Menilai pemerintah tergolong cakap atau tidak sebetulnya gampang: tinggal menguji dari caranya menyelesaikan persoalan-persoalan sederhana yang datang secara ajeg dengan pola yang sama. Di negeri ini terdapat hamparan masalah sederhana yang datang harian, bulanan, atau musiman. Urusan pembuatan KTP, SIM, akta kelahiran, izin usaha, dan lainnya merupakan soal rutin harian yang harus dihadapi oleh pemerintah (pusat dan daerah). Laporan keuangan proyek juga tantangan reguler, misalnya bulanan, yang mesti dibuat pemerintah. Problem musiman juga tak kalah semarak, misalnya datangnya musim kemarau atau hujan yang  menimbulkan masalah gagal panen atau banjir. Pada kasus terakhir ini, contoh masalah sederhana yang pasti hadir adalah melonjaknya permintaan pangan selama puasa ramadan dan lebaran. Sedihnya, harus dinyatakan pemerintah tidak cakap mengurus masalah ini.
Kegentingan Pangan
Terdapat tiga tingkat alasan mengapa persoalan (harga) pangan ini genting untuk ditangani secara baik oleh pemerintah. Pertama, Indonesia masih merupakan negara yang tergolong berpendapatan rendah (sekurangnya menengah-bawah) sehingga sebagian besar pendapatannya dipakai untuk konsumsi pangan (sesuai dengan Engel’s law). Bahkan penduduk yang berpendapatan di bawah US$ 2 sekitar 70% pendapatannya dibelanjakan pangan. Implikasinya, tiap kenaikan harga pangan akan memukul daya hidup mereka. Kedua, masalah pangan terkait dengan isu kemanusiaan dan hak dasar manusia. Individu hanya bisa melakoni hidup dan tumbuh normal apabila pasokan pangan cukup untuk menyangga aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, isu kelaparan merupakan patologi sosial yang harus dihindari sebab merupakan bagian dari tragedi kemanusiaan. Jadi, akses pangan merupakan keniscayaan yang harus dimenangkan oleh tiap pemerintahan.
Ketiga, pasokan pangan tidak mudah disediakan dibandingkan barang atau jasa lainnya, semacam mobil, televisi, sepatu, dan alat tulis. Jika kasus komoditas-komoditas yang terakhir itu dapat diproduksi tiap hari dalam jumlah besar sesuai pesanan/taget, maka barang pangan sangat tergantung dari musim/alam. Aneka upaya boleh dirintis, namun sebagian nasib tergantung dari kemurahan alam. Di samping itu, sifat dari sebagian komoditas pangan yang cepat rusah juga memerlukan penanganan yang khusus. Dengan tiga deskripsi itu, maka mudah diduga apabila pasokan pangan cenderung fluktuatif, harga tidak stabil, dan distribusi tidak merata sehingga pilihan kebijakan dan manajemen operasionalisasi menjadi sangat penting. Tiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda untuk mengatur harga dan pasokan pangan tersebut, tapi semuanya bermuara dalam satu hal: stabilitas harga dan pasokan.
Indonesia sebelum krisis ekonomi 1997/1998 menyerahkan kepada badan penyangga yang bernama Bulog untuk mengatur pasokan dan harga komoditas strategis, yang dikenal dengan istilah Sembako (sembilan kebutuhan pokok). Bulog menguasai sebagian pasokan sembako tersebut dengan modus kerja yang sederhana: membeli komoditas ketika panen raya (supaya harga tidak jatuh sehingga merugikan petani) dan menggelontor pasar ketika masa paceklik atau masa tertentu (agar harga tak melambung sehingga menjerat konsumen). Di luar itu, pemerintah masih mengatur harga dasar (floor price) untuk komoditas-komoditas tersebut, misalnya beras dan gula. Malaysia melakukan langkah pengendalian harga serupa, bahkan jauh lebih eksesif karena mengatur sekitar 25-30 barang pangan. AS berjuang keras swasembada jagung dan gandum sebab rakyatnya tergantung dari barang ini. Pada 2011 AS memproduksi sekitar 340 juta ton jagung, sedang Indonesia cuma 8 juta ton!
Tata Niaga (Mafia) Distribusi
Di luar contoh-contoh tersebut, masih ada satu instrumen yang sering dipakai oleh suatu negara untuk mengatur dan melindungi pangan nasional. Di Eropa, AS, dan negara-negara maju lainnya sampai kini masih memberikan subsidi yang sangat besar untuk sektor pertanian sekaligus pengenaan tarif impor yang tinggi. Keduanya bertujuan memberi insentif bagi sektor pertanian agar berkembang sehingga bisa mencukupi kebutuhan domestik masing-masing negara. Dengan kebijakan itu, tak heran bila Perancis, Ukraina, dan Kanada diperkirakan pada 2011 masih bisa memproduksi jagung sebanyak 14,56; 14,50, dan 11,50 juta ton (USDA, 2011; dalam Bisnis Indonesia, 19/10/2011). Negara-negara itu sangat sadar, stabilitas pasokan dan harga bersumber dari kecukupan produksi domestik. Tiap ketergatungan dalam jumlah besar terhadap pasokan impor pangan dipastikan sulit menghadirkan stabilitas harga. Konsekuensinya, insentif terhadap petani harus diberikan agar mereka bersedia meningkatkan produksi.
Pengalaman Indonesia sebelum krisis 1997/1998, Malaysia, dan AS di atas memberi pelajaran bahwa intervensi sektor pangan merupakan hal yang niscaya akibat karakteristik yang spesifik terhadap barang pangan tersebut. Sampai hari ini sektor pertanian di negara manapun masih termasuk sektor ekonomi yang sarat intervensi demi menjaga kepentingan ekonomi domestik dan hak dasar rakyat. Celakanya, pola yang berbeda justru ditempuh Indonesia dengan meliberalisasi sektor pertanian pasackrisis 1997/1998. Paling fenomenal adalah penggerusan peran Bulog dalam menjaga stabilitas pasokan dan harga sehingga bila terjadi peristiwa ajeg seperti puasa ramadan seperti kali ini, sulit bagi Bulog untuk mengendalikan harga. Padahal di negara lain lembaga mirip Bulog ini masih diberi fungsi yang memadai, seperti National Milling Corporation (Tanzania), Food Corporation of India, National Food Authority (Filipina), Bernas (Malaysia), The Grain Board (Tunisia), dan VinaFood (Vietnam).
Berikutnya, meskipun produksi tercukupi dan peran Bulog ditingkatkan, masih ada tugas berikut yang menanti, yaitu memerbaiki tata niaga distribusi. Akibat pemberian lisensi impor hanya kepada segelintir orang (dan kerap terjerat dalam praktik “rente politikâ€) dan konsentrasi kekuasaan distribusi domestik, menyebabkan komoditas strategis pangan digenggam oleh sedikit pemain. Jika struktur pasar distribusi terkonsentrasi (oligopoli), maka kebijakan semacam operasi pasar tidak akan pernah efektif, sebab ibaratnya seperti menggarami air laut. Pemerintah harus berani menyentuh penguasa-penguasa (mafia) distribusi ini dengan mengembalikan peran Bulog dan menyebar penguasaan komoditas (di antaranya lewat pembatasan pemguasaan barang tiap orang/korporasi). Jadi, sekurangnya terdapat tiga agenda besar yang mesti ditanggung pemerintah agar soal-soal simpel semacam ini dapat ditangani secara cerdas, yaitu pengereman liberalisasi, peningkatan produksi, pengurangan konsentrasi distribusi, dan pengembalian mandat Bulog. Berhadapan dengan (mafia) pasar, pemerintah tidak boleh takluk!
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef