Saat 2010 memasuki bulan keempat (April), pemerintah sudah menyatakan dengan optimis bahwa target inflasi sebesar 5,3% akan bisa tercapai. Saat itu, BPS mengumumkan inflasi Januari dan Februari 2010 sebesar 0,84% dan 0,30%, sedangkan Maret mengalami deflasi sebesar 0,14%. Namun, sejak awal, saya berpandangan terlalu banyak ketidakpastian pada 2010 ini sehingga potensi inflasi harus tetap diwaspadai. Hal itu mendapatkan konfirmasi yang meyakinkan ketika pada Juli 2010 pemerintah menaikan tarif dasar listrik yang mendongkrak inflasi dan sejak itu pula beberapa komoditas pangan, seperti beras dan cabai, harganya sulit dikendalikan. Pada momentum itulah, khususnya pada kuartal III, semua pengamat ekonomi bersuara seragam bahwa inflasi 2010 bisa dipastikan menembus 6% (kenyataannya malah 6,96%).
Pengungkit Inflasi
Sekurangnya terdapat dua pengungkit inflasi pada 2010 lalu. Pertama, harga pangan yang bergeral liar tanpa dapat dikendalikan oleh pemerintah. Problemnya sebagian karena proses produksi yang tidak lancar (perubahan iklim, bencana, dan lain-lain), tapi sebagiannya lainnya ada pada struktur pasar (distribusi) dan transportasi (ketersediaan infrastruktur). Ini merupakan masalah lama tapi tidak kunjung mendapatkan solusi yang mendasar dari pemerintah. Kedua, faktor lain yang tidak dapat dilupakan adalah sentimen kenaikan tarif dasar listrik pada pertengahan 2010 yang memiliki efek berantai pada bulan-bulan setelahnya. Kenaikan tarif listrik itu memicu kenaikan biaya produksi (misalnya industri/manufaktur) dan para pelaku ekonomi yang memanfaatkan efek psikologi kenaikan listrik. Ini yang turut menjadi pembeban inflasi 2010.
Khusus mengenai soal mafia distribusi komoditas pangan, sebetulnya bukan lagi merupakan rahasia. Pemerintah tahu persis soal ini karena pemain-pemain kuncinya sangat jelas, baik itu pada komoditas beras, gula, minyak, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mengherankan apabila sampai saat ini tidak ada langkah serius dan sistematis dari pemerintah untuk mengurai struktur pasar distribusi yang sangat distortif tersebut. Jika struktur pasar ini tidak diatasi, maka kebijakan apapun yang dilakukan pemerintah efektivitasnya menjadi rendah, entah menambah impor ataupun melakukan operasi pasar. Problem pada distribusi ini merupakan pekerjaan rumah paling utama dari pemerintah jika salah satu sumber terpenting dari kenaikan harga pangan ingin diselesaikan. Bila ini sudah disentuh, maka kebijakan-kebijakan lain menjadi pendukung untuk stabilisasi harga pangan.
Pada akhirnya, karakteristik inflasi di Indonesia ini layak diwaspadai karena akibat karakter itu, inflasi di sini sekaligus menjadi sumber penyebab ketimpangan pendapatan. Singkatnya, sumber penyumbang inflasi terbesar adalah komoditas pangan dan bahan makanan. Padahal, sekitar 70-80% pendapatan orang miskin digunakan untuk mengkonsumsi pangan. Jadi, pendapatan mereka benar-benar tergerus oleh karakter inflasi yang tidak ramah ini. Berikutnya, penikmat inflasi adalah kaum saudagar pangan (distributor, importir, dan lain-lain) yang memetik laba dari kenaikan harga komoditas tersebut. Dengan begitu, pada saat BPS Maret 2011 nanti mempublikasikan angka kemiskinan diproyeksikan angka kemiskinan akan meningkat lagi, kecuali pada hari-hari mendatang ini ada perubahan radikal dalam penurunan harga pangan.
Pengendalian Daerah
Komoditas pangan yang harganya terus melonjak umumnya dipicu tiga faktor, yakni produksi, distribusi, dan perdagangan yang belum memadai. Dari sisi produksi, faktor cuaca dan pengalihan fungsi sebagai bahan baku energi alternatif dituding sebagai penyebab. Sedangkan dari distribusi dan perdagangan lebih disebabkan mata rantai yang panjang dan adanya mafia pangan seperti yang menjangkiti beberapa komoditas, seperti gula dan berasa, di mana hal ini menjadi penyebab kelangkaan barang dan kemudian meningkatkan harga komoditas. Saat ini, impor dinilai sebagai instrumen yang tepat untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Dalam jangka panjang, investasi pada komoditas-komoditas penting perlu digenjot agar tidak terus bergantung pada impor. Selain itu, konsentrasi stimulus fiskal pada pengendalian harga barang dan jasa juga penting dilakukan.
Selain digerakkan dengan memerbaiki produksi maupun distribusi, pengendalian inflasi dapat dilakukan dengan memerkuat gerak tim pengendali inflasi di daerah-daerah. Keberadaan tim ini perlu diberdayakan sehingga pengelolaan inflasi dapat dilakuakn secara lebih baik, terutama di daerah-daerah yang mendonasikan inflasi tinggi, seperti Sibolga, Mataram, Jambi, Kupang, Bandar Lampung, Pematang Siantar, Bengkulu, Banjarmasin, dan lain-lain. Seperti diketahui, inflasi nasional dipicu oleh kenaikan harga di daerah-daerah yang diakumulasikan secara agregat sehingga membentuk inflasi nasional. Dengan demikian, porsi tim pengendali inflasi di daerah sangat penting. Ke depan arah pengendalian inflasi perlu spesifik menghajar wilayah-wilayah yang selama ini menjadi penyumbang inflasi besar, seperti yang telah disebutkan di muka.
Kontan, Edisi 10-16 Januari 2011
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef ;
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya