Minggu lalu, tepatnya 16 Juni 2010, DPR dan Kementerian Keuangan menyepakati usulan asumsi RAPBN 2011. Sekurangnya terdapat 7 poin pokok yang menjadi kesepakatan dalam merumuskan asumsi RAPBN 2011: (1) pertumbuhan ekonomi 6,1-6,4%; (2) inflasi 4,9-5,3%; (3) defisit APBN 1,7%; (4) nilai tukar rupiah per US dolar Rp 9.100-Rp 9.400; (5) suku bunga SBI 6,2-6,5%; (6) harga minyak (ICP) 75-90 dolar/barel; dan (7) lifting minyak 960-975 ribu barel per hari. Jika kita jeli mencermati asumsi-asumsi tersebut, maka terdapat beberapa hal pokok yang berpotensi menimbulkan paradoks. Pertama, asumsi pertumbuhan ekonomi terlalu konservatif, padahal inflasi yang dipatok cukup menguntungkan bagi pergerakan kegiatan ekonomi secara cepat. Kedua, asumsi inflasi yang dipatok cukup rendah, sementara asumsi harga minyak cukup tinggi. Ketiga, suku bunga SBI mestinya bisa ditekan ke level 6% mengingat inflasi yang rendah (sesuai asumsi RAPBN).
Inflasi, Minyak, dan SBI
Pada 2010 ini tren pertumbuhan ekonomi global terus membaik seiring pemulihan ekonomi pascakrisis subprime mortgage 2008. Meskipun saat ini situasi pemulihan ekonomi global itu diinterupsi kasus krisis fiskal yang berpangkal dari Yunani (dan Spanyol), namun tidak akan sampai membuat kontraksi ekonomi secara drastis. Kecenderungan pertumbuhan ekonomi global yang membaik ini akan terus terjadi sekurangnya sampai 2012. Pada 2013 ekonomi global kemungkinan akan tertekan kembali saat semua negara kesulitan mencari pendanaan di pasar global karena imbas “pemborosan†anggaran yang gila-gilaan pada 2008 dan 2009. Dalam konteks Indonesia, pada 2010 ini kemungkinan besar petumbuhan akan mencapai level 6%, meskipun pemerintah mengasumikan 5,8%. Pada 2011 jika melihat tren pertumbuhan ekonomi global dan inflasi yang rendah di dalam negeri, maka mestinya pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5%.
Berikutnya, menyusun asumsi inflasi memang teramat sulit dalam situasi ekonomi yang kian volatile akhir-akhir ini. Di Indonesia, konfigurasi inflasi sekurangnya disebabkan dari tiga sumber penting, yakni faktor moneter (khususnya nila tukar), harga minyak internasional, dan pasokan/distribusi pangan. Di Indonesia faktor non-moneter menyumbang inflasi sekitar 60%, sehingga pertarungan pengendalian inflasi sesungguhnya ada di medan non-moneter. Pada 2011 hampir pasti kalau harga minyak mencapai 90 dolar/barel pemerintah akan mengurangi subsidi minyak sehingga mendongkrak inflasi. Di sinilah kontradiksi antara asumsi harga minyak dan inflasi dalam konfigurasi RAPBN 2011. Tahun depan asumsi inflasi yang realistis adalah 6% jika melihat asumsi harga minyak dan tren pertumbuhan ekonomi. Kerangka berpikir ini bisa menjadi alternatif untuk merevisi RAPBN 2011.
Hal lain yang vital dikaji adalah menyangkut asumsi suku bunga SBI (3 bulan). Jika memang asumsi inflasi seperti yang telah disepakati pemerintah dan DPR, maka seharusnya SBI dapat ditekan menjadi 6%. Persentase ini relatif rasional karena disatu sisi mengikuti kecenderungan inflasi yang rendah, sementara di sisi lain mengurangi biaya operasi moneter yang harus ditanggung oleh Bank Indonesia (lewat instrumen SBI). Sebaliknya, jika asumsi bunga SBI berada pada level kesepakatan RAPBN 2011, maka seharusnya asumsi inflasi bergerak lebih tinggi. Bila skenario terakhir ini yang diterima, maka skema ini paralel dengan tren inflasi pada 2011 yang akan meningkat (seperti yang saya prediksi di atas). Lebih dari itu, soal bunga SBI ini pantas dibahas secara serius karena BI dalam beberapa waktu terakhir harus mengeluarkan biaya yang besar, khususnya akibat beban bunga SBI yang harus ditanggung.
Instrumen Distribusi
Di luar paradoks antar-asumsi yang ada dalam RAPBN 2011, soal kritis yang perlu dicermati adalah kesinambungan “anggaran defisit†yang dilakukan pemerintah (dan disetujui DPR). Anggaran defisit itu masuk akal apabila ekonomi dalam situasi krisis, karena pada momentum itu pemicu ekonomi hanya bersumber dari sektor pemerintah. Sementara itu, pada 2011 (juga 2010 ini) perekonomian berangsur pulih, sehingga anggaran defisit tidak selayaknya dilakukan. Jadi, pada titik ini tiak ada alasan yang mencukupi untuk mendukung anggaran defisit karena ekonomi swasta sudah bergerak. Lebih tidak etis lagi, anggaran defisit itu dilakukan pada saat tidak terlihat upaya pemerintah untuk mengefisienkan pengeluaran (terjadi pemborosan) dan optimalisasi penerimaan (khususnya pajak). Dari sisi penerimaan, kredibilitas pemerintah sekarang malah berada di titik terendah akibat aib pajak yang menyeruak. Ketiadaan syarat-syarat penting itulah yang menyebabkan asumsi defisit 1,7% dalam RAPBN 2011 menjadi cacat secara teknis maupun moral.
Terakhir, tiga fungsi penting APBN meliputi stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Pemerintah nampaknya selama ini cenderung hanya menyantuni fungsi APBN sebagai instrumen alokasi dan stabilisasi perekonomian. Masalahnya, dalam 5 tahun terakhir persoalan ketimpangan pendapatan dan sektor ekonomi kian melebar. Rasio gini (untuk mengukur tingkat ketimpangan) justru meningkat bersamaan dengan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi. Pada 2010 ini subsidi pupuk dan listrik justru dikurangi sehingga mengakibatkan kenaikan harga. Di sini fungsi APBN sebagai instrumen distribusi ekonomi menjadi tidak dapat bekerja secara maksimal. Oleh karena itu, RAPBN 2011 seharusnya menggarisbawahi pentingnya fungsi distribusi untuk mengurangi ketimpangan ekonomi, baik antarpenduduk maupun antarsektor ekonomi/wilayah. Dengan begitu, pertimbangan yang lebih utuh, matang, cermat, dan pemihakan yang lebih jelas dibutuhkan untuk mendesain perubahan RAPBN 2011 menjadi lebih kredibel.