Beberapa waktu lalu BPS telah melansir kinerja perekonomian nasional pada triwulan I 2010. Data-data menunjukkan seluruh sektor ekonomi tumbuh positif terhadap triwulan I 2009. Sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan tumbuh 2,9%; pertambangan dan penggalian 3,5%; industri pengolahan 3,6%; listrik, gas, dan air bersih (LGA) 7,2%; konstruksi 7,3%; perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) 9,3%; pengangkutan dan komunikasi 11,9%; keuangan, realestat, dan jasa perusahaan 5,5%; dan jasa-jasa 4,6%. Akumulasi dari itu, pertumbuhan ekonomi triwulan I 2010 mencapai 5,7%. Dari data-data tersebut nampak semua sektor ekonomi telah berjalan pada jalur pemulihan ekonomi. Namun, beberapa sektor masih perlu diwaspadai karena sekurangnya terdapat 4 sektor yang tumbuh negatif terhadap triwulan IV 2009, yakni pertambangan dan penggalian (-1,9%); industri pengolahan (1,0%), LGA (-2,7%); dan konstruksi (-2,2%). Sementara itu, PHR stagnan (0,0%) dan jasa-jasa tumbuh tipis 0,2%.
Membaca Kinerja Ekonomi
Menyimak angka-angka pertumbuhan ekonomi tersebut kita boleh lega karena prospek pertumbuhan ekonomi 2010 menjadi lebih cerah lagi. Pada triwulan I perekonomian biasanya belum berjalan kencang karena hampir seluruh pelaku ekonomi melakukan konsolidasi. Penyerapan anggaran biasanya masih seret karena direpotkan dengan perencanaan kegiatan, investasi belum terlalu banyak karena investor masih melihat situasi ke depan, dan konsumsi masyarakat masih tertahan karena baru dalam fase mengumpulkan pendapatan (setelah terkuras pada akhir tahun sebelumnya). Inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi triwulan I kecenderungannya selalu paling rendah daripada triwulan-triwulan berikutnya. Oleh karena itu, pertumbuhan sebesar 5,7% pantas disyukuri, sebab pada triwulan berikutnya potensi meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sangat mungkin digapai. Dengan dasar ini, saya percaya sepenuhnya pada 2010 ini perekonomian dapat tumbuh sebesar 6%.
Sungguh pun begitu, secara umum terdapat dua catatan besar atas kinerja ekonomi triwulan I 2010. Pertama, seperti pola tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi tertinggi tetap disumbang dari non-tradeable sector. Sebaliknya, tradeable sector (seperti pertanian, industri pengolahan, dan pertambangan) masih tetap berada dalam zona pertumbuhan rendah. Sektor riil (tradeable sector) dicirikan dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi, sedangkan sektor yang tidak diperdagangkan elastisitas penyerapan tenaga kerjanya rendah. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada triwulan I 2010 ini tidak bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, sebab yang tumbuh tinggi adalah non-tradeable sector. Pada titik ini, pola pertumbuhan ekonomi tersebut tidak paralel dengan tujuan pengurangan pengangguran. Oleh karena itu, jika pemerintah benar-benar hendak mengatasi persoalan pengangguran, maka pertumbuhan ekonomi harus didorong ke sektor riil.
Kedua, pertumbuhan ekonomi triwulan I 2010 yang tumbuh 5,7% terhadap triwulan I 2009 perlu dilihat secara lebih hati-hati. Sebab, pada 2009 merupakan puncak dari krisis ekonomi 2008, khususnya pada triwulan I dan II 2009. Pengertian ini membawa kepada pemahaman bahwa komparasi dengan periode 2009 tersebut tidak terlalu tepat, karena baseline pertumbuhan ekonomi pada periode itu terlalu rendah untuk dijadikan acuan (komparasi). Jadi, ekonomi triwulan I 2010 bisa tumbuh 5,7% disebabkan pada periode yang sama tahun lalu tumbuh sangat rendah. Disatu sisi, perolehan pertumbuhan ekonomi ini tentu harus disyukuri, tapi di sisi lain masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan. Sehingga, pertumbuhan sebesar itu belum dapat mengembalikan perekonomian pada jalur cepat seperti sebelum krisis 2008. Pertumbuhan sebesar ini baru merupakan landasan yang memadai untuk mengarahkan perekonomian pada jalur pertumbuhan yang cepat di masa mendatang.
Pengelolaan Capital In(out)flow
Siklus ketidakpastian ekonomi pada satu dekade terakhir ini kian cepat sehingga mengharuskan pengambil kebijakan menganalis secara gegas sebagai dasar merumuskan kebijakan (yang tepat). Dalam beberapa aspek, situasi makroekonomi domestik maupun global sedang memihak Indonesia, sehingga momentum ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Pertumbuhan ekonomi global telah menuju kepada pemulihan secara normal setelah dihajar krisis keuangan 2008. Sungguh pun begitu, krisis Yunani dan Spanyol sekarang harus diperhatikan secara saksama karena kian serius dari waktu ke waktu. Dslam dua pecan ini nilai tukar rupiah anjlok ke kisaran Rp 9.300/dolar karena terjadinya modal asing keluar (capital outflow) akibat sentimen krisis Yunani. Disatu sisi penurunan rupiah ini menguntungkan karena daya saing ekspor Indonesia menjadi lebih bagus di pasar internasional. Tetapi, di luar itu ada konsekuensi lain yang harus ditanggung pemerintah akibat pelemahan nilai tukar rupiah, seperti pembengkakan cicilan pokok dan bunga utang luar negeri.
Masalah lain yang perlu diwaspadai adalah capital inflow yang deras (terlepas adanya fakta dua pekan ini terjadi arus capital outflow). Cadangan devisa saat ini sudah pada level di atas US$ 80 miliar, di mana sebagian merupakan hasil dari portfolio investment. SBI dan SUN dibanjiri oleh dana asing, di mana kontribusi asing pada SUN mencapai Rp 147,71 triliun dan SBI hampir mencapai Rp 83 triliun pada akhir April 2010. Lonjakan dana asing itu luar biasa cepat sehingga perlu pengelolaan yang tepat. Saat ini saja BI sudah membukukan defisit sekitar Rp 8 triliun untuk biaya operasi moneter tersebut. Secepatnya harus dicari instrumen untuk mengalihkan dana asing itu ke sektor privat (misalkan perbankan) atau investasi riil (langsung). Sebab, jika dana itu tetap berada di SBI (juga SUN), di samping membebani keuangan negara (pembayaran bunga), juga menyebabkan nilai tukar rupiah rentan (karena dana itu bisa diambil sewaktu-waktu) dan tidak memiliki dampak terhadap kesejahteraan sebagian besar rakyat.
Akhirnya, pemerintah harus betul-betul berjuang mendongkrak investasi langsung ke sektor riil. Kita telah kehilangan waktu sekurangnya satu dekade untuk membangun sektor riil secara kokoh, sehingga pertumbuhan sektor tersebut kalah ketimbangan non-tradeable sector. Sektor pertanian harus dipacu kembali dengan menggerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki, misalnya dana, infrastruktur, penguasaan tanah, sarana produksi, distribusi dan pemasaran, dan lain sebagainya. Sektor ini dibangun semata bukan melayani kepentingan konsumen, tetapi juga memasok sektor industri untuk diolah menjadi barang bernilai tambah lebih besar. Hanya dengan jalan inilah kesejahteraan petani, masyarakat, dan pelaku ekonomi lainnya dapat dicapai. Pemerintah belum terlambat sema sekali untuk memulai ini, tapi tentu dengan menghendaki upaya yang jauh lebih keras dan cepat. Tanpa syarat ini, maka mustahil kita dapat mengejar perekonomian Malaysia, Thailand, Singapura, China, atau negara maju lainnya.