Jakarta - Entah berapa puluh artikel yang sudah saya bikin soal UMKM. Tulisan itu saya kirim ke media, berharap ada banyak yang membaca. Pembaca itu bisa pejabat, pengamat, atau khalayak. Bahkan, pada 2001 saya menulis buku yang berjudul Negara Vs Kaum Miskin. Isinya, pemerintah kurang banyak berada di sisi mereka, memilih berdiri berseberangan. Mereka makin lemah, megap-megap, lalu pingsan. Kisah itu sudah kita dengar lama, bahkan kian kita maklumi bersama. Seakan itu takdir yang tak dapat diusik dengan segala daya.
Sebenarnya mereka tidak butuh banyak, misalnya dibantu dengan aneka kemudahan dan kebijakan istimewa, seperti yang biasa didapat oleh usaha besar. UMKM hanya perlu rongga saja, tempat untuk bernapas secara leluasa. Dengan segala keterbatasan mereka selama ini bisa berproduksi mandiri, merancang teknologi sederhana, memakai modal yang terbatas, atau mendesain barang sesuai dengan selera konsumen. Tapi, begitu barang dijual, pasar telah dikuasai pelaku besar. Tak ada ruang berbagi. Seluruh tikungan pasar bukan milik mereka, apalagi sentra perdagangan modern.
Itu sebabnya saya sungguh bahagia ketika regulasi pajak UMKM dikempiskan. Upaya lama itu akhirnya dieksekusi juga. Pajak final yang semula 1%, sekarang dipangkas jadi 0,5% saja. Bagi pelaku usaha mapan, penurunan setengah persen itu mungkin tak ada artinya. Tapi, yakinlah, bagi usaha kecil kebijakan itu amat mahal harganya. Di tengah kesempitan pasar yang tersedia, afirmasi pajak itu mengembangkan semangat mereka. Darah mereka bergulir kembali untuk menyegarkan organ usahanya. Republik masih mau memeluk mereka, begitu kurang lebih yang dirasakan oleh para pelaku tersebut.
Rupanya, berita sumringah itu tak berhenti di sana. Presiden, tanpa ada yang menduga, menggetarkan hati kala menyampaikan bahwa “rest area” jalan tol wajib diisi oleh pelaku UMKM lokal. Jangan lagi lokasi itu diisi merek luar negeri. Dorong usaha rakyat memenuhi lokus perdagangan di zona istirahat tersebut. Ucapan itu dikemukakan pada momen yang tepat, yakni peresmian jalan tol. Bayangkan, bila ratusan –bahkan ribuan– kilometer jalan tol itu diisi oleh pelaku UMKM untuk kawasan peristirahatannya, maka rongga pelaku kecil itu bakal terbuka lebar. Pasar tak lagi menyalak, tapi memihak.
Saya tergetar karena advokasi khalayak selama puluhan tahun, juga tulisan yang berserak, tak banyak mengubah keadaan. Namun, dengan otoritas dan pemihakan Presiden, lamunan itu seketika menjadi energi perubahan. Sekarang satu demi satu ruang ekonomi dibuka oleh pemerintah untuk pelaku kecil. Mereka dibela eksistensinya, dijaga masa depannya. Pemerintah tak menyantuni dengan subsidi yang kadang malah melemahkan, tapi memberikan ruang yang menguatkan.
Kita berharap fasilitas publik lainnya akan dibuka rongganya untuk para pejuang ekonomi tersebut, entah itu di bandara, stasiun, pelabuhan, hotel, atau pusat perbelanjaan. Api yang mulai redup, sekarang telah hidup. Api dipantik, nyala dipetik!
Ahmad Erani Yustika Staf Khusus Presiden
(mmu/mmu)
Sumber:Â Menyalakan Api UMKMÂ (Kamis 19 Juli 2018, 11:40 WIB)