Pada 12-14 April 2011 Kadin (dengan didukung pemerintah) menyelenggarakan Indonesia International Infrastructure Conference and Exhibition (IIICE) di Jakarta, di mana dalam forum itu dijajakan tidak kurang 16 proyek infratsruktur dengan nilai investasi sekitar US$ 32,4 miliar. Kegiatan ini akan menjadi agenda rutin dalam 4 tahun ke depan, sedangkan pemerintah sendiri pernah menyelenggarakan sekurangnya dua kali infrastructure summit, yang kesemuanya tidak memberikan hasil yang menggembirakan. Ikhtiar yang dilakukan pemerintah dan Kadin tersebut tentu patut diapresiasi di tengah keterpurukan kualitas infrastruktur di Indonesia. Ketersediaan air bersih, listrik, jalan (tol), pelabuhan, irigasi, jembatan, dan lain-lain sangat kurang sehingga dibanding dengan negara tetangga sekalipun saat ini Indonesia telah ketinggalan. Pada titik ini, infrastruktur bukan semata diharapkan mendongkrak kegiatan ekonomi, tetapi juga menyantuni hak masyarakat.
Infrastruktur dan Masalah Ekonomi
Dalam konteks pembangunan (ekonomi) di Indonesia, penyediaan infrastruktur sekurangnya harus memertimbangkan tiga realitas berikut. Pertama, ketimpangan pembangunan regional di Indonesia sangat parah, di mana sekitar 80% kegiatan ekonomi dan investasi berada di Jawa dan Sumatera. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur harus diprioritaskan di luar dua pulau tersebut. Kedua, potensi ekonomi terbesar di Indonesia berada di sektor pertanian (dalam arti luas) dan sumber daya alam lainnya (juga penyerapan tenaga kerjanya), sehingga kebutuhan infrastruktur untuk menyokong potensi ekonomi tersebut juga wajib diprioritaskan. Ketiga, wilayah pedesaan selama ini selalu ditinggalkan dalam penyediaan infrastruktur, sehingga mempercepat proses pemburukan kualitas hidup maupun aktivitas ekonomi penduduk yang berdiam di pedesaan. Kenyataan itulah yang harus dilihat dalam merumuskan kembali pembangunan infrastruktur di masa yang akan datang.
Jika di tengok dalam daftar 16 proyek yang ditawarkan ke investor pada forum IIICE itu, maka bisa dilihat dengan jelas terdapat 11 proyek yang lokasinya di Jawa, 1 proyek di Sumatera, 1 proyek di Kalimantan, 2 proyek di Bali, dan 1 proyek di Sulawesi. Dengan melihat daftar proyek baru yang ditawarkan itu, tampak pemihakan pembangunan ekonomi belum berpaling ke luar Jawa, khususnya Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara. Bisa dibayangkan, seandainya seluruh proyek yang ditawarkan itu ditangkap oleh investor dan bisa diselesaikan dalam waktu cepat, maka infrastruktur itu akan menjadi kekuatan yang dahsyat untuk mengembangkan perekonomian di Jawa. Konsekuensinya, keberhasilan pembangunan ekonomi di Jawa tersebut akan kian menyudutkan pembangunan di pulau-pulau lainnya, sehingga isu ketimpangan wilayah menjadi kian membesar dan bisa merembet ke soal sosial dan politik (misalnya separatisme).
Berikutnya, 16 proyek infrastruktur tersebut juga sangat terbatas persinggungannya dengan optimalisasi pengembangan sektor pertanian dan sumber daya alam lainnya yang menjadi urat nadi perekonomian nasional. Dalam catatan penulis, hanya ada 2 proyek yang betul-betul terkait dengan potensi ekonomi tersebut, yakni pembangunan sarana angkutan kereta api batu bara ruas Purukcahu-Bangkuang (Kalimantan Tengah) dan pembangunan pelabuhan kapal pesiar Tanah Ampo, Karang Asem (Bali), masing-masing proyek tersebut nilainya US$ 2,1 miliar dan US$ 36 juta. Pembangunan pelabuhan di Bali itupun laik dipertanyakan kaitannya, karena fokusnya kepada kapal pesiar, bukan armada kapal untuk transportasi dan pengangkutan barang/jasa di sektor pertanian/industri. Padahal, saat ini tidak kurang 40% irigasi rusak yang membutuhkan perbaikan segera untuk mendukung pembangunan pertanian.
Terakhir, akses infrastruktur masyarakat di pedesaan sungguh menyedihkan dibanding dengan wilayah perkotaan. Dalam kasus listrik, misalnya, tingkat elektrifikasi di Indonesia saat ini sekitar 60-65%. Namun di wilayah pedesaan, tingkat elektrifikasi itu masih di bawah 40%. Artinya, ada lebih 60% penduduk desa yang tidak terjangkau listrik. Hal yang sama juga berlaku untuk akses air bersih. Sampai dengan 2004/2005 lalu, tingkat pelayanan air minum di pedesaan hanya 8% (di perkotaan 41%). Lebih mengerikan lagi, 90% dari 300 PDAM yang memberikan pelayanan tersebut dalam kondisi tidak sehat, serta 74% penduduk perkotaan membuang air limbah dengan sistem cubluk dan badan sungai (Menteri Pekerjaan Umum, 2005). Data itu, sekali lagi, menunjukkan betapa perlunya afirmasi pembangunan infrastruktur di wilayah pedesaan sebagai cara mencegah disparitas kualitas manusia dan pembangunan di desa dan kota.
Peningkatan Kapasitas Birokrasi
Di luar proyek infrastruktur yang ditawarkan dalam forum IIICE tersebut, selama ini pemerintah telah menjajakan banyak sekali pembangunan infrastruktur yang kurang memberikan arah yang jelas bagi pembangunan ekonomi. Implikasinya, di samping tidak sejalan dengan arah pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur juga banyak yang tidak bisa direalisasi. Kegagalan implementasi tersebut antara lain disebabkan oleh hal-hal berikut: (i) problem pembebasan lahan yang berbelit-belit. Ini menyebabkan munculnya ketidakpastian dan biaya investasi yang membengkak; (ii) koordinasi di pemerintahan yang lemah, khususnya antar-kementerian, dan kebijakan yang tidak sinkron, seperti kasus pembangunan jalur kereta api ke Bandara Soekarno Hatta; (iii) untuk proyek KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta/PPP) kapasitas petugas PJPK (Penanggung Jawab Proyek Kerjasama), baik pada level kementerian, BUMN, maupun Pemda kurang mumpuni, khususnya dalam mengemas potensi proyek sehingga mengundang minat investor.
Fakta lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah komitmen yang lemah antar-pemangku kepentingan, padahal ini kunci penting bagi keberhasilan pembangunan infrastruktur. Otonomi daerah yang memberi kewenangan besar kepada daerah dalam beberapa hal justru menjadi sumber kemacetan pembangunan, lebih-lebih apabila PJPK-nya tidak memiliki kecakapan yang memadai. Tentu masih banyak beban yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam pembangunan infrastruktur ini. Namun, jika hendak diringkas beberapa hal penting yang perlu segera dilakukan pemerintah adalah: mengaitkan pembangunan infrastruktur dengan masalah mendasar perekonomian (ketimpangan wilayah, promosi sektor pertanian/sumber daya alam dan industri, dan afirmasi lokasi pedesaan); menyeleksi kembali proyek-proyek yang ditawarkan agar lebih fokus (termasuk infrastruktur yang faedahnya patut dipertanyakan, seperti Jembatan Selat Sunda); payung hukum/RUU pembebasan lahan; serta sinkronisasi kebijakan dan koordinasi implementasi di badan pemerintah sendiri (termasuk penguatan kapasitas birokrasi).
Perlu juga ditekankan, spirit utama program pembangunan infrastruktur ini tidak boleh mengulang penyakit yang selama ini kerap diderita pemerintah: pembuatan program tidak paralel dengan pemecahan masalah. Setiap saat program dirancang, tapi hanya menyisakan dokumen yang rapi, bukan jejak pelaksanaan di lapangan. Semua menunggu, terutama pelaku ekonomi, program pembangunan infrastruktur yang solid ini benar-benar menjelma menjadi kenyataan. Tentu saja ini bukan perkara yang mudah untuk dicapai, tapi inilah satu-satunya cara yang harus dikerjakan agar hasilnya memberi faedah bagi kelancaran pembangunan infrastruktur di masa depan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef