Hasil pemilu presiden telah ditetapkan, di mana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono resmi diumumkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014. Meskipun belum dilantik secara resmi, berbagai desakan (ekonomi) telah menyambut pemerintahan SBY-Boediono. Tantangan menuju perbaikan dan perubahan silih berganti didengungkan dalam upaya memerbaiki perekonomian Indonesia yang kolaps akibat krisis keuangan global. Desakan yang lain adalah presiden terpilih diharapkan bisa melaksanakan program-program yang ditawarkan ketika masa kampanye, sehingga menjadi program yang bisa direalisasikan dan bermanfaat bagi seluruh rakyat. Ini penting diingatkan, karena program yang sudah diwacanakan pada masa kampanye seringkali hanya menjadi ‘pemanis bibir’ yang makin lama kian pudar. Di sini akan dipaparkan beberapa hal krusial yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah mendatang.
Kembali Ke Konstitusi
Pasal 33 UUD 1945 secara jelas menunjukkan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas ekonomi di Indonesia direpresentasikan oleh tiga pelaku ekonomi, yakni Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/BUMD), usaha swasta, dan koperasi. Ketiga pelaku ekonomi tersebut melakukan interaksi dan interrelasi sehingga membentuk konfigurasi perekonomian nasional. Perilaku ketiga pelaku tersebut akan menentukan watak pertumbuhan ekonomi dan pola distribusi pembangunan. Jika salah satu dari pelaku ekonomi melakukan kegiatan ekonomi dengan tidak efisien, maka ketidakefisienan itu akan menyebar pada aktivitas pelaku ekonomi lainnya. Sebagai ilustrasi, apabila koperasi kelapa sawit memproduksi secara tidak efisien, maka usaha swasta minyak goreng juga akan memproduksi dengan tidak efisien. Oleh karena itu, sistem kerja pelaku ekonomi memiliki peranan yang krusial dalam sistem ekonomi nasional. Tantangan pemerintah adalah mendesain harmonisasi regulasi yang bisa mengatur peran dan porsi masing-masing pelaku ekonomi tersebut.
Berikutnya, perjuangan bangsa ini untuk memperoleh kedaulatan ekonomi masih jauh dari selesai. Realitas ekonomi bangsa masih jauh dari harapan para pendiri negara. Hal yang tidak boleh dilupakan, fundamental ekonomi Indonesia yang tertuang pada pasal 33 UUD 1945 secara jelas menjunjung tinggi kepentingan rakyat di atas kepentingan negara dan individu. Terdapat tiga hal yang tertuang pada pasal 33 UUD 1945, yaitu: (i) cabang perekonomian yang dikuasai oleh negara; (ii) sumber daya alam yang dikuasai oleh negara; dan (iii) pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat. Ketiga ayat yang termaktub dalam pasal 33 tersebut merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar, di mana negara harus menguasai tanpa kompromi sedikitpun. Hak kepemilikan di atas ketiga cabang ekonomi tersebut harus dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga pihak swasta harus dihindarkan dari penguasaan (mutlak). Sayangnya, sampai kini amanat pasal 33 itu masih jauh dari cita-cita pendiri bangsa.
Ekonomi kerakyatan akhir-akhir ini mulai diwacanakan dengan harapan mampu mengubah atmosfer perekonomian nasional dan mengoptimalisasikan potensi rakyat dalam memengaruhi gerak roda perekonomian nasional. Prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah pemberdayaan (empowerment) masyarakat sesuai dengan potensi dan keahliannya sehingga dapat menggerakkan roda-roda ekonomi rakyat, dalam hal ini adalah sektor pertanian dan UMKM. Kedua sektor ini sangat dekat dengan peranan rakyat di dalamnya. Indonesia yang merupakan negara agraris, selain ditopang dengan tanahnya yang subur, juga harus didukung oleh tenaga terampil dalam mengelola kegiatan pertaniannya sehingga mampu memberi manfaat. Di sisi lain, sektor UMKM juga merupakan roda penggerak perekonomian karena dikuasai oleh masyarakat kecil yang memiliki jiwa wirausaha(entrepreneurship) yang tinggi dan mampu menghasilkan barang dengan kualitas bagus. Sayangnya, pembangunan yang dijalankan selama ini belum menempatkan mereka sebagai pilar terpenting kegiatan ekonomi.
Isu-isu Strategis
Setelah dihempaskan oleh badai krisis keuangan global, pasar ekspor cenderung kolaps dan menurun kuantitasnya. Begitupun yang dialami oleh pasar ekspor Indonesia selama krisis, mengingat krisis yang bermula pada September 2008 menyebarkan dampak pada hampir semua negara. Semakin melemahnya pasar ekspor membuat sektor UMKM (yang memiliki pasar ekspor yang baik sebelum krisis) juga turut ambruk. Oleh karena itu, pemerintah harus menjadikan pasar domestik sebagai basis perekonomian (sekaligus pasar pengganti bagi barang-barang ekspor yang tidak terbeli akibat pasar internasional yang masih belum normal). Sebagai kompensasi atas penguatan pasar domestik, maka masyarakat harus memiliki daya beli yang baik pula. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal sebesar Rp 73,3 triliun untuk meningkatkan daya beli masyarakat, yang sayangnya penyerapannya sangat tidak efektif, di samping kebijakan ini terlalu bias kepada kepentingan warga kaya (the have).
Pemerataan pembangunan antarwilayah, antarsektor, dan antarpenduduk menjadi salah satu tantangan yang perlu dicarikan jalan keluar. Sampai kini sekitar 91% investasi terkonsentrasi di Pulau Jawa (bahkan mayoritas di Jabodetabek). Demikian pula jika dilihat dari infrastruktur ekonomi, semuanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Implikasinya, kegiatan pembangunan ekonomi terfokus di Pulau Jawa. Di luar itu, investasi juga didominasi oleh sektor sekunder dan tersier, sehingga investasi sektor primer (on farm) tertinggal jauh. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendapatan antarpenduduk. Persoalan lain yang terus mengemuka adalah privatisasi dan pengelolaan sumber daya alam (minyak, gas, batu bara, emas, hutan, ikan, dan lain-lain). Privatisasi selalu menjadi masalah laten karena pemerintah tidak memiliki landasan regulasi, padahal konstitusi sudah mengamanatkan secara terang benderang. Oleh karena itu, penting segera disusun cetak biru privatisasi berdasarkan konstitusi.
Last but not least, di bidang pangan dan energi banyak tantangan yang harus segera ditangani. Kemandirian pangan dan energi merupakan kemutlakan bagi Indonesia mengingat kedua hal tersebut memiliki porsi penting dalam kemajuan perekonomian nasional. Sektor pangan merupakan andalan untuk mendongkrak perekonomian nasional karena menyerap banyak pekerja dan berpotensi memberikan nilai tambah yang besar. Tantangan yang harus dikerjakan pemerintah adalah segera membuat pohon industri yang berbasis sektor pertanian. Dengan jalan ini sektor pertanian akan berkembang pesat disertai dengan pendapatan yang kian tinggi. Sedangkan untuk energi, dua tantangan yang mengemuka adalah peningkatan porsi pelaku ekonomi domestik dan konversi ke bioenergi (untuk SDA yang tidak terbarui). Tantangan pertama lebih bersifat keberanian politis, sementara tantangan yang kedua adalah komitmen untuk merumuskan peta jalan (roadmap) secara jelas untuk mencapai target produksi dan pengunaan bioenergi. Jadi, pembangunan ke depan harus kembali berinduk kepada spirit konstitusi demi pencapaian kemandirian ekonomi nasional.
Seputar Indonesia, 4 September 2009
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya