Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1/2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri. Peraturan ini merupakan kelanjutan dari UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kebijakan itu dimaksudkan untuk mendorong peningkatan nilai tambah mineral di Indonesia karena selama ini bahan mentah tersebut dijual tanpa diolah sehingga menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, mengganggu upaya penguatan industri pengolahan di dalam negeri sehingga nilai tambah ekonomi menjadi kecil. Kedua, memberi amunisi ekonomi bagi negara lain untuk mengembangkan komoditas olahan. Ketiga, dalam jangka panjang menjadi faktor penekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Peraturan ini tentu sudah tepat, namun pemerintah juga perlu menyiapkan bantalan kebijakan untuk meminimalisasi dampak, seperti perlambatan ekonomi yang dirasakan sekarang.
Kerangka Kebijakan
Salah satu contoh kebijakan ekspor bahan mentah yang dapat menjadi amunisi bagi negara lain adalah ketergantungan sektor industri Malaysia dari batubara Indonesia. Sekurangnya 60% kebutuhan batubara untuk menopang sektor industri Malaysia didatangkan dari Indonesia (Indef, 2012). Demikian halnya dengan kasus Uni Eropa. Akses terhadap bahan mentah mineral (mineral raw materials) merupakan keniscayaan untuk memompa perekonomian Uni Eropa. Bahan mentah mineral itu dipakai untuk mendukung sektor konstruksi, kimia, otomotif, dirgantara, mesin dan peralatan, dan lain sebagainya. Tak kurang nilai tambah yang dihasilkan dari sektor-sektor tersebut sekitar 1300 miliar euro dan menyerap 30 juta tenaga kerja (Tiess, 2010). Dalam banyak jenis bahan mentah mineral, Uni Eropa sangat tergantung dari impor negara lain (Asia dan Afrika). Dengan struktur ekonomi yang semacam itu, bisa dibayangkan dampak yang akan terjadi bila pasokan bahan baku ditutup sehingga mengakibatkan punahnya nilai tambah ekonomi dan mengerutnya lapangan kerja di sana.
Tentu saja kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah bukan dirancang untuk menghancurkan negara lain, namun harus dipahami sebagai ikhtiar mendayagunakan sumber daya domestik untuk memerkuat ekonomi nasional, baik dalam hal peningkatan nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, keterkaitan dengan kebijakan ekonomi lain, ataupun kelestarian lingkungan. Pada titik ini, kerangka kebijakan mineral (minerals policy framework) harus sungguh-sungguh diformulasikan demki mencapai tujuan itu. Kebijakan mineral ini diharapkan bisa memerkuat akses masyarakat terhadap sumber daya ekonomi, harmonisasi dengan kebijakan nasional yang lebih luas, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan penyiapan aturan hukum. Di luar itu, kebijakan ini seyogyanya juga menyertakan peta jalan penguatan kebijakan pertambangan, seperti yang telah dijalankan di Afrika Selatan, Kanada, India, Malaysia, Pakistan, Rusia, dan negara-negara lain (Marinescu et al, 2013).
Oleh sebab itu, kebijakan pelarangan ekspor bahan mineral itu harus dilengkapi dengan kebijakan penataan strategi penguatan ekonomi secara keseluruhan. Seperti kasus di Uni Eropa, pemerintah perlu memikirkan bagaimana menempatkan bahan mineral sebagai pengungkit sektor ekonomi yang belakangan kedodoran, khususnya pertanian dan industri. Di sektor pertanian, misalnya, bagaimana mengintegrasikan kebijakan mineral dengan upaya mendukung tujuan kenaikan produksi, seperti pestisida, pupuk, dan lain-lain. Demikian halnya dengan sektor industri, khususnya yang selama ini mengandalkan bahan baku impor, perlu dipetakan secara detail sub-sektor apa saja yang akan dikembangkan dengan mengandalkan bahan baku mineral tersebut. Pola pikir ini membutuhkan cara kerja yang runtut dan utuh sehingga terlihat sistematikanya. Jika kebijakan industri (industrial policy) tak tersambung dengan kebijakan larangan ekspor mineral tadi, maka efek terhadap kemajuan ekonomi tidak bisa dirasakan.
Perlambatan Ekonomi
Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah kecenderungan pemerintah mengabaikan dampak atas kebijakan sehingga luput mencarikan pelampungnya. Pemerintah biasanya cuma fokus mengawal implementasi kebijakan yang diproduksi, tapi alpa memikirkan efek (negatif) yang bakal terjadi. Misalnya, pada saat pemerintah menginisiasi produksi mobil murah hemat energi (LCGC) yang tidak menggunakan minyak subsidi, banyak pihak yang telah mengingatkan bagaimana prosedur dan mekanisme pengawasannya. Setelah kebijakan berjalan beberapa waktu, Menteri Keuangan baru kaget terjadi peningkatan konsumsi minyak subsidi, yang antara lain disumbang oleh konsumsi mobil murah itu. Model seperti ini selalu direplikasi dan seakan menjadi tradisi tiap kebijakan dikeluarkan. Tampaknya, pola ini juga akan berulang pada kasus pembatasan ekspor komoditas minerba, sehingga mitigasi atas dampak kebijakan itu perlu dikenali dan dicarikan jalur solusinya.
Terkait dengan perlambatan sektor ekonomi tertentu dan penurunan pertumbuhan ekonomi di daerah yang tergantung dari aktivitas tambang, maka skema stimulus fiskal dan non-fiskal bisa dibangun oleh pemerintah. Harus diakui kontribusi ekonomi yang berasal dari bahan minerba memang cukup besar, sehingga pembatasan ekspor itu memengaruhi potensi ekspor nasional dalam jangka pendek. Stimulus fiskal diberikan kepada industri atau perusahaan yang hendak mempercepat produksi barang olahan, misalnya penurunan pajak impor untuk teknologi yang digunakan memproduksi komoditas olahan tersebut. Sementara itu, subsitusi ekspor juga mesti lekas dipikirkan agar tekanan terhadap pertumbuhan tidak makin keras. Insentif non-fiskal dalam wujud investigasi kebutuhan barang ekspor di pasar internasional, promosi yang gencar di pasar non-tradisional, pendalaman pengetahuan terhadap pekerja usaha kecil, dan pendampingan proses ekspor merupakan langkah yang perlu lebih diintensifkan lagi.
Bagaimana dengan perlambatan kegiatan ekonomi di daerah yang bertumpu kepada aktivitas tambang? Ada tiga mekanisme yang dapat dijalankan pemerintah. Pertama, selama ini terdapat instrumen dana alokasi umum dan khusus (DAU dan DAK) yang dialokasikan kepada daerah. Daerah yang terkena dampak langsung atas kebijakan itu bisa diberi tambahan anggaran lewat instrumen tersebut sebagai subsitusi perlambatan ekonomi. Kedua, pembangunan infrastruktur yang menjadi program utama pemerintah mendatang diprioritaskan kepada daerah yang terkena dampak atas kebijakan itu. Infrastruktur diarahkan untuk aktivitas yang berpotensi mempercepat terciptanya industri pengolahan tambang. Ketiga, menyiapkan klaster ekonomi baru di daerah agar tidak terkonsentrasi di Jawa. Selama ini Indonesia hanya memiliki sedikit klaster industri, sehingga dalam 5 tahun ke depan bisa diinisiasi 10 klaster industri baru di luar Pulau Jawa.
Jaring Pengaman
Kebijakan di atas seharusnya dapat dikerjakan pemerintah karena lebih banyak menyangkut komitmen pendanaan, meskipun untuk pembuatan klaster industri baru butuh upaya yang lebih keras. Di luar itu, terdapat mitigasi soal lain yang lebih rumit. Sekurangnya dua problem mikro yang perlu dipikirkan secara serius. Pertama, antisipasi terhadap perusahan skala kecil yang menutup usaha karena tidak mampu membangun smelter, baik karena kebutuhan modal yang besar maupun skala ekonomi yang tak terpenuhi. Pemilik usaha mungkin cukup gampang mencari kegiatan ekonomi pengganti karena masih mempunyai modal dari profit yang diperoleh selama ini (atau jaringan ekonomi yang dimiliki), namun bagi tenaga kerja yang terkena PHK tentu masalahnya lebih rumit. Pemerintah daerah perlu mengidentifikasi jumlah dan kualifikasi pekerja tersebut untuk disesuaikan dengan pengembangan aktivitas ekonomi atau program baru sehingga akses pekerjaan diperoleh kembali.
Kedua, jaring pengaman (safety net) bagi pelaku ekonomi yang selama ini menumpang dari kegiatan ekonomi tambang. Model aktivitas ekonomi di Indonesia cukup khas, seperti layaknya di negara berkembang lainnya. Setiap ada kegiatan ekonomi formal, pasti dikelilingi aktivitas ekonomi informal dalam jumlah yang lebih besar, misalnya warung, jasa (pemondokan, katering, cuci baju, dan lain-lain), transportasi (ojeg), dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tidak heran apabila jumlah pekerja informal di Indonesia sangat besar, mencapai sekitar 59% dari total tenaga kerja. Bisa diprediksi, ketika satu atau beberapa kegiatan ekonomi formal (perusahaan) berhenti, maka terdapat sekian banyak aktivitas ekonomi informal yang turut terkapar. Jaring pengaman dapat dibuat dalam dua desain besar, yaitu memberikan bantuan modal/keterampilan untuk mengembangkan usaha di tempat lain atau menyediakan tempat usaha yang dekat dengan pusat ekonomi formal.
Usaha informal (skala mikro dan kecil) ini harus benar-benar menjadi perhatian pemerintah (pusat dan derah) karena selama ini mereka menjadi penyangga perekonomian, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja. Pelaku ekonomi yang terlibat dalam kegiatan tersebut tidak memiliki kepastian usaha (karena tidak ada jaminan legal), pekerjanya tidak dilindungi (misalnya asuransi kesehatan dan pesangon), dan umumnya memeroleh upah yang sangat kecil. Sehingga, ketika usaha formal yang menjadi tumpuan ekonomi mati, maka harapan hidup mereka ikut pupus. Seluruh energi dan pemihakan pemerintah mesti dikerahkan untuk memastikan tanggul hidup mereka tidak jebol, antara lain lewat cara-cara seperti yang telah disampaikan di muka. Jika rangkaian mitigasi makro dan mikro tersebut dijalankan pemerintah dengan solid, maka dampak atas kebijakan itu dapat dieliminasi sepenuhnya. Jika pemerintah sekarang tak punya waktu lagi, semoga pemerintahan mendatang bisa mengambil alih beban ini.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef