Rekalkulasi Liberalisasi
Di luar masalah di atas, investasi sektor industri masih sangat mengandalkan penanaman modal asing (PMA). Dalam pohon pengembangan industri, sebetulnya sudah dibuat roadmap yang bagus, namun tidak disertai komitmen bagi penguatan investor domestik. Contoh paling mutakhir dialami industri pengolahan kakao. Sampai September 2011 sudah terdapat realisasi investasi industri kakao (investasi baru dan ekspansi) sebesar US$ 358 juta dan komitmen investasi US$ 190 juta (Kementerian Perindustrian, 2011). Investor yang bermain dalam industri kakao itu didominasi oleh PMA, antara lain PT Nestle Indonesia dan PT Cargill. Padahal pada saat yang bersamaan terdapat beberapa industri kakao skala menengah dan kecil di Indonesia yang belum bisa berproduksi karena persoalan pasokan biji kakao. Jadi, meskipun volume ekspor produk olahan kakao meningkat, tapi hasilnya milik investor asing.
Pekerjaan rumah yang menjadi beban kementerian perindustrian masih banyak lagi, tapi jika diseleksi yang paling pokok bisa disarikan dari deskripsi di muka. Pertama, belum terdapat komitmen yang kuat dan keserasian ide untuk pengembangan sektor industri pengolahan, sehingga kebijakan input bermasalah, seperti kasus ekspor gas, rotan, batu bara, kakao, kelapa sawit, dan lain sebagainya. Kedua, industri pengolahan sebagian tidak berbasis sumber daya ekonomi domestik, sehingga tergantung dari bahan baku impor. Ini menyebabkan daya saing industri menjadi berkurang dan nisbah ekonomi jatuh ke negara lain. Ketiga, belum ada pemihakan yang kuat kepada investor domestik (menengah dan kecil) sebagai pemain inti dalam sektor industri. Keempat, kebijakan liberalisasi yang dilakukan tanpa kalkukasi yang cermat sehingga pasar domestik dibanjiri komoditas impor, misalnya dari China ketika ACFTA mulai diberlakukan.
Melihat struktur dan potensi perekonomian nasional, sebetulnya tidak sulit untuk mendorong dan meningkatkan daya saing industri nasional. Sayangnya antarkementerian tidak ada sinergi sehingga potensi menjadi menguap begitu saja. Kasus ekspor rotan menjadi pemandangan yang tidak sedap karena kementerian perdagangan justru menjadi “peniup terompet†kematian industri domestik. Pola yang sama juga terjadi pada komoditas olahan lainnya, sehingga mendesak dilakukan kaji ulang otoritas dan tugas masing-masing kementerian agar tidak terulang paradoks-paradoks itu. Jika soal-soal elementer semacam ini saja tidak dapat diselesaikan, sementara negara lain sudah berada dalam fase pematangan industri, maka jangan harap pertempuran ekonomi dapat dimenangkan. Selebihnya, dibutuhkan keberanian pemimpin negara untuk membatasi liberalisasi di tengah situasi carut marut tata kelola perekonomian domestik.
*Ahmad Erani Yustika,
Guru Besar Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef