Di tengah dinamika politik yang terus memanas, khususnya dipicu oleh kasus Bank Century, pemerintah saat ini harus menghadapi realitas perjanjian ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement). Di balik hiruk pikuk penolakan masyarakat terhadap ACFTA ini, khususnya kalangan buruh dan usaha kecil, sebenarnya terbaca peta peluang yang mampu dimanfaatkan untuk mendongkrak kinerja ekspor. Apalagi, ekspor Indonesia mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai US$ 13,33 miliar per Desember 2009. Nilai ini merupakan raihan tertinggi bulanan sepanjang sejarah ekspor Indonesia. Jika ditelusuri lebih dalam, peningkatan ekspor merupakan berkah dari kenaikan permintaan sekaligus harga komoditas dunia yang terus membumbung akibat instabilitas ekonomi dunia pascakrisis 2008. Oleh karenanya, peluang ekspor harus terus dicari, terutama dari sisi penguatan produk domestik dan upaya sistematis untuk membendung gempuran produk negara lain.
Penyiapan Pasar Domestik
Dibukanya ACFTA menimbulkan polemik di kalangan produsen domestik, di mana berbagai pihak terus menunjukkan penentangan perjanjian tersebut karena dinilai dapat mematikan produsen lokal yang selama ini sudah pontang-panting membendung produk asing sebelum keran ACFTA diputar. Ditambah lagi, kalangan produsen menilai barang-barang yang diproduksi oleh China merupakan barang-barang kualitas sisa dan dijual dengan harga sangat murah. Hal inilah yang memicu pertentangan dan penolakan terhadap perjanjian yang sudah disepakati tersebut. Produsen lokal merasa terancam usahanya karena pasar sangat familiar dan menyukai produk murah dengan menisbikan kualitas. Pada kasus ini, fasilitasi terhadap produk domestik hendaknya diperkuat untuk menjaga stabilitas iklim usaha yang selama ini sudah mulai membaik pascakrisis ekonomi. Meskipun belum dapat dievaluasi dampak ACFTA terhadap kinerja ekspor, namun segala kemungkinan memang tetap perlu diantisipasi.
Menilik data terakhir kinerja ekspor pada Desember 2009, ekspor nonmigas mendominasi neraca ekspor dengan nilai peningkatan mencapai US$ 10,83 miliar atau naik sebesar 28,3% dari realisasi November 2009 yang mengantongi US$ 8,44 miliar. Adapun ekspor migas juga mengalami peningkatan sebesar 7,07% dari US$ 2,33 juta pada November 2009 menjadi US$ 2,5 juta pada Desember 2009. Namun, jika dibandingkan dengan 2008, nilai ekspor pada 2009 lebih rendah sekitar 14,89%. Capaian ekspor 2008 senilai US$ 137,02 miliar harus merosot menjadi US$ 116,49 miliar pada 2009. Hal ini disebabkan ekspor nonmigas yang mengalami kemunduran besar, sehingga turun menjadi sebesar US$ 97,47 miliar atau sekitar 9,66% dibandingkan dengan 2008. Peningkatan ekspor pada Desember 2009 mayoritas terjadi di ekspor migas yang dimotori oleh ekspor komoditas berbasis sumber daya. Dengan begitu, pada era ACFTA ini, komoditas ekspor nonmigas perlu dipoles agar dapat meningkatkan nilai tambah dan mampu mengejar ekspor migas.
Dilain pihak, donasi ekspor dewasa ini lebih diuntungkan karena faktor harga dan permintaan dunia. Oleh karena itu, pasar domestik perlu disiapkan secara masak, terutama di sektor tradeable, untuk menopang ekspansi pasar tersebut. Penguatan komoditas dan pasar domestik merupakan prasyarat yang mesti dipenuhi untuk merebut pasar internasional. Jika tidak, maka globalisasi akan terus menghimpit produk lokal untuk bisa bersaing di level internasional, paling tidak dalam kancah ASEAN plus China. Penguatan sektor domestik merupakan harga mutlak yang wajib dilakukan karena dari situlah pangkal penguatan perekonomian negara dapat diperbaiki. Terlebih, lagi dalam menghadapi era perdagangan bebas yang semakin intesif ini mengharuskan produk yang dihasilkan memiliki daya saing yang prima, terutama harga dan kualitas yang sesuai segmentasi pasar. Pola ini yang mesti dipahami dan ditangani sejak sekarang.
Merumuskan Strategi
Persaingan dalam bingkai ACFTA memang telah dimulai dan semua itu perlu dihadapi dengan segenap kekuataan yang dimiliki. Dalam beberapa aspek, pelaku ekonomi di tanah air sudah memegang segepok kartu peluang yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, produsen domestik yang mendapat pesanan perusahaan-perusahaan asing untuk membuat produk, yang kemudian diekspor negara (perusahaan) pemesan dengan menggunakan label mereka. Hal ini sebenarnya bisa dimanfaatkan celahnya oleh perusahaan domestik, yakni dengan memompa keberanian mengambil risiko. Perusahaan domestik perlu didorong memakai merek sendiri atas produk-produk mereka sehingga menyumbang nilai tambah yang lebih besar. Di sinilah keberanian perusahaan domestik memerkuat posisi tawar dalam kaitannya menghasilkan produk yang berkualitas. Di samping itu, promosi yang gencar sangat dibutuhkan untuk mengangkat nama produk lokal itu, misalnya melalui pameran produk.
Berkaitan dengan strategi menghadapi persaingan dengan China, Departemen Perdagangan telah merumuskan tiga strategi besar untuk menghadapi ACFTA. Strategi itu mengusung penguatan daya saing, pengamanan pasar domestik, serta strategi penguatan ekspor. Diferensiasi strategi penguatan daya saing mencakup pembenahan infrastruktur dan energi; pemberian insentif; pembangunan kawasan ekonomi khusus; serta pembenahan logistik. Sementara itu, strategi pengamanan domestik menyangkut peningkatan pengawasan wilayah perbatasan; pengawasan peredaran barang di pasar lokal; serta promosi penggunaan produk dalam negeri. Di sisi lain, strategi penguatan ekspor dilakukan dengan penguatan peran perwakilan luar negeri, promosi pariwisata, perdagangan, dan investasi. Dari ketiga strategi tersebut, yang cukup banyak mendapatkan sorotan adalah pengawasan peredaran barang di pasar lokal, terutama mengenai mekanisme sistem standarisasi barang yang masuk ke pasar domestik.
Ketiga strategi tersebut merupakan cara ideal yang sejatinya diharapkan mampu mengatasi persaingan dengan produk asing, terutama China, yang semakin merebak luas di tanah air. Kampanye cinta produksi dalam negeri tidak memiliki makna yang berarti bila tidak diimbangi dengan kebijakan lain yang lebih “aktifâ€. Di lain pihak, perlindungan konsumen dengan memasarkan produk yang aman digunakan dan dikonsumsi perlu terus didorong, misalnya dengan menuntut produk asing memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Jika mengutamakan pertimbangan tersebut, maka produk lokal tidak akan kalah dengan produk luar negeri. Selanjutnya, pemanfaatan teknologi harus terus ditingkatkan karena berperan penting dalam perbaikan mutu produk dan jaringan pemasaran/distribusi. Jika seluruh proses ini telah dilalui, maka ACFTA merupakan jembatan yang bagus untuk mempercepat bangsa ini memenangi pertarungan ekonomi di pasar internasional.