Setelah melalui perdebatan yang alot dan suasana yang mencekam karena demonstrasi yang dilakukan oleh buruh dan mahasiswa, DPR pada 17 Juni 2013 malam hari menyetujui RAPBN-P 2013 melalui voting. Lima fraksi menyatakan setuju terhadap RAPBN-P 2013 (PD, Golkar, PKB, PAN, dan PPP) dan empat fraksi menolak (PDIP, PKS, Hanura, dan Gerindra) dengan perbandingan suara 338:181. Persetujuan terhadap RAPBN-P 2013 tersebut secara otromais memberi ruang pemerintah menaikkan harga BBM, sebab asumsi dalam penyusunan RAPBN-P 2013 itu dibuat dengan dasar kenaikan harga BBM. Hal lainnya, di dalam RAPBN-P 2013 juga terdapat alokasi dana kompensasi BBM sebesar Rp 27,9 triliun, dalam wujud program BLSM (bantuan langsung sementara masyarakat, raskin, PKH (program keluarga harapan), BSM (bantuan siswa miskin), infrastruktur dasar, dan P4S (program percepatan perluasan perlindungan sosial). Anggaran terbesar tersedot untuk BLSM (Rp 9,3 triliun).
Kedaulatan Energi
Dengan diterimanya RAPBN-P 2013 ini berarti tidak ada rintangan dan alasan lagi bagi pemerintah menaikkan harga BBM. Selama ini pemerintah menunda kenaikan harga minyak karena menunggu persetujuan dana kompensasi dari DPR. Banyak pihak yang memprediksi pengumuman kenaikan ini akan dilakukan pada Juni 2013, sebelum jadwal puasa ramadhan benar-benar mendekat. Pertanyaan yang layak diajukan, usai pemerintah menaikkan harga BBM (terlepas kita sepakat atau tidak), apa pekerjaan rumah yang mesti dilakukan? Di sini, sekurangnya terdapat dua pekerjaan besar yang menanti pemerintah. Pertama, pekerjaan rumah yang bisa diberi label pencapaian “kedaulatan energiâ€. Pemerintah sampai kini tidak memiliki kedaulatan karena menyerahkan sebagian besar produksi minyak (dan gas) kepada investor asing, padahal amanah UUD 1945 menyatakan sektor tersebut harus dikuasai oleh negara (lewat BUMN). Kedaulatan ini dimaknai sebagai kesanggupan untuk menyusun, melaksanakan, dan mengawasi regulasi.
Pekerjaan tersebut tentu tidak gampang karena saat ini penguasaan asing sekitar 80% dalam eksplorasi minyak dan gas. Ini proyek jangka panjang, tapi harus dicicil sejak sekarang. Kontrak karya yang sudah hampir selesai segera dipindahkan ke Pertamina atau BUMN baru untuk mengeksplorasinya, hal yang sama juga di sektor gas. Ladang-ladang baru tidak boleh lagi diberikan kepada sektor swasta (asing), tapi diwajibkan kepada BUMN untuk mengeksplorasinya. Berikutnya adalah soal manajemen impor dan kilang minyak. Harus ada audit besar-besaran terhadap mekanisme impor yang selama ini tidak langsung dilakukan Pertamina. Dugaan yang mengemuka, impor minyak tersebut menimbulkan efisiensi yang besar sebab jalurnya panjang dan harga yang didapatkan lebih tinggi dari yang seharusnya. Di sini perlu ada desain kelembagaan baru dengan membandingkan bila impor itu ditangani oleh Pertamina langsung sehingga rantai ekonomi tidak panjang dan harga yang didapat lebih murah.
Soal kilang minyak selama ini juga menjadi perdebatan karena sebagian pihak merasa tidak efisien apabila pemerintah membangun sendiri. Investasi yang dikeluarkan lebih mahal, sehingga lebih baik kita ekspor minyak mentah dan membeli minyak yang sudah diolah. Pandangan ini mesti dikalkulasi lagi secara cermat, mesti dihitung dari beragam aspek dan dalam dimensi jangka panjang. Tidak boleh dialpakan masalah penyelundupan minyak yang sudah menjadi klise. Sejak dulu pemain dan modus operandinya telah diketahui, namun tak pernah ada upaya serius untuk memberantasnya. Keterlibatan organ pemerintah dalam proses ini makin menyulitkan penanganannya, tapi tidak boleh ini dibiarkan berlarut-larut. Tidaklah adil rakyat dikorbankan dengan kenaikan harga minyak, tetapi kerugian triliunan rupiah dari penyelundupan minyak ini sengaja dibiarkan. Ini mega-kejahatan yang telah bertahun-tahun terjadi, yang sumbernya jelas bukan semata akibat perbedaan harga minyak.
Diversifikasi Energi
Pekerjaan berat dan rumit berikutnya adalah diversifikasi penyediaan energi, baik dari sumber yang tak bisa diperbarui (gas, batubara) maupun yang dapat diperbarui (air, panas bumi, angin, dan lain-lain). Sampai saat ini kontribusi energi dari sumber yang bisa diperbarui hanya 5% dari total konsumsi energi nasional. Secara bertahap sumbangan itu harus dinaikkan hingga sekurangnya 50% dalam 20 tahun ke depan karena keterbatasan cadangan energi yang tak bisa diperbarui. Minyak diperkirakan habis 15 tahun lagi, demikian pula gas dan baru bara (meskipun dalam hitungan yang masih lama). Malaysia sudah membuat perencanaan menambah pasokan energi (khususnya untuk sektor industri) hingga 2025 dengan jalan membeli ladang batu bara di luar negeri dan membangun energi nuklir. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila Indonesia menghentikan ekspor batu baranya ke Malaysia, padahal sampai saat ini 60% kebutuhan batu bara (untuk sektor industri) Malaysia berasal dari Indonesia.
Berbarengan dengan program itu, hal yang bisa dilakukan dalam jangka pendek adalah mengurangi konsumsi minyak, baik di sektor transportasi maupun industri. Dibandingkan dengan batu bara dan gas, penggunaan minyak jelas lebih mahal sehingga tidak efisien. Celakanya, produksi listrik nasional (PLN) selama ini berbahan baku minyak. Tidak ada langkah serius pemerintah mengganti dengan batu bara atau gas yang lebih murah (ongkos memproduksi listrik dengan batu bara hanya 18% dari minyak). Dengan begitu, subsidi listrik yang diberikan selama ini sebetulnya karena inefisiensi PLN, bukan diberikan kepada rakyat (konsumen). Seandainya bahan baku produksi listrik dari gas atau batu bara, tentu subsidi tidak perlu diberikan (sekurangnya jauh lebih sedikit dari sekarang). Pola yang sama juga terjadi di transportasi. Pemerintah tak mengembangkan infrastruktur gas sehingga konsumen tidak memiliki alternatif. Sangat mudah bagi pengendara berpindah ke gas apabila infrastruktur dan harganya bersaing dengan minyak. Di sini isu DMO (domestic market obligation) menjadi keniscayaan.
Terakhir, dua hal yang penting dikerjakan adalah pembangunan transportasi publik yang nyaman dan kebijakan pajak kendaraan yang progresif. Di negara maju, pengurangan konsumsi minyak untuk transportasi tidak hanya dilakukan dengan menaikkan harga energi, namun juga menyiapkan transportasi publik yang nyaman dan murah. Inilah yang membuat penggunaan kendaraan pribadi dapat ditekan, sehingga memiliki dampak terhadap pengurangan kemacetan dan polusi. Demikian pula, pemilik kendaraan pribadi dibebani dengan pajak kendaraan yang mahal agar mereka menggunakan dengan cara yang rasional. Di negara maju sangat jarang ditemui satu rumah tangga memiliki mobil lebih dari dua buah karena biaya operasional (termasuk pajak) yang mahal. Indonesia belum melakukan itu, sehingga laik dipikirkan untuk menaikkan pajak kendaraan minimal 100%. Jika pemerintah mengerjakan semua ini, maka bisa dianggap mereka organ yang berpikir dan bekerja, bukan hanya memaksa.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef