Pemerintah tersentak oleh laporan BPS soal pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2014. Target pertumbuhan ekonomi 6% tahun ini makin jauh dari kenyataan karena pada Triwulan I hanya tumbuh 5,21%. Pemerintah jelas kecewa, namun sebetulnya ini kekecewaan yang sudah terprediksi. Sebabnya, sejak awal pemerintah terlalu optimis memasang target pertumbuhan ekonomi, seperti tahun-tahun sebelumnya. Padahal, sejak awal sudah diingatkan bahwa tahun ini banyak halangan yang mengintai sehingga pertumbuhan ekonomi hampir pasti lebih rendah ketimbang tahun lalu. Faktor itu antara lain: Tiongkok pertumbuhan ekonominya jeblok seperti tahun lalu, Eropa dan AS yang masih berkabut krisis, investasi domestik yang lemah, regulasi larangan ekspor mineral mentah, dan inefektivitas birokrasi karena konsentrasi pemerintah terbelah dengan perayaan politik (pileg dan pilpres). Persoalan yang bisa diajukan, apakah pertumbuhan ekonomi yang lunglai ini mesti diratapi?
Perlambatan Pertumbuhan
Jika dilihat komposisi pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran, maka terpantul data sebagai berikut. Konsumsi rumah tangga tumbuh lumayan tinggi, 5,61%. Artinya, daya beli masyarakat masih cukup kuat, bahkan lebih tinggi sejak Triwulan I 2013. Berikutnya, belanja pemerintah tumbuh 3,58%, ini memang penyakit klise yang terus berulang bahwa serapan anggaran pemerintah amat lamban pada awal tahun. Sungguh pun begitu, jika dibandingkan pertumbuhan belanja pemerintah Triwulan I 2013 pencapaian saat ini tergolong bagus. Selanjutnya, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh rendah, 5,13%. Apabila dibandingkan dengan Triwulan I 2013 yang sebesar 5,90%, tentu ini penurunan yang lumayan besar. Dengan pertumbuhan PMTB yang tak terlalu bersinar menyebabkan daya ungkit pertumbuhan ekonomi menjadi kecil. Persoalan paling serius adalah pertumbuhan ekspor negatif 0,78% dan impor juga negatif 0,66% (yoy). Ekspor mineral mentah, misalnya, turun hingga mencapai 75%.
Sementara itu, jika laju pertumbuhan dikuliti dari sisi sektoral dapat dibaca komposisi berikut. Sektor riil (tradeable sector) terhuyung karena tumbuh sangat rendah. Sektor pertanian tumbuh hanya 3,30%, padahal pada Triwulan I 2013 tumbuh 3,70% (yoy). Sektor pertambangan tumbuh negatif 0,38% (yoy), sedangkan sektor industri tumbuh 5,16%. Ini pertumbuhan paling rendah sejak Triwulan I 2013. Dengan situasi sektor riil seperti ini, maka kian berat tugas pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan karena selama ini sektor itulah yang banyak menyerap tenaga kerja (khususnya pertanian dan industri). Sektor non-tradeable situasinya tidak jauh berbeda. Sektor LGA (listrik, gas, dan air); konstruksi; perdagangan, hotel, dan restoran; keuangan, real estat, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa pertumbuhannya lebih rendah ketimbang Triwulan I 2013 (yoy). Hanya sektor pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh lebih tinggi, yakni 10,23% (yoy).
Data-data tersebut memberikan panduan yang memadai untuk memproyeksikan kinerja ekonomi 2014. Pertama, pemerintah hampir pasti gagal mencapai pertumbuhan ekonomi 6% sesuai dengan target. Bahkan jika tak dikelola dengan hati-hati, pertumbuhan ekonomi punya potensi kembali kepada situasi 10 tahun lampau (2004) ketika Presiden SBY memulai kekuasaannya, yaitu tumbuh hanya 5,13%. Hampir pasti pula pertumbuhan ekonomi terus turun sejak 2011 sehingga menjadi cerita tak sedap untuk mengakhiri kekuasaan. Kedua, sektor riil makin tertekan dan menjadi kisah menyedihkan pula karena situasi ini berlangsung terus sepanjang satu dekade ini. Struktur ekonomi kian rapuh sehingga menyulitkan upaya menangani masalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Ketiga, struktur ekspor-impor mesti ditata dengan saksama karena ini menjadi penanda penting pemburukan laju pertumbuhan ekonomi ketimbang sumber pertumbuhan yang lain.
Menata Struktur Ekonomi
Menjawab pertanyaan, apakah perlambatan ekonomi ini mesti diratapi? Dengan yakin saya menjawab: tidak. Namun, tidak di sini dalam pengertian bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah ukuran tunggal dalam menilai kinerja perekonomian. Saya sudah kerap menulis bahwa tak selamanya pertumbuhan ekonomi tinggi menjadi garansi kinerja ekonomi yang baik, misalnya implikasinya terhadap penciptan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan pengangguran, kualitas investasi, pemerataan pembangunan, dan penguatan struktur ekonomi. Oleh karena itu, saya lebih peduli untuk berbicara karakteristik pertumbuhan ekonomi ketimbang hanya menilai tinggi-rendahnya pertumbuhan. Pada titik ini, seperti yang sering saya ingatkan, pertumbuhan ekonomi agak rendah tidak terlalu menjadi persoalan asalkan sumber-sumber pertumbuhan itu lebih banyak bertumpu kepada sektor basis, menyerap tenaga kerja, dan mengunggulkan pemerataan pembangunan.
Justru yang mesti diratapi: pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam 10 tahun terakhir karena rapuhnya struktur tersebut. Pertumbuhan tak memiliki korelasi dengan penguatan sektor basis, tak ramah terhadap pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, dan membangun ketimpangan. Sektor pertanian dibiarkan tumbuh rendah, nilai tukar petani melorot, deindustrialisasi tak dicegah, ketimpangan direstui terus berjalan, dan seterusnya. Hasilnya, struktur ekonomi menjadi keropos. Tiongkok sekarang ini mengidap soal yang serupa dengan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang diraih sepanjang 20 tahun terakhir memproduksi ketimpangan serius, mengorbankan aspek lingkungan, dan penataan struktur ekonomi tak berjalan mulus. Indonesia sudah kerap diingatkan untuk menghindari masalah ini, tapi pilihan kebijakan tak segera diambil. Pertumbuhan ekonomi 5% bukanlah pencapaian yang buruk sepanjang bisa membangun struktur ekonomi dan mewakili kepentingan ekonomi sebagian besar rakyat.
Jadi, dalam jangka pendek ini, katakanlah berbicara medio 2014-2016, maka yang harus diselamatkan adalah penguatan struktur ekonomi yang dihuni oleh sebagian besar rakyat, yaitu pertanian, industri, dan perdagangan. Faktor produksi (aset) dan cara produksi harus dibangkitkan dengan pilar ekonomi rakyat. Sektor perdagangan tak boleh didominasi pelaku ekonomi besar (asing) sehingga menekan produsen (kecil) dan mencekik konsumen. Struktur ekspor diperbaiki dengan jalan memberi nilai tambah, bukan semata jualan produk bahan mentah. Larangan ekspor mineral mentah memang menekan ekspor dalam jangka pendek, tapi itu pilihan paling baik bagi kesejahteraan ekonomi di masa depan. Jangan dilupakan pula dukungan sektor keuangan (utamanya perbankan) untuk penguatan sektor basis dan ekonomi rakyat tersebut. Perkembangan perbankan makin miris karena aset asing sekarang menjadi 36,5% (2013), padahal pada 1999 baru 11,6% (Investor Daily, 30/4/2014). Inilah yang menjadi agenda pemerintah mendatang agar musim pancaroba ekonomi segera bisa diakhiri.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef