Politik adalah “seni mengambil keputusanâ€. Pernyataan itu mendapat konfirmasi yang sempurna dari drama pengambilan keputusan soal kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Disaat ketegangan antara kubu yang menolak dan mendukung kenaikan harga minyak makin mencekam, lalu hadir jalan tengah penundaan kenaikan harga minyak dengan syarat: bila ICP dalam 6 bulan melebihi rata-rata 15%. Boleh saja sebagian pihak menggerutu terhadap keputusan tersebut, tapi itulah ayunan “keseimbangan politik†yang sedang terjadi dan mesti diterima sebagai sebuah realitas. Dengan kata lain, keputusan sudah diambil dan kehidupan harus berputar kembali seperti sediakala. Lantas, apa yang mesti dikerjakan pemerintah pasca-munculnya Ayat 6a dalam Pasal 7 UU No. 22/2011 itu? Menurut saya, tiga agenda besar telah menanti pemerintah: membersihkan APBN dari kesesatan alokasi belanja, penguatan ekonomi rakyat secara sistematis, dan penyusunan peta jalan energi alternatif yang terukur.
Penguatan Ekonomi Rakyat
Sebetulnya jika dicermati secara mendalam, dua kubu yang bersitegang soal pilihan harga BBM memiliki satu kesamaan: masing-masing menyadari bahwa kenaikan harga minyak internasional mempunyai implikasi terhadap harga minyak domestik. Namun, kedua kelompok tersebut memiliki aksentuasi cara penanganan yang berlainan. Kelompok yang mendorong kenaikan harga minyak berpendapat hal itu harus dilakukan demi penyelamatan APBN. Bagi mereka, muskil APBN dibiarkan bengkak akibat subsidi yang sangat besar untuk minyak, padahal komoditas itu dikonsumsi oleh golongan kaya (menurut kelompok ini). Sebaliknya, kubu yang berbeda menganggap kenaikan saat ini bukan langkah arif. Argumennya, kenaikan harga BBM mungkin saja menyelamatkan APBN, tapi mengakibatkan kemerosotan daya beli masyarakat (miskin) akibat kenaikan harga barang/jasa. Alasan ini memeroleh titik pijak yang jelas, yakni kenaikan harga minyak pada 2005 lalu yang menambah penduduk miskin.
Saya tidak akan memperpanjang kontroversi tersebut, namun fokus kepada agenda yang mesti dikerjakan pemerintah. Pertama, dalam jangka pendek desain APBN harus dibuat lebih sehat dan berpihak kepada rakyat. Sekadar ilustrasi, belanja pemerintah pusat (setelah dikurangi dana transfer daerah) rata-rata tumbuh 19% tiap tahun, tapi belanja barang naik 38%. Dengan kata lain, pertumbuhan belanja barang dua kali lipat ketimbang belanja pemerintah pusat. Kondisi ini jelas tidak adil mengingat belanja untuk kepentingan lain, seperti belanja modal saja (untuk pembangunan infrastruktur) rara-rata juga tumbuh 19% saja. Harus ada pemotongan drastis fasilitas birokrasi semacam perjalanan dinas, pembelian mobil kantor, alokasi belanja rumah tangga/listrik/telpon bagi pejabat, dan seterusnya. Tidak boleh pula dilupakan kebocoran dan korupsi yang harus dilenyapkan dari operasi APBN/APBD. Upaya ini bisa dilakukan dalam jangka pendek jika ada komitmen yang kuat dari pemerintah.
Kedua, seperti yang disampaikan di muka, kelompok yang menolak kenaikan harga BBM berkukuh soal kerentanan kelompok berpendapatan menengah-bawah sebagai alas argumennya. Oleh karena itu, dalam jangka menengah pemerintah secara sistematis mesti membelokkan visi dan strategi pembangunan demi penguatan ekonomi rakyat (yang selama ini diabaikan). Langkah pertama, saya kira, adalah mendorong sektor pertanian dan industri pengolahan secara lebih cepat. Agenda seperti reforma agraria, pembangunan infrastruktur pedesaan/pertanian, subsidi pangan, insentif industri bahan makanan, dan lain sebagainya harus menjadi prioritas. Jika dua sektor ini kuat, maka persoalan kemiskinan dan pengangguran (juga ketimpangan pendapatan) lebih cepat diatasi secara permanen. Apabila upaya ini dilakukan secara konsisten, ditambah alokasi anggaran dari APBN/APBD yang cukup, waktu lima tahun merupakan tempo yang memadai untuk memerkuat ekonomi rakyat.
Energi Terbarukan
Dalam soal penguatan ekonomi rakyat tersebut, jangan dilupakan pula keberadaan pelaku sektor informal dan usaha kecil/menengah/koperasi (UMKM). Mereka adalah tulang punggung ekonomi nasional, tapi nasibnya jauh dari layak sehingga patut dibela. Sektor informal menyumbang sekitar 65% dari total penyerapan tenaga kerja nasional, sedangkan UMKM mendonasikan 99,99% jenis usaha di Indonesia. Dengan begitu, kebijakan yang menyentuh keberadaan sektor informal dan UMKM pasti berimplikasi terhadap kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Sektor informal mesti ditransformasikan ke sektor formal yang memiliki lisensi (hukum), akses modal formal, dan kepastian usaha. Sementara itu, sektor UMKM juga harus dibantu dalam aspek lagalitas karena sampai kini hanya sekitar 25% yang berbadan hukum maupun terlayani sektor perbankan. Strategi “naik kelas†selaiknya disusun secara sungguh-sungguh untuk meningkatkan potensi ekonomi mereka.
Ketiga, dalam jangka panjang upaya substitusi menuju energi alternatif merupakan keniscayaan yang tak bisa ditunda. Pemerintah tahu persis bahwa cadangan minyak sangat terbatas (10 tahun ke depan sudah habis jika tidak ditemukan cadangan baru), bahkan sejak 2003 telah menjadi net importir, tapi anehnya tidak ada upaya serius mengembangkan energi alternatif (panas bumi, air, angin, dan lain-lain). Sampai sekarang konsumsi energi sekitar 95% masih bertumpu kepada energi yang tak dapat diperbarui (minyak, gas, dan batu bara), sedangkan energi yang dapat diperbarui baru 5%. Pemerintah harus mendesain peta jalan mengubah komposisi itu sekurangnya menjadi 75% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan, tepat ketika cadangan minyak sudah habis. Langkah ini memang penuh onak, tapi bukan hal yang mustahil bila terdapat kemauan yang kuat, seperti ditunjukkan Brazil. Dalam banyak hal, tantangan implementasinya justru lebih banyak bersumber dari dukungan birokrasi sendiri.
Tiga agenda besar itulah yang menjadi pijakan bagi kenyamanan semua pihak untuk menerima kenyataan bahwa harga energi (yang tak terbarukan) akan menjadi mahal dalam jangka panjang. Di negara maju, terlepas mereka sebagai produsen maupun konsumen minyak, harga minyak tidak terlalu dipermasalahkan karena pendapatan per kapita sangat cukup dan tata kelola pemerintah dianggap bersih (jauh dari praktik korupsi maupun alokasi anggaran negara untuk birokrasi). Tentu terdapat agenda lain yang tidak boleh dilupakan, semisal penyediaan transportasi publik yang nyaman, pengurangan penguasaan asing yang teramat besar dalam eksplorasi sumber daya alam/SDA, dan reduksi kesepakatan liberalisasi. Dalam soal liberalisasi, perkembangan akhir-akhir ini secara terang benderang menunjukkan pembalikan arah pengelolaan ekonomi menuju perlindungan ekonomi domestik, tak terkecuali di negara maju. Inilah pekerjaan rumah pemerintah sehingga karunia SDA menjadi berkah bagi seluruh warga negara, bukan malah menjadi sumber konflik yang tak bertepi.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef