Tahun terjal 2009 sudah dilewati dan sebagian pihak menarik napas lega karena perekonomian nasional tidak jadi terhempas terlalu keras. Dilihat dari indikator-indikator makro terlihat kinerja ekonomi tidak terlalu mengecewakan, lebih-lebih bila dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan lain-lain. Pertumbuhan ekonomi 2009 masih pada level 4,5%, neraca pembayaran tercatat positif, dan ekspor turun namun tidak seberat yang dirasakan negara-negara tetangga tersebut. Inflasi berada pada level sekitar 3% (terendah dalam sejarah modern ekonomi Indonesia) di tengah angka pengangguran dan kemiskinan yang turun secara perlahan-lahan. Jadi, dari sisi makroekonomi pemerintah boleh dianggap berhasil mengemudikan pesawat perekonomian nasional hingga mendarat secara mulus (soft-landing). Persoalannya, apakah gambaran itu mewakili keadaan yang sesungguhnya?
Karakter Lama Ekonomi
Kinerja makroekonomi nasional pada 2010 dipastikan akan lebih baik ketimbang 2009. Beberapa kondisi eksternal dan internal perekonomian sedang berpihak terhadap perekonomian Indonesia. Perekonomian negara-negara maju sudah mulai bergeliat setelah setahun terakhir berusaha memulihkan krisis ekonominya, antara lain dengan stimulus ekonomi yang luar biasa besar. Peran China tidak bisa diabaikan dalam proses ini, karena sebagian besar obligasi yang dijual pemerintah AS dibeli oleh pemerintah China. Tanpa China mengambil posisi seperti itu, sulit dibayangkan pembiayaan defisit di negara maju dapat direalisasikan. Lainnya, investor dari negara-negara maju mulai mencari pasar baru sehingga peluang negara-negara berkembang untuk menyerap dana menjadi terbuka lebar. Indonesia merupakan bagian dari negara-negara yang memiliki potensi tersebut, sebagian karena ukuran pasarnya (penduduk) yang besar.
Sungguh pun begitu, prospek pertumbuhan ekonomi yang bagus itu tidak memiliki makna yang besar apabila karakter ekonomi nasional tidak berubah. Soal-soal mendasar yang perlu segera digeser antara lain dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, sumber pembiayaan investasi harus didorong dari pelaku ekonomi domestik. Sampai kini, sekitar 80% investasi nasional masih bersumber dari sumber asing (foreign direct investment dan portfolio investment). Jika ini tidak diubah sejak sekarang, maka di masa depan berpotensi menimbulkan bara ekonomi yang sulit dipadamkan. Kedua, investasi harus mulai difokuskan kepada sektor pertanian dan industri serta wilayah Indonesia bagian timur. Saat ini, sektor yang berkembang adalah non-tradeable yang kurang mempunyai implikasi terhadap penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, 90% investasi ada di Pulau Jawa sehingga menajdi sumber ketimpangan pembangunan antardaerah.
Ketiga, gejala deindustrialisasi yang telah berlangsung merupakan bagian yang harus ditanggulangi sejak dini. Sektor pengolahan ini harus dikembangkan berdasarkan roadmap berbasis pertanian dan sumber daya alam. Sehingga, nantinya tidak hanya menyumbangkan nilai tambah yang besar, tetapi juga mengurangi tenaga kerja yang bekerja di sektor informal. Seperti diketahui, sekarang sekitar 65% tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor infomal dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang menyedihkan. Keempat, iklim usaha dan daya saing ekonomi harus dipacu lebih cepat dengan memerbaiki dua hal pokok, yakni kualitas regulasi dan infrastruktur. Regulasi izin usaha, ketenagakerjaan, dan perpajakan berjalan amat lambat sehingga tidak paralel dengan perubahan ekonomi yang cepat. Sementara itu, infrastruktur ekonomi, seperti listrik, merupakan salah satu sumber penyumbat akselerasi perekonomian nasional.
Mengubah Haluan Ekonomi
Tentu menggeser dasar-dasar ekonomi seperti diuraikan di muka tidak bakal selesai dalam satu tahun. Proses itu paling cepat dapat diatasi dalam 5 tahun. Namun, tanpa dimulai dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan yang tepat dan dikawal secara terus-menerus, maka tujuan seperti yang diangankan itu tidak akan pernah kesampaian. Pertama, dalam soal investasi, tidak ada cara lain harus dibuat desain insentif yang berbeda antara pelaku ekonomi domestik dan luar negeri, antara wilayah Jawa dan Luar Jawa, serta antara tradeable sector dan non-tradeable sector. Karpet merah tidak selayaknya digelar tanpa reserve bagi pelaku ekonomi asing, tapi prioritas mesti diberikan kepada pelaku ekonomi domestik. Ketiadaan modal domestik yang memadai tidak harus diatasi dengan mengorbankan kemandirian ekonomi. Demikian pula, insentif fiskal dan nonfiskal harus didorong kepada wilayah Indonesia bagian timur.
Kedua, spirit kegiatan ekonomi berbasis pengolahan harus digalakkan mulai kini sehingga menjadi karakter baru perekonomian nasional. Bahasa persaingan ekonomi dunia hanya dapat dijawab dengan peningkatan nilai tambah karena di sinilah terletak dua hal pokok: harga yang lebih mahal dan pembesaran aktivitas ekonomi. Negara yang cuma bertumpu pada komoditas bahan mentah akan menjadi pecundang dalam percaturan ekonomi dunia. Sayangnya, justru di sinilah letak kelemahan ekonomi nasional. Oleh karena itu, percepatan integrasi antara sektor pertanian/sumber daya alam dengan sektor industri/jasa merupakan jalan keluar yang tidak bisa ditunda. Dengan haluan baru inilah kinerja makroekonomi pada 2010 dan masa-masa mendatang akan berjalan paralel dengan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, jika upaya ini tidak dimulai, maka pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi fatamorgana bagi sebagian besar orang.