Perekonomian Indonesia usai krisis ekonomi 1997/1998 mengalami masalah dalam tiga level sekaligus. Pertama, pembangunan kehilangan dimensi jangka panjang akibat orientasi pencapaian variabel ekonomi jangka pendek. Pemerintah sudah mencoba mendesain RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), tapi tak pernah bersungguh-sungguh untuk mengawalnya (di samping substansi RPJP sendiri yang bermasalah). Kedua, pilihan kebijakan ekonomi yang diproduksi, baik untuk merespons persoalan kekinian maupun mengantisipasi tantangan ke depan, digerogoti oleh aneka kepentingan dan keterbatasan pembacaan peta masalah/tantangan. Ketiga, program pembangunan yang sudah dirancang banyak yang lunglai di lapangan akibat buruknya koordinasi dan keterbatasan kapasitas birokrasi. Agresivitas membuat paket kebijakan tak selini dengan percepatan mengimplementasikannya dalam wujud program yang terstruktur, terkelola, dan terukur.
Parasit Pembangunan
Persoalan pertama di atas lebih banyak bersinggungan dengan keyakinan bahwa arah ekonomi mesti dikawal oleh rencana pembangunan jangka panjang, sehingga pencapaian ekonomi jangka pendek merupakan tumpukan batu bata yang menyusun rumah Indonesia di masa depan. RPJP yang dibuat rasanya harus dipermak lagi (atau dibuat baru) supaya relevan dengan tujuan bernegara, seperti yang termaktub dalam konstitusi. Di samping itu, proses formulasi dan prosedur rencana jangka panjang itu mesti direvisi dengan melibatkan suara publik, baik yang disalurkan lewat jalur formal maupun infomal. Sementara itu, problem ketiga adalah rangkaian dari ikhtiar reformasi birokrasi yang hingga kini tak pernah dibuat konsepnya secara jelas dan dijalankan secara massif. Presiden sudah lebih delapan tahun bertahta, tapi sampai kini masih mengeluhkan soal birokrasi yang menjadi penghambat pembangunan. Ini merupakan frasa telanjang betapa frustasinya pemerintah mendongkrak efektivitas dan kualitas birokrasi sebagai penyangga pelaksanaan program-program pembangunan.
Menyangkut pilihan kebijakan ekonomi, perkara yang serius adalah tumbuhnya parasit aneka kepentingan dan pembacaan yang lemah atas “rules of the game†perekonomian. Di sini terdapat sekurangnya tiga kebijakan yang saat ini laik disebut berada dalam status darurat. Pertama, pilihan atas kebijakan pengelolaan SDA (sumber daya alam). SDA tidak pernah menjadi berkah akibat terperosok dalam empat skenario berikut (Kolstad dan Wiig, 2009): (i) kekayaan SDA yang besar membuat negara luput melakukan variasi kegiatan ekonomi sehingga berakibat kepada punahnya SDA yang dimiliki. Dalam literatur ekonomi hal itu dikenal dengan istilah “Penyakit Belanda†(Dutch disease); (ii) model penataan ekonomi politik sentralisasi (pada masa Orde Baru) telah menumbuhkan praktik “patronaseâ€, yaitu pembagian lisensi eksploitasi SDA kepada sekelompok orang yang dekat dengan pusaran kekuasaan, tentu dengan motif pelanggengan kuasa dan pengumpulan pundi-pundi ekonomi. Pola ini juga sukses menggerus cadangan SDA secara cepat.
Berikutnya, kritik terhadap model sentralisasi itu mewujud dalam skenario (iii), yaitu model penataan ekonomi politik desentralisasi. Celakanya, yang menonjol dari model ini adalah praktik rent-seeking yang terjadi usai desentralisasi ekonomi. Pengalihan sebagian wewenang izin eksplorasi/eksploitasi SDA ke daerah telah menjadi ajang perburuan rente baru yang membuat reduksi SDA menjadi sempurna. Perburuan rente SDA masa reformasi ekonomi ini terjadi akibat persuaan pejabat publik yang ditekan dengan ongkos politik mahal dan pengusaha yang tak mau berkeringat; dan (iv) kebijakan liberalisasi perdagangan yang memberi tempat secara leluasa bagi pelaku ekonomi asing menjarah kekayaan ekonomi dalam negeri. Awalnya mereka diharapkan menjadi lokomotif bagi penganekaragaman kegiatan ekonomi, tapi sejak mula ternyata ketertarikan mereka justru karena “kemolekan†SDA nasional. Tanpa upaya perubahan pengelolaan SDA yang mendasar, yakinlah segalanya akan menjadi gelap.
Merusak Insentif Ekonomi
Kedua, masyarakat sulit memahami ke mana arah penciptaan nilai tambah ekonomi dalam rupa strategi industrialisasi. Disatu sisi negara dikaruniai sumber daya ekonomi yang melimpah (sektor pertanian, SDA, dan yang lain), tapi tak diolah menuju bahan setengah jadi atau jadi sehingga menjadi sumber kemakmuran. Sebaliknya, banyak pabrik yang dibangun malah mengandalkan bahan baku dari luar energi. Hasilnya, sekitar 72% dari total impor dalam rupa bahan baku. Peluang yang disia-siakan oleh pemerintah itulah yang dimanfaatkan oleh perusahaan asing secara baik. Beberapa waktu lalu, misalnya, Cargill hendak membuka pabrik coklat di Gresik dengan nilai investasi sekitar Rp 1 triliun. Pertanyaannya, mengapa harus Cargill yang melakukannya? Mestinya gabungan koperasi, BUMN, atau swasta nasional yang mengerjakan itu sehingga sebagian besar nilai tambah dan lapangan kerja yang tercipta menjadi milik Indonesia. Absurditas ini tentu juga harus segera disudahi.
Terakhir, pemerintah salah baca dalam satu hal ini: liberalisasi perdagangan. Komitmen pemerintah untuk menurunkan tarif impor jauh lebih rendah ketimbang negara lain, baik komoditas primer maupun sekunder, telah merusak insentif pelaku ekonomi domestik untuk berproduksi. Tragedi di sektor pertanian harus disudahi, demikian pula kepedihan di sektor industri. Kasus blok perdagangan, studi yang dilakukan Amaliah dan Oktaviani (2010) menunjukkan AFTA (Asean Free Trade Area) berdampak negatif terhadap neraca perdagangan Indonesia (-0,288). Bukan hanya itu, publikasi Kitwiwattanachai et al (2010) juga memerlihatkan dampak CAFTA (China-AFTA) terhadap kenaikan upah buruh riil di Indonesia jauh lebih kecil ketimbang Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam. Faedah liberalisasi hanya mungkin diraih apabila pemerintah lihai menyusun urutan kebijakan yang benar, kedalaman keterbukaan yang terukur, dan penyiapan ekonomi domestik yang matang. Semoga paling telat tahun depan kita bisa memilih secara tepat dirijen yang mempunyai visi menumbuhkan benih ekonomi nasional.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef