dari impor, maka fluktuasi harga pangan tidak mungkin dihindari. Selebihnya, sebagian besar problem sektor pangan berasal dari dalam negeri sendiri. Problem yang sampai sekarang belum bisa ditangani secara layak adalah struktur distribusi yang oligopolistik sehingga dengan mudah distributor mengontrol pasokan dan harga di pasar. Berikutnya, infrastruktur yang buruk juga mengganggu distribusi pangan sehingga dibeberapa daerah (luar Jawa) mengalami kelangkaan pangan.
Hal yang tidak kalah perlu diwaspai dalah kenaikan harga minyak. Di sini ada dua titik yang penting untuk diperhatikan. Pertama, pemerintah bersikap ambigu tentang kebijakan kenaikan harga minyak dan pembatasan konsumsi minyak. Rencana ini menjadi tarik ulur yang tidak berkesudahan, sehingga membuat ekspektasi yang tidak menguntungkan di masyarakat. Disarankan pemerintah segera mengambil kebijakan yang pasti (dan mudah untuk diimplementasikan) sehingga mengurangi spekulasi yang tidak perlu. Kedua, menyusun APBN secara matang, termasuk semua skenario harga minyak internasional, sehingga sejak awal telah diantisipasi kebijakan-kebijakan untuk menetralisasi inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga minyak. Jadi, intinya jika pemerintah dan BI menyiapkan seluruhnya secara baik, maka pengelolaan inflasi akan lebih mudah dilakukan; demikian sebaliknya.
Investordaily, 17 Januari 2011
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FE
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef