Pemerintah baru mengawali kekuasaan dalam situasi ekonomi yang rapuh. Pertumbuhan ekonomi terus turun dalam 4 tahun terakhir dan tahun lalu (2014) adalah pertumbuhan paling rendah sejak 2009 (diperkirakan 5,1%). Inflasi dalam dua tahun terakhir melonjak sangat tinggi, masing-masing 8,38% (2013) dan 8,36% (2014). Inflasi tinggi itu dipicu oleh kenaikan harga minyak (BBM) dalam dua tahun terakhir. Penerimaan pajak berbanding PDB (tax ratio) juga anjlok, pada 2014 diperkirakan tinggal 11,3%. Situasi ini menyebabkan ruang fiskal makin terbatas dan membuat negara tergantung dari utang (dalam maupun luar negeri). Rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sekarang pada kisaran 34% dan nisbahnya terhadap ekspor sangat tinggi, sekitar 45%. Demikian pula, defisit neraca perdagangan terus terjadi sejak 2012. Tentu saja, yang tak boleh diabaikan, depresiasi nilai rupiah terhadap dolar yang saat ini hampir menyentuh Rp 13.000/dolar.
Tekanan Internal dan Eksternal
Pertumbuhan ekonomi yang melambat sebabnya berasal dari internal dan eksternal. Struktur ekonomi domestik rapuh karena sektor industri perannya makin mengecil terhadap PDB, pada 2014 diperkirakan tinggal 23,5% (padahal pada 2005 hampir 29%). Akibatnya, ekonomi terfokus kepada sektor primer yang nilai tambahnya kecil dan sektor jasa yang penyerapan tenaga kerjanya sempit. Alhasil, daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi lemah. Sementara itu, dari sisi ekternal, krisis ekonomi di negara maju tak kunjung usai sehingga permintaan produk juga turun. Harga komoditas ekspor utama nasional, khususnya produk primer, jatuh dan menurunkan nilai impor. Jadi, pemerintah dijepit dalam kondisi yang tak menguntungkan tersebut. Oleh karena itu, konsentrasi pemerintah untuk memerkuat sektor pertanian dan industri merupakan keniscayan yang harus diambil, sambil menunggu situasi ekonomi internasional membaik.
Dalam soal inflasi memang kredibilitas pemerintah selama ini kurang bagus. Secara umum, inflasi yang bersumber dari sisi moneter (inflasi inti) relatif tertangani cukup memadai. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter telah menjalankan mandatnya untuk menjaga jumlah uang beredar, tingkat suku bunga, dan lain-lain. Meskipun di balik itu terdapat kritik, tapi secara umum inflasi inti telah sesuai dengan target yang dibuat. Sungguh pun begitu, inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga energi (administered price) dan komoditas pangan (volatile food) sulit dikendalikan. Tiap kali terjadi kenaikan harga minyak, maka biaya transportasi dan harga pangan melonjak. Saat ini pemerintah telah menetapkan harga minyak sesuai dengan pergerakan harga pasar (sehingga harga akan berfluktuasi), sehingga ke depan mitigasi inflasi ini memerlukan manajemen yang lebih rumit. Isunya bukan hanya soal penambahan pasokan barang, tapi juga menjaga struktur pasar distribusi yang sehat.
Bagaimana dengan soal fiskal? Pemerintah telah meletakkan dasar-dasar pengelolaan reformasi fiskal yang lumayan bagus, meskipun belum progresif. Pemerintah berkomitmen mengurangi belanja birokrasi sehingga anggaran tak habis percuma. Politik subsidi digeser dengan mengurangi anggaran energi untuk meningkatkan belanja modal. Infrastruktur dibangun dengan belanja modal tersebut, khususnya dalam rangka mendukung prioritas pembangunan, seperti maritim, pertanian, dan perdesaan. Namun, politik subsidi ini harus dilihat kembali dari sudut pandang yang lebih luas, karena isunya menjangkau ke aspek yang lebih besar, seperti inflasi, daya tahan rumah tangga, kepentingan ekonomi luar negeri, dan lain-lain. Dari sisi penerimaan nampaknya belum banyak digarap. Peningakatan tax ratio masih konservatif dan rencana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Keuangan hilang kembali. Seharusnya, opsi itu segera dikerjakan sebagai bagian dari reformasi penerimaan negara.
Mengawal Nawacita
Pemerintah harus hati-hati dalam hal utang. Rasio utang terhadap PDB memang masih jauh dari konsensus internasional (60%). Tapi, data yang tersedia menunjukkan rasio utang itu terus melonjak, dari semula 26,41% (2011) menjadi 34,68% (Triwulan III – 2014). Perkembangan ini mesti diwaspadai mengingat ruang fiskal yang sempit. Peningkatan utang akan menggerogoti alokasi fiskal dan rentan terhadap gejolak (nilai tukar) karena sebagian besar tak terlindungi (hedging). Situasi lebih mencekam lagi karena rasionya terhadap ekspor yang telah mencapai 45%. Ini tentu berbahaya karena jauh di atas batas aman (30%). Jika rasionya sebesar itu, maka hasil ekspor tak bisa dikonversi menjadi devisa, yang seharusnya bermanfaat untuk intervensi jika pasar keuangan bergejolak (seperti sekarang). Penting bagi pemerintah untuk mengelola utang secara memadai (termasuk utang swasta) sehingga APBN sehat dan stabilitas makroekonomi lebih mudah dikelola.
Perkara nilai tukar cukup pelik karena penyebab dan terapinya jauh lebih dalam dari yang diduga. Sektor keuangan yang sangat terbuka sejak dekade 1980-an telah membuat interaksi ekonomi (khususnya portofolio) sedemikian masif, sehingga penyakit yang timbul di negara lain dengan mudah menular ke dalam negeri. Penularan itu bisa lewat pasar modal, sektor perbankan/asuransi, perusahaan swasta, dan obligasi negara (SBI dan SBN). Jadi, lalu lintas modal yang sangat terbuka merupakan titik lemah dari stabilitas ekonomi. Kementeriangan Keuangan dan BI tak cukup hanya dengan bilang kebijakan di negara lain (misalnya AS) sebagai penyebabnya, karena itu hanyalah katalisatornya. Sebab mendasarnya adalah manajemen lalu lintas modal. Oleh karena itu, stabilitas nilai tukar sangat tergantung dari tingkat keterbukaan lalu lintas modal tersebut, yang di Indonesia sudah terlalu bebas. Jadi, isu ini harus diambil pemerintah dan BI, di samping kebijakan lain sebagai pendamping.
Itulah situasi yang dihadapi pemerintah sekarang. Jadi, soal-soal yang krusial sudah diketahui dan beberapa kebijakan strategis telah dicanangkan. Dari sisi Nawacita, sekurangnya 3 poin yang langsung terkait dengan ekonomi, yakni pembangunan dari pinggiran (desa), peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing ekonomi, dan kemandirian ekonomi. Ketiga poin itu mesti diintegrasikan dengan persoalan riil yang dihadapi terkait stabilitas makroekonomi. Problem pertumbuhan ekonomi, penanganan inflasi, ekspor, fiskal, utang, nilai tukar, dan lain sebagainya mesti diletakkan dalam konteks poin-poin penting tersebut. RPJMN 2014-1019 semoga telah menjahit isu ini secara kuat sehingga menjadi panduan kementerian atau lembaga pada saat menyusun kebijakan dan program masing-masing. Selebihnya, eksekusi yang cepat dan kesigapan mengambil pilihan yang benar dalam situasi genting menjadi faktor penentu dalam memitigasi stabilitas makroekonomi.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef