Bulan Mei kali ini semestinya menjadi istimewa bagi bangsa Indonesia. Sebabnya, pada bulan ini seluruh rakyat Indonesia memperingati satu abad Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan ini seharusnya dirayakan secara gemerlap karena identitas Indonesia yang serba kokoh: mandiri ekonominya, sehat politiknya, dan bugar sendi sosialnya. Tentu saja harapan itu didasari alasan yang kuat, sebab Indonesia dikaruniai sumber daya ekonomi yang luar biasa, filsafat politik yang kokoh (Pancasila dan Negara Kesatuan), dan keragaman budaya yang tidak ternilai. Sayangnya, modal ekonomi, politik, dan sosial yang begitu besar ternyata tidak membuat negeri ini tegak berdiri di altar dunia, baik di pentas ekonomi, sosial, dan politik. Jadinya, peringatan kebangkitan nasional saat ini justru dihiasi dengan kisah-kisah pilu tentang keterpurukan bangsa. Puncaknya, pemerintah justru memberi kado pahit kepada rakyat dengan menaikkan harga minyak pada 24 Mei 2008.
Etika yang Dilanggar
Sekian banyak opsi telah disodorkan oleh para ekonom untuk menyikapi kenaikan harga minyak internasional. Tapi, dari sekian banyak pilihan kebijakan yang disumbangkan tersebut pemerintah justru memilih kenaikan harga minyak sebagai jalan keluar. Kebijakan ini secara etis sungguh bermasalah karena terdapat beberapa persoalan yang belum dijernihkan. Pertama, sampai saat ini tidak terdapat transparansi dalam pengelolaan migas di Indonesia, dari mulai jumlah produksi, biaya produksi, sistem bagi hasil, dan cost recovery. Ketiadaan transparansi tersebut menyebabkan banyak potensi penerimaan negara yang hilang. Hasil audit yang dilakukan oleh BPKP menemukan kerugian sebesar Rp 18 triliun dari penyimpangan cost recovery pada periode 2002-2005. Jika selama periode itu saja kehilangan sudah sebegitu besar, maka bisa dibayangkan berapa kerugian yang telah terakumulasi selama puluhan tahun (ditambah kerugian dari sistem bagi hasil yang sangat timpang).
Kedua, pemerintah sebenarnya masih memiliki ruang untuk menunda kenaikan harga minyak dengan jalan memformulasikan kebijakan yang lebih radikal demi mengubah struktur perekonomian menjadi sehat dan adil. Kekayaan SDA di Indonesia sangat melimpah, tetapi sayangnya selama ini hanya menjadi pemuas nafsu eksploitatif para pemodal kakap (domestik dan asing) tanpa memberikan laba kepada negara dan masyarakat. Proses eksplorasi hutan, emas, batubara, pasir, ikan, nikel, minyak, dan lain sebagainya tidak menempatkan negara sebagai pihak yang berdaulat sehingga memeroleh pendapatan yang besar bagi kemakmuran rakyat. Hampir keseluruhan SDA itu mengalir ke kantong-kantong pemodal besar dan hanya menyisakan sedikit hasilnya kepada pemerintah. Proses ini telah berjalan selama puluhan tahun, tetapi nyaris tidak terdapat upaya yang serius untuk mengoreksinya. Hasilnya, pengelolaan SDA menjadi ladang perburuan rente yang tidak mensejahterakan rakyat.
Ketiga, struktur perpajakan di Indonesia juga hanya menguntungkan kelompok menengah ke atas sehingga tidak ada kesempatan bagi pemerintah untuk menciptakan kebijakan redistribusi yang lebih sistematis. Secara ideal, mestinya struktur pajak (pendapatan/penghasilan, mobil, PBB, korporasi, dan lain-lain) diubah secara mendasar sehingga memiliki efek redistribusi yang lebih jelas. Ditambah pengurangan korupsi dalam pengumpulan pajak, maka perubahan struktur pajak itu akan memberikan pemasukan uang yang cukup besar terhadap pemerintah sehingga bukan saja dapat menjadi amunisi untuk menambal pembengkakan subsidi minyak, tetapi juga memperkuat perekonomian rakyat (lewat beragam skema). Di sebagian negara Eropa, sistem perpajakan memang didesain secara terencana sebagai bagian dari sistem jaminan sosial (social security system) untuk melindungi kaum yang tersisih, seperti pengangguran, orang cacat, masyarakat miskin, lansia, dan lain-lain.
Asas Kepatutan
Jadi, cukup jelas bahwa persoalan harga minyak saat ini bukan sekadar bagaimana pemerintah merespons sesaat kejadian di pasar internasional. Tapi, semua itu harus dilacak dari seberapa besar tanggung jawab yang telah dikerjakan pemerintah untuk membangun perekonomian sehingga nasib rakyat tidak ditentukan oleh fluktuasi perekonomian dunia. Inilah yang kemudian terbukti, bahwa selama ini pemerintah tidak pernah memformulasikan kebijakan yang utuh untuk memperkuat perekonomian dan daya beli masyarakat. Kebijakan yang diproduksi cuma menafkahi kepentingan sempit, bahkan tidak berani untuk melakukan koreksi atas kebijakan salah di masa lampau (semisal pengelolaan SDA). Celakanya, ketidakmampuan pemerintah untuk mengurus perekonomian tersebut dibebankan kepada pihak lain dengan jalan mengorbankan kepentingan masyarakat (menaikkan harga minyak). Pemerintah yang berkarakter tentu tidak akan melakukan langkah yang tak patut ini.
Padahal, jika langkah-langkah yang sudah diutarakan di muka sudah dicicil sejak lama, sekurangnya sejak awal kali berkuasa, maka problem minyak dunia ini tidak akan sampai membuat pemerintah melakukan kebijakan kenaikan harga minyak. Semua pemerintahan yang dipilih secara demokratis haruslah memenuhi aspirasi sebagian besar masyarakat sehingga orang-orang yang kompeten di dalamnya selalu dituntut untuk memproduksi kebijakan yang kredibel. Jika setiap gejolak ekonomi eksternal selalu disikapi dengan kebijakan yang reaktif, dangkal, dan merugikan masyarakat, maka sebetulnya hal itu ekuivalen dengan ketiadaan pemerintah. Pemerintah di sini mangkir dari tugasnya yang paling hakiki, yakni melayani kepentingan masyarakat lewat kebijakan yang cerdas, orisinil, dan memihak kepentingan rakyat. Sungguh sayang, peringatan seabad kebangkitan nasional kali ini harus dilewati dalam suasana negeri yang nyaris menuju kebangkrutan.
Seputar Indonesia, 26 Mei 2008
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef dan
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya