Beberapa waktu lalu, World Economic Forum membuat laporan menyenangkan menyangkut daya saing ekonomi nasional. Lembaga tersebut menyebutkan peringkat daya saing ekonomi Indonesia meningkat dari posisi 54 (2009) menjadi 44 (2010) dari 139 negara. Jika menilik hasil laporan tersebut, maka mestinya dapat dibayangkan adanya praktik manajemen perekonomian nasional sudah sedemikian mapan, atau sekurangnya mengarah kepada perbaikan yang substantif, sehingga tidak dijumpai lagi masalah-masalah ekonomi klise yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat. Namun, sampai di sini terdapat fakta yang mencemaskan, ketika modernisasi dan perubahan ekonomi telah berjalan begitu cepat, mengapa soal-soal “tradisional†masih saja berlangsung di sini? Konsistensi kebijakan yang tidak stabil, proteksi jaminan hak kepemilikan, perizinan investasi yang lama, serta problem pembebasan lahan yang rumit merupakan contoh masalah-masalah “primitif†yang tidak kunjung teratasi.
Krisis dan Reformasi
Harus diakui krisis ekonomi 1997/1998 telah mengubah banyak tampilan perekonomian nasional. Sekurangnya terdapat dua alasan menempatkan krisis 1997/1998 sebagai alasan terjadinya perubahan ekonomi. Pertama, krisis periode tersebut sangat dahsyat sehingga meremukkan seluruh sendi perekonomian, meskipun sebenarnya pemicunya dimulai hanya dari sisi moneter, khususnya nilai tukar. Krisis itu bukan cuma mengguncang pondasi sektor finansial, tetapi juga merontokkan bangunan sektor riil. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi terperosok hingga -13,1% (1998). Kedua, setelah krisis itu wajah perekonomian nasional berubah secara drastis, terutama akibat kebijakan reformasi ekonomi. Secara normatif, lanskap perekonomian nasional menjadi lebih ramah kepada pasar, terbuka, dan terdesentralisasi. Kebijakan reformasi ini dalam prosesnya didorong oleh dua kekuatan penting: institusi eksternal maupun aspirasi domestik.
Sejak saat itulah kebijakan reformasi ekonomi dikerjakan dengan sistematika sebagai berikut. Pertama, reformasi ekonomi pada level makro dimulai pada dekade 1980-an ketika beberapa sektor ekonomi (manufaktur, perbankan, transportasi, dan lain-lain) dideregulasi dan diliberalisasi cukup massif (McCawley, 2002:262). Kedua, reformasi ekonomi pada level meso, yakni mendesain manajemen pembangunan ekonomi (politik) yang mulai didesentralisasi, yang kemudian dikenal dengan istilah otonomi daerah. Manajemen sentralisasi di masa lalu dipandang sebagai sumber macetnya pembangunan ekonomi, padahal potensi yang seharusnya dicapai jauh lebih besar dari yang telah digapai. Ketiga, reformasi pada level mikro agar perekonomian berjalan secara sehat, yang dirumuskan dalam UU No. 5/1999. Sebelum periode 1997/1998, perekonomian nasional dikenal sangat distortif karena penguasaan ekonomi digenggam oleh segelintir pelaku ekonomi.
Kebijakan reformasi ekonomi tersebut dirinci lagi menjadi kebijakan-kebijakan yang lebih operasional, yang sebagian dipandu oleh lembaga multilateral (IMF dan Bank Dunia). Beberapa kebijakan operasional yang penting antara lain: Pertama, pemerintah mengubah secara drastis hak kepemilikan sumber daya ekonomi menuju kepemilikan swasta (private property rights), termasuk sumber daya ekonomi yang seharusnya dimiliki dan dikuasai oleh negara. Kedua, kontrol harga dilepas satu per satu, khususnya yang berkenaan dengan komoditas pertanian, padahal kelembagaan produksi dan distribusi belum sepenuhnya disentuh pemerintah. Ketiga, liberalisasi dijalankan secara ekstensif untuk sebagian besar sektor ekonomi, khususnya sektor keuangan dan perbankan. Keempat, strategi privatisasi lebih dipilih pemerintah untuk membangun kultur korporasi dan efisiensi BUMN. Pemerintah meyakini sektor swasta lebih mampu memerbaiki kinerja BUMN yang sedang sekarat.
Birokrasi dan Kelembagaan
Problemnya kemudian, mengapa liberalisasi keuangan dan perdagangan tidak membawa manfaat kepada bangsa ini (seperti yang digambarkan oleh perumus kebijakan)? Â Kenapa desentralisasi ekonomi malah menenggelamkan perekonomian daerah? Mengapa regulasi persaingan usaha malah kian meminggirkan pelaku ekonomi kecil, seperti pasar tradisional? Tiga jawaban berikut mungkin bisa membantu. Pertama, reformasi administrasi/birokrasi merupakan domain penting yang malah tidak tersentuh dalam proyek perubahan ekonomi. Refromasi ekonomi bukan meniadakan peran birokrasi, karena justru dalam proses itu dibutuhkan peran permintah yang cakap dan selektif (capable state). Inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa desentralisasi ekonomi dan persaingan usaha tidak banyak mengubah watak ekonomi nasional karena tabiat birokrasi masih tetap seragam seperti dulu: peminta layanan, pemburu rente, atau penelikung regulasi. Akibatnya, mesin ekonomi macet karena pelumas birokrasi tidak bekerja secara optimal.
Kedua, setiap kebijakan tidak akan berjalan dengan baik bila tidak ditopang oleh kelembagaan (aturan main) yang berperan sebagai tata kelola. Selama ini, sebagian kebijakan ekonomi pemerintah bukan cuma kerap tidak mejawab tantangan di lapangan, tetapi aturan mainnya juga tidak lengkap. Kebijakan perizinan usaha, proteksi terhadap hak kepemilikan, dan masalah pembebasan lahan boleh dikatakan tidak ada kemajuan dibandingkan dimasa lampau. Jika ada regulasi baru, kebijakan itu melenceng di tengah jalan karena tidak dipandu oleh kelembagaan. Pemerintah masih menangani masalah masih sebatas “institusi†(kementerian), bukan “institutions†(kelembagaan). Contoh terbaru adalah rencana pemerintah mengurangi konsumsi minyak premium untuk kendaraan yang diproduksi tahun 2005 ke atas. Jika kebijakan ini tidak ditopang dengan kelembagaan, pasti akan menimbulkan masalah untuk menjalankannya.
Ketiga, laporan terbaru World Economic Forum (2010) mengkonfirmasi bahwa salah satu titik serius bagi peningkatan daya saing ekonomi nasional adalah jaminan hak kepemilikan (property rights) yang rendah akibat penegakan hukum yang lemah. Tanpa perlindungan hukum bagi kegiatan investasi, misalnya dalam hal praktik penjiplakan, pembajakan, dan lain-lain, maka sulit diharapkan investor melakukan penanaman modal secara berkelanjutan. Jadi, selama ini faktor penguatan sistem hukum (legal system) juga mengalami problem sehingga mengganggu upaya-upaya perbaikan iklim investasi. Deskripsi ini secara jelas menunjukkan di lapangan tidak tampak adanya strategi pengelolaan perubahan ekonomi yang solid dan kreatif, sehingga soal-soal primitif di atas akan terus mengemuka di tengah adanya perubahan/modernisasi ekonomi. Pada titik ini, kenaikan daya saing ekonomi hanyalah setitik warta menggembirakan dengan menyembunyikan borok masalah yang sulit ditutupi.