Dua data berikut ini barangkali menarik disandingkan untuk membingkai pola pembangunan ekonomi nasional. Forbes (2012) baru saja melansir kekayaan para taipan Indonesia dan memperkirakan harta 40 orang terkaya mencapai Rp 850 triliun. Jumlah kekayaan itu kira-kira setara 10% PDB (produk domestik bruto) dan 60% APBN-P 2012. Pada 1993 silam, ekonomi nasional juga sempat heboh karena kekayaan 300 konglomerat paling top di Indonesia setara 75% APBN (saat itu). Data berikutnya, presiden mengumumkan pendapatan per kapita juga terus meningkat, di mana pada 2011 mencapai US$ 3450, meningkat lagi menjadi US$ 5000 pada 2015, dan naik 6 kali lipat pada 2030 menjadi US$ 30.000. Kedua data itu mewartakan berita bahagia: pembangunan ekonomi terus melaju sehingga memproduksi orang-orang dengan kekayaan yang luar biasa. Tapi, data itu juga menyimpan bara: ketimpangan pendapatan yang tak terperi.
Menyusun Anak Tangga
Secara teoritis dan empiris telah disampaikan argumen fakta pertumbuhan kesejahteraan ekonomi nasional yang diiringi dengan ketimpangan pendapatan tersebut. Pandangan yang paling terkenal, globalisasi dan liberalisasi ekonomi menghasilkan kesempatan baru dan luas sehingga terbuka lebar bagi pelaku ekonomi untuk mengambil aneka peluang ekonomi tersebut. Liberalisasi dipandang telah menghancurkan tembok pembatas yang menghalangi individu masuk ke pasar sehingga seluruh potensi ekonomi dapat dioptimalisasikan. Dengan begitu, liberalisasi dianggap sebagai instrumen paling ampuh untuk mewujudkan ekualisasi (persamaan) kesempatan bagi seluruh warga berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dan menjadi sumber penting pertumbuhan ekonomi. Namun, akibat perbedaan yang sangat besar dalam derajat pengetahuan, kepemilikan kapital, dan intensitas prakarsa antarindividu menyebabkan hanya warga paling kompetitif yang dapat meraup berkah liberalisasi ekonomi.
Sudut pandang yang lain, pembangunan ekonomi itu dikiaskan seperti orang membangun anak tangga hingga mencapai ketinggian yang diharapkan. Anak tangga itu tak lain adalah level pembangunan yang terdiri dari banyak batu bata (kebijakan ekonomi) yang disusun satu demi satu hingga mencapai puncak tertentu. Namun, umumnya para penyusun anak tangga itu alpa mendesain tata kelola yang lain: siapa yang berhak dan diprioritaskan menaiki anak tangga tersebut? Itulah yang menjadi problem kekinian ekonomi nasional, di mana pembangunan ekonomi telah sampai pada level ketinggian tertentu (misalnya lewat ukuran pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita), tapi cuma sedikit anak bangsa yang bisa menapakinya. Data yang dilansir Forbes di atas hanyalah sedikit petunjuk saja terhadap penguat argumen ini, sebab di luar itu masih banyak data lain yang memiliki karakteristik sama.
Sekadar contoh, di sektor keuangan proporsi kredit UMKM terhadap PDB di Indonesia hanya 0,67%; bandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing sebesar 17,43% dan 30,67%. Demikian pula dengan persentase kredit UMKM terhadap total kredit perbankan nasional yang cuma 21,6%; jauh di belakang Malaysia dan Thailand yang sebesar 39% dan 35% (Siregar, 2012).  Pola yang sama juga dapat dilihat dari alokasi fiskal untuk sektor-sektor yang terkait dengan nasib petani, nelayan, sektor informal, dan usaha mikro/kecil yang anggarannya amat jauh dari jumlah cicilan utang sekalipun. Kebijakan serupa juga terjadi dalam hal kepemilikan lahan (perkebunan), penguasaan eksplorasi SDA, regulasi sektor perdagangan, dan lain-lain. Susunan kebijakan seperti inilah yang (tak) disadari telah mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu untuk turut menaiki anak tangga pembangunan ekonomi.
Dunia yang Terpisah
Di luar pilihan strategi dan kebijakan pembangunan, kebijakan ekonomi sebetulnya juga diukur dan dihidupi oleh imperatif moral. Moralitas ekonomi mengangkat kepatutan sosial atas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil. Di AS hari ini muncul keprihatinan yang luar biasa soal pemusatan aset dan kekayaan ekonomi kepada segelintir orang akibat kebijakan ekonomi sesat maupun moral hazard yang tak bisa dibendung. Salah satu sumber pemusatan itu berasal dari praktik kebijakan penggajian pada level korporasi. Pada 1970-an, rata-rata pembayaran 100 CEO (chief executive officer) paling top di AS hanya 40 kali dari rata-rata pekerja, namun pada 2000 rata-rata pembayaran CEO itu melesat menjadi 1000 kali lipat! Secara ekonomis kenyataan itu absah, tapi sesungguhnya secara moral telah bangkrut.  Itulah yang kemudian mengilhami Jeffrey Sachs (2012) menggunakan istilah “the devided workplace†(dunia yang terpisah) untuk menjelaskan keganjilan fenomena ekonomi tersebut.
Tidak susah untuk mengatakan bahwa hal serupa juga terjadi di sini, bahkan mungkin dengan intensitas yang lebih tinggi. Upah minimum diregulasi (meskipun menjadi kontroversi tiap waktu) untuk membantu buruh bisa mencukupi kebutuhan laik, tapi batas atas gaji/bonus/pembayaran tak diatur. Garis kemiskinan dibikin untuk menunjukkan penduduk yang masih berada dalam kondisi kenestapaan ekonomi, tapi garis atas kekayaan diserahkan berjalan sesuai dengan diktum pasar: dibiarkan sampai menyundul langit. Obama hari ini tengah berjuang mengembalikan moralitas ekonomi AS dengan menaikkan pajak bagi orang kaya, demikian pula yang telah dilakukan oleh Presiden Perancis, Hollande. Mereka adalah pemimpin yang memiliki keyakinan bahwa ekonomi tak boleh menyimpang dari imperatif moral agar tidak menciptakan kerusakan dan kerakusan. Sebaliknya, hari ini pemerintah masih saja sibuk membanggakan prestasi penciptaan “the devided workplaceâ€.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef