Pidato Presiden SBY di hadapan Sidang Paripurna DPR dan DPD RI pada 16 Agustus 2010 lalu mendapatkan apresiasi maupun kritik dari banyak elemen masyarakat. Kritik tersebut bukan diarahkan kepada adanya problem substansial dari pidato tersebut, melainkan isinya dianggap menyembunyikan sekian banyak masalah yang seharusnya dibuka dan segera disediakan komitmen untuk mengatasinya. Dalam kesempatan itu, presiden antara lain juga menguraikan 10 sasaran strategis dalam rancangan APBN 2010. Sasaran strategis tersebut adalah: pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, pengurangan pengangguran, penurunan kemiskinan, peningkatan pendapatan per kapita, menjaga stabilitas ekonomi, memperkuat pembiayaan dalam negeri, ketahanan pangan dan air yang kian kokoh, peningkatan ketahanan energi, mendorong daya saing ekonomi, dan pembangunan yang ramah lingkungan.
Zona Pertumbuhan Rendah
Dalam perkara pengangguran, presiden secara spesifik menyampaikan harapannya untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak 10,7 juta sampai 2014. Ini tentu jumlah yang besar, sebab rata-rata pemerintah harus membuka lapangan kerja sebanyak 2,15 juta per tahun. Sungguh pun begitu, jika melihat jumlah pertumbuhan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja tiap tahun, penambahan lapangan kerja sebesar itu sebetulnya hanya pas-pasan saja, karena jumlah angkatan kerja baru tiap tahun juga meningkat sebanyak itu. Oleh karenanya, jika dikaitkan dengan upaya pengurangan pengangguran, penciptaan lapangan kerja tersebut jelas tidak memadai. Sampai kini, jumlah pengangguran terbuka saja mencapai sekitar 8 juta orang. Jika ditambahkan dengan setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per minggu), maka jumlah pengangguran membengkak menjadi sekitar 38 juta (8 plus 30).
Dengan hitungan-hitungan tersebut, sebetulnya untuk menyelesaikan problem pengangguran di Indonesia dibutuhkan upaya penciptaan lapangan kerja yang jauh lebih besar. Sekadar simulasi, berikut ini pekerjaan pemerintah dalam 4-5 tahun mendatang. Jika diasumsikan angka pengangguran yang dapat ditoleransi sebesar 5% (atau sekitar 6 juta jiwa, sesuai dengan target RPJM), maka pemerintah punya beban mengatasi 32 juta pengangguran. Apabila tiap tahun bertambah 2 juta angkatan kerja baru, maka dalam 5 tahun ada penambahan 10 juta angkatan kerja. Jadi, total angkatan kerja dan pengangguran lama yang harus diurus menjadi 42 juta jiwa. Bayangkan, dengan hitungan sederhana itu sekurangnya pemerintah harus menciptakan 8 juta lapangan kerja tiap tahun. Seandainya beban itu dikurangi separuhnya saja, tetap pemerintah berkewajiban menciptakan lapangan kerja sebanyak 4 juta tiap tahun.
Pertanyaannya, mungkinkah pemerintah memanggul tugas yang amat berat itu? Jika target pemerintah hanya menciptakan lapangan kerja sebanyak 10,7 juta sampai 2014 mungkin bisa dicapai. Namun, jika harus menciptakan 4 juta lapangan kerja tiap tahun, rasanya itu sebuah hal yang samat sulit. Pertama, pertumbuhan ekonomi sejak 1998 masuk dalam zona pertumbuhan rendah/sedang. Sejak tahun itu pertumbuhan ekonomi tidak pernah mencapai 7%, bahkan rata-rata hanya sekitar 5,2% saja. Implikasinya, penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas. Kedua, struktur pertumbuhan ekonomi belakangan ini tidak ramah terhadap sektor yang justru elastisitas penyerapan tenaga kerjanya tinggi (seperti pertanian dan industri). Sebaliknya, sektor ekonomi yang elastisitas penyerapan tenaga kerjanya rendah (telekomunikasi, keuangan, perdagangan) pertumbuhannya malah tinggi.
Kembali Ke Khittah
Data BPS terbaru yang mengumumkan kinerja ekonomi sepanjang semester I 2010 barangkali bisa dijadikan patokan. Pertumbuhan ekonomi semester I 2010 mencapai 5,9%. Tiga sektor penyumbang pertumbuhan ekonomi tertinggi (yoy) adalah pengangkutan dan telekomunikasi (12,9%); perdagangan, hotel, dan restoran (9,6%); dan konstruksi (7,2%). Sementara itu, sektor pertanian dan industri pertumbuhannya hanya 3,0% dan 4,0% (yoy). Jika diasumsikan saat ini setiap 1% pertumbuhan ekonomi membuka lapangan kerja sebesar 400 ribu, maka bila tahun ini ekonomi tumbuh 6% berarti akan ada 2,4 juta lapangan kerja baru. Namun, angka itu rasanya sulit dicapai karena sektor pertanian dan industri hanya tumbuh rendah. Sehingga, secara rata-rata cuma akan ada penciptaan lapangan kerja sebanyak 300-350 ribu per 1% pertumbuhan ekonomi. Dengan begitu, tahun ini lapangan kerja baru yang tercipta diperkirakan 1,8-2,1 juta.
Dengan mengasumsikan tidak terjadi perubahan sumber pertumbuhan ekonomi, maka dibutuhkan minimal pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5% demi merealisasikan janji presiden (menciptakan lapangan kerja 10,7 juta sampai 2014, yang sebetulnya cuma cukup menampung angkatan kerja baru yang masuk ke pasar kerja). Padahal, pemerintah baru mematok pertumbuhan ekonomi 7% pada 2013 dan 2014. Sehingga, sampai 2014 nanti sebetulnya sangat sulit merealisasikan pengurangan pengangguran. Pertanyaannya, mengapa angka resmi pengangguran tiap tahun terus turun? Jawabannya, para penganggur berjuang sendiri mencari jalan keluar dengan jalan masuk ke sektor informal. Datanya, jumlah tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di sektor informal melonjak dari semula 63,82 juta (61,3%) pada 2008 menjadi 67,86 juta (64,7%) pada 2009. Mereka inilah yang diklaim pemerintah bukan sebagai penganggur.
Apakah lantas tidak ada jalan keluar untuk mengatasi soal ini? Tentu tidak. Pemerintah cukup kembali ke khittah dengan mengemudikan ekonomi yang bertumpu kepada sektor pertanian (perkebunan, kehutanan, kelautan) dan industri (berbasis pertanian). Sumber daya ekonomi dan masa depan ekonomi nasional ada di sektor ini, namun selama ini selalu diingkari. Jika kedua sektor ini bergerak maksimal, maka tiap 1% pertumbuhan ekonomi akan menyumbang 700 ribu lapangan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi hanya 6% saja, maka akan ada 4,2 juta lapangan kerja baru tiap tahun. Pemerintah tinggal mengawinkan strategi ini dengan memerkuat peran UMKM (yang juga memiliki penyerapan tenaga kerja tinggi). Model ini tidak memerlukan modal yang berlebihan, tapi jelas membutuhkan afirmasi yang kuat dalam formulasi strategi dan kebijakan ekonomi. Inilah kado kemerdekaan yang ditunggu rakyat.