Persoalan kenaikan harga dan kelangkaan beberapa komoditas pertanian, seperti minyak goreng, gula, dan kedelai, yang terjadi akhir-akhir ini sebetulnya hanyalah merupakan riak dari gulungan tsunami besar yang bakal segera merontokkan sendi-sendi perekonomian nasional. Setidaknya terdapat tiga argumentasi untuk menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia sedang dalam bahaya besar. Pertama, sebagian besar komoditas penting pertanian sudah sangat tergantung dari impor sehingga rawan dengan fluktuasi pasokan dan harga, seperti produk kedelai. Kedua, lahan pertanian semakin menciut sehingga total produksi beberapa komoditas penting juga menurun, meskipun produktivitas per hektar mengalami peningkatan. Ketiga, tidak terdapat rencana strategis pemerintah untuk pembangunan sektor pertanian, khususnya dalam hal pengembangan industri pengolahan yang berbasis sektor pertanian. Ketiga hal inilah yang akan menenggelamkan sektor pertanian Indonesia.
Tiga Masalah Dasar
Data-data yang tersedia menunjukkan sebagian besar komoditas pertanian penting sangat tergantung dari impor. Pada 2004, misalnya, Indonesia mengimpor beras sebesar 3,7 juta ton, gula 1,6 juta ton (sekitar 50% dari kebutuhan konsumsi gula nasional), gandum 4,5 juta ton, jagung 1,3 juta ton, dan kedelai 1,3 juta ton. Di luar, itu masih terdapat banyak komoditas yang diimpor dalam jumlah yang fantastis, seperti kedelai, tepung susu, makanan olahan, garam, singkong, kacang tanah, ternak sapi, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Fakta ini menyiratkan perkembangan yang ironis, karena Indonesia merupakan negara agraris tapi dengan impor produk pertanian yang sangat besar (bibit kita juga melakukan impor). Sekadar ilustrasi, pada dekade 1930-an Indonesia merupakan eksportir terbesar kedua terbesar di dunia untuk komoditas gula. Saat ini, sebaliknya, Indonesia merupakan importir kedua terbesar di dunia untuk komditas tersebut (gula). Tentu saja ini merupakan kisah yang tidak sedap untuk diungkapkan.
Berikutnya, luas lahan pertanian di Indonesia mengalami penurunan secara terus-menerus. BPS dan BPN mencatat sekurangnya setiap tahun lahan pertanian yang mengalami konversi untuk kepentingan sektor lain (industri, jasa, pemukiman, dan lain-lain) mencapai 25.000 hektar. Sehingga, walaupun pemerintah berusaha untuk meningkatkan produktivitas (misalnya dengan penemuan teknologi) tetap saja total produksi akan menurun karena jumlah lahan yang merosot. Ini berbeda dengan pengalaman negara lain, seperti AS, yang perekonomiannya berbasis sektor industri dan jasa. Sekadar contoh, di AS tahun 1955 produksi jagung 73 juta ton, tetapi 50 tahun kemudian (2005) naik 390% menjadi 282 juta ton. Luas areal panen naik dari 27 juta hektar (1955) menjadi 30,1 juta hektar (2005). Sebaliknya, di Indonesia luas lahan kedelai yang pada tahun 1992 mencapai 1,6 juta hektar, saat ini (2007) tinggal sekitar 450 ribu hektar. Sehingga, total produksi kedelai menurun sangat tajam.
Akhirnya, setiap pembangunan pertanian harus memuat tiga fase penting. Pertama, fase penyediaan infrastruktur dasar bagi kegiatan produksi, yakni irigasi, bibit, pupuk, jalan, penyuluhan, dan ketersediaan lahan. Kedua, fase penguatan pasar. Di sini harus didesain kelembagaan (rules of the game) pemasaran, perkreditan, pasokan input, dan lain sebagainya sehingga dijamin produksi komoditas pertanian dapat masuk ke pasar dengan mengandaikan benefit kepada petani dan pelaku lainnya secara proporsional. Ketiga, fase eksekusi, yaitu menggandeng pelaku di sektor privat (korporasi) untuk menggerakkan produksi ke pasar internasional maupun mengolahnya menjadi komoditas yang memiliki nilai tambah. Fase terakhir ini merupakan nama lain dari strategi agribisnis yang sudah lama dikumandangkan. Sayangnya, fase eksekusi ini sulit untuk dijalankan karena fase pertama (infrastruktur dasar) dan kedua (penguatan pasar) dari pembangunan pertanian di Indonesia masih carut marut.
Membangun Pondasi Pertanian
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa struktur pembangunan pertanian di Indonesia sangat rapuh, sehingga hal utama yang harus dilakukan adalah membangun kembali pondasi sektor pertanian. Di sini investasi infrastruktur dasar harus segera dimulai, sama sekali tidak bisa ditunda. Infrastruktur dasar yang sangat penting adalah penataan lahan (reformasi tanah), perbaikan dan penambahan irigasi, dan pengadaan bibit (dan pupuk). Reformasi tanah merupakan keniscayaan dan sudah dipahami oleh pemerintah, namun program ini berjalan sangat pelan sehingga tidak mampu mengikuti target yang telah dicanangkan. Sementara itu, perbaikan irigasi juga sangat mendesak sebab sekitar 22,4% irigasi di Indonesia dalam keadaan rusak. Tanpa dukungan irigasi yang bagus, maka kegiatan produksi pasti terhambat. Selanjutnya, penyediaan bibit (dan pupuk) dengan harga terjangkau sangat dibutuhkan oleh petani (kecil) agar aktivitas penanaman tidak berhenti.
Setelah masalah-masalah itu dapat dirampungkan, maka pekerjaan yang harus dieksekusi adalah penguatan pasar danĀ mendesain kerjasama dengan sektor privat. Program penguatan pasar merupakan media yang mempertemukan transaksi antara sektor hulu dan hilir di sektor pertanian. Pada level ini terhadap tiga pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, yakni mendesain sistem keuangan yang sesuai dengan kebutuhan pelaku di sektor pertanian, sistem pasokan input, dan pasar output lokal. Sedangkan kerjasama dengan pelaku ekonomi swasta bertujuan untuk mengeksekusi kegiatan lanjutan di sektor pertanian, khususnya pemasaran dan pengolahan, sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-pertanian. Melalui upaya-upaya yang sistematis tersebut diharapkan pembangunan sektor pertanian di Indonesia setahap demi setahap dapat dapat dicapai, sehingga nasib petani dan pengusaha kecil (dan rakyat miskin) tidak diombang-ambingkan oleh fluktuasi harga komoditas pertanian di pasar internasional.
Media Indonesia, 20 Februari 2008
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi FE Unibraw; Ekonom Indef, Jakarta