Para ekonom berteriak kencang soal RAPBN 2013 ini nyaris dalam satu hal saja: subsidi energi (khususnya BBM). Pemerintah dianggap keterlaluan karena membuang ratusan triliun untuk dibakar di jalan, tanpa memberikan manfaat bagi orang miskin. Demikian pula, rekomendasi mereka juga seragam, alihkan subsidi BBM tersebut ke infrastruktur. Namun, apakah soal RAPBN 2013 (dan APBN sebelum-sebelumnya) cuma itu? Tentu tidak, bahkan APBN perlu dirombak total karena selama ini disusun dengan menggunakan pendekatan konvensional, seakan-akan tanpa ada jalan lain (there is no alternative). Padahal, jika ditelisik secara lebih mendalam akan dijumpai beberapa skenario besaran, alokasi, dan postur APBN yang lebih adil dan bertenaga sehingga mendekati pencapaian tujuan bernegara. Intinya, APBN mesti disusun berdasarkan “alokasi nilai-nilai†yang termaktub dalam konstitusi dan selanjutnya dikaitkan dengan prioritas masalah yang hendak dipecahkan (priority-based budgeting).
Politik Defisit Anggaran
Sistem anggaran konvensional (conventional budget system) dapat diidentifikasi dari pola yang bertumpu pada input (input-focused). Mula-mula pemerintah menentukan anggaran patokan (baseline budget), yang umumnya memakai panduan anggaran tahun sebelumnya. Setelah itu dilekatkan dengan penambahan besaran anggaran yang terdiri dari variabel: inflasi, beban anggaran wajib (caseloads), program inisiatif, dan induksi perubahan kebijakan. Itulah yang kemudian menghasilkan anggaran normal (business-as-usual budget). Hal ini akan berbeda bila model yang dipakai adalah anggaran berbasis prioritas yang berfokus kepada output (output-based). Pertama-tama akan diputuskan fungsi utama pemerintah, lalu diikuti dengan pengukuran kinerja dan penyesuaian belanja (spending) berdasarkan prioritas (ALEC, 2011). Alokasi belanja dan pengukuran kinerja dikawal lewat analisis ongkos berbasis aktivitas (activity-based costing) yang mendeskripsikan seluruh elemen-elemen biaya atas kegiatan tertentu.
Penyusunan anggaran konvensional salah satunya bisa dibaca dari politik defisit anggaran yang dirayakan terus-menerus dan dianggap sebagai rumus baku untuk menggerakkan ekonomi, meskipun perekonomian sedang tidak mengalami krisis. Sejak krisis 1998 lalu hingga kini (bahkan sejak masa Orde Baru), APBN selalu dibuat defisit tanpa ada urgensi dan prioritas yang jelas. Lebih parah lagi, defisit anggaran itu didesain di atas dua fakta pahit: inoptimalisasi penerimaan dan inefisiensi belanja. Dengan kata lain, defisit anggaran yang dibiayai utang (dalam dan luar negeri) merupakan instrumen yang sejak awal diciptakan untuk melanggengkan praktik yang tak laik tersebut, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Realitas itu makin menyedihkan karena rata-rata penyerapan utang luar negeri selama ini hanya 71,2%, sehingga memunculkan SAL (sisa anggaran lebih) pada akhir tahun anggaran. Pada 2011, misalnya, SAL mencapai Rp 96,6 triliun (Indef, 2012).
Berikutnya, fungsi APBN di samping sebagai stabilitator perekonomian juga memiliki peran alokasi dan distribusi. Saat ini perekonomian memiliki persoalan serius berupa anjloknya pertumbuhan sektor pertanian dan makin mengecilnya kontribusi sektor industri terhadap PDB. Padahal, kedua sektor itu sekurangnya menyerap 55% dari total tenaga kerja (TK). Di luar itu, sebagian besar tenaga kerja nasional bermasalah sebab 62,7% bekerja di sektor informal (BPS, 2012). Ini yang membuat pembangunan sektor pertanian dan industri menjadi keniscayaan. Namun, alokasi RAPBN 2013 tidak mencerminkan hal itu sehingga sukar mengharapkan kedua sektor itu bergerak secara maksimal. Seterusnya, ketimpangan pendapatan yang terus meningkat dalam 6 tahun terakhir juga tak terekam dalam fungsi distribusi RAPBN 2013. Jadi, praktis fungsi alokasi dan distribusi anggaran tersumbat akibat instrumen penyesuaian belanja berdasarkan prioritas (yang merupakan dari anggaran berbasis prioritas) mampet.
Alokasi Nilai-Nilai
Nasib yang mengenaskan itu masih pula ditambah dengan pertumbuhan belanja birokrasi yang terus melesat. Pada periode 2007-2012 rata-rata pendapatan negara meningkat 10,92%, namun belanja pegawai tumbuh 19% (Indef, 2012). Wakil Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo, baru saja mengeluarkan pernyataan mengejutkan, di mana dikatakan hanya 20% saja aparat birokrasi yang bekerja (Tempo, 22-28 Oktober 2012). Sumber ini tentu valid, sehingga jika mereka yang betul-betul bekerja dinaikkan jadi 50%, belanja birokrasi masih mengandung inefisiensi sebesar 50%, atau setara Rp 200 triliun dari total nilai belanja pegawai dan barang. Jika ditambah dengan inefisiensi dari belanja modal, pengeluaran kementerian/lembaga, dan dana transfer pada kisaran 20% saja, maka ada penghematan lagi Rp 160-200 triliun. Jadi, total inefisiensi ini berkisar Rp 360-400 triliun atau 21-24% belanja APBN. Isu lainnya, di luar soal penghematan itu, apakah anggaran birokrasi itu pernah diukur outputnya?
Bagaimana halnya dari sisi penerimaan? Jika mengambil data pada 2012 akan dijumpai realitas berikut. Jumlah wajib pajak (pembayar pajak) orang pribadi sebanyak 19,8 juta dan badan 2,2 juta. Jadi, total pembayar pajak sebesar 22 juta. Pada 2011 hanya 32,72 pembayar pajak badan yang membayar dan 54,7% pembayar pajak pribadi yang taat menyetor pajak (Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, 2012). Jika diandaikan masing-masing kategori pembayar pajak itu tingkat ketaatannya menjadi 75%, maka bisa dihitung betapa banyaknya jumlah pajak yang bisa dikumpulkan pemerintah. Ini belum ditambah dengan jumlah pembayar pajak pribadi yang dari sisi potensi bisa dijaring sebanyak 30 juta. Dengan basis seperti itu, maka sebetulnya tidak terlampau sulit bagi pemerintah meningkatkan tax ratio pada kisaran 15-17% sehingga penerimaan pajak menjadi Rp 1400 triliun. Bila ini dijumlahkan dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 400 triliun, maka kekuatan APBN menjadi Rp 1800 triliun!
Apabila jumlah penerimaan anggaran sebesar itu, maka pemerintah sama sekali tidak perlu utang, malah surplus (meski tanpa melakukan efisiensi belanja). Surplus itu bisa dipakai sebagai saldo atau dihabiskan untuk ekspansi infrastruktur. Di atas segalanya, dalam pendekatan ekonomi politik, pemerintah adalah institusi yang memiliki otoritas mengalokasikan nilai-nilai (authoritative allocation of values). Pilihan terhadap nilai-nilai itulah yang akan menuntun alokasi anggaran sesuai prioritas masalah. Deskripsi di atas tidak saja menunjukkan absennya nilai-nilai dalam mengalokasikan APBN, tetapi juga keengganan untuk keluar dari zona nyaman praktik inefisiensi belanja dan inoptimalisasi penerimaan. Inilah yang membuat setiap upaya pengurangan subsidi energi menimbulkan kemarahan dan perlawanan sengit, karena rakyat tahu persis hal-hal yang tak patut lainnya justru didiamkan. Jadi, mari berikhtiar merombak APBN secara keseluruhan, bukan sepotong-potong, sehingga keadilan dan kesejahteraan ekonomi tegak di negeri ini.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef