Saat ini di Jakarta sedang diadakan Konferensi Tingkat Tinggi Asean yang membahas beragam isu ekonomi di kawasan ini. Salah satu isu penting yang dibahas tentu saja adalah persiapan pemberlakuan Pasar Tunggal Asean pada 2015 yang menjadikan kawasan ini sebagai basis produksi dan pasar tunggal. Indonesia pasti sudah memersiapkan diri untuk menyongsong era “Masyarakat Ekonomi Asean†(MEA) tersebut serta merancang skema yang dianggap paling menguntungkan bagi perekonomian nasional. Namun, dengan melihat pengalaman ACFTA dan situasi perekonomian terakhir, rasanya Indonesia perlu hati-hati untuk melangkah mengingat konsekuensi dari pemberlakuan Pasar Tunggal Asean ini tidaklah ringan. Secara teoritis, Indonesia mempunyai peluang yang baik dengan adanya kesepakatan ini, tapi dengan melihat persoalan-persoalan ekonomi yang muncul bisa jadi peluang itu menguap begitu saja.
Memerkuat Ekonomi Domestik
Sekurangnya terdapat tiga masalah serius yang menjadi mimpi buruk perekonomian nasional pada saat ini.
Pertama, lokomotif perekonomian nasional yang semula bertumpu kepada sektor industri (manufaktur) dalam lima tahun terakhir justru menunjukkan kinerja yang makin menurun, baik dilihat dari tren pertumbuhan maupun kontribusinya terhadap PDB. Pada 2005 kontribusi sektor industri terhadap PDB masih di kisaran 28%, namun pada 2010 lalu melorot menjadi 24%. Subsektor industri, seperti tekstil, alas kaki, kulit, elektronika, kayu olahan, dan lain-lain mulai menurun pertumbuhannya dan tentu saja penetrasi ekspornya juga melemah. Gejala deindustrialisasi ini bermasalah tidak hanya dari aspek domestik (penurunan kesempatan kerja), tapi juga kesempatan untuk bersaing di pasar global. Jika problem ini tidak dapat diatasi dalam waktu singkat, maka Indonesia akan kehilangan peluru di pasar global.
Kedua, konektivitas dan daya dukung ekonomi domestik masih rawan akibat tidak ada kebijakan yang terpadu untuk menciptakan daya saing ekonomi. Pasar ekonomi domestik masih terpecah-pecah (fragmented), yang sebagian disebabkan oleh ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai. Pergerakan barang/jasa antardaerah tidak bisa mulus karena prasarana jalan dan pelabuhan yang tidak mendukung. Realitas ini tidak hanya mengganggu proses produksi, tetapi yang lebih penting juga menyebabkan masalah distribusi. Ditambah dengan persoalan kelangkaan listrik, energi yang kian mahal, pungutan liar, dan aneka masalah lain menyebabkan ekonomi nasional dijangkiti penyakit ekonomi biaya tinggi. Seluruh kondisi itu pasti akan memberatkan produk/jasa Indonesia bersaing di pasar internasional, khususnya di Asean, jika nantinya pasar tunggal itu benar-benar direalisasikan pada 2015.
Ketiga, iklim investasi di Indonesia tidak kunjung membaik karena aspek-aspek penunjang terpenting dari iklim investasi tersebut, yakni pemerintahan yang bersih dan efisien, kepastian hukum, infrastruktur yang bagus, perizinan yang sederhana dan murah, pembebasan lahan yang cepat dan pasti, dan jaminan hak kepemilikan belum mengalami perbaikan yang berarti. Jaminan hak kepemilikan di Indonesia masih yang terburuk di Asia, perizinan masih mahal dan lama (di Asean hanya lebih bagus ketimbang Laos dan Filipina), korupsi terburuk di Asean, dan pembebasan lahan menjadi ganjalan serius bagi investor untuk menanamkan modalnya. Serangkaian masalah iklim investasi itu menyebabkan potensi ekonomi Indonesia yang luar biasa besar menjadi hilang begitu saja karena tertekan dengan soal-soal tersebut. Pemerintah memang sudah berjuang untuk mengatasinya, tapi hasilnya masih minim sampai hari ini.