Secara umum, perekonomian 2007 hampir berakhir dengan berita yang menggembirakan. Sebagian indikator kinerja ekonomi menunjukkan capaian yang relatif bagus. Tapi, agaknya kegembiraan itu mesti disimpan lagi karena di kuartal terakhir 2007 perekonomian agak oleng diterpa kenaikan harga minyak internasional dan melemahnya kurs rupiah. Akibatnya, sektor fiskal mengalami guncangan yang cukup keras. Sehingga, secara keseluruhan peta perekonomian 2007 menjadi dapat dideskripsikan dalam tiga poin berikut. Pertama, pencapaian pertumbuhan ekonomi relatif aman (sekitar 6,2%), walaupun angka ini agak lebih rendah dari target pemerintah (6,3%). Kedua, stabilitas makroekonomi menunjukkan indikator yang cukup baik, di antaranya dilihat dari tingkat suku bunga yang cenderung menurun, inflasi yang terkendali, dan jumlah devisa yang terus meningkat. Ketiga, defisit fiskal menjadi titik kritis karena terdapat kecenderungan membengkak dari rencana semula.
Kinerja Makroekonomi
Jika dilihat kinerja pertumbuhan sektoral dengan membandingkan Triwulan I s/d III 2007 terhadap Triwulan I s/d III 2006, maka data memperlihatkan pertumbuhan terbesar didonorkan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi (12,2%); listrik, gas, dan air bersih (10,3%); konstruksi (8,3%); dan keuangan, real estat, dan jasa perusahaan (7,9%). Sedangkan pertumbuhan PDB yang paling kecil adalah sektor pertambangan dan penggalian dan pertanian (termasuk peternakan, kehutanan, dan perikanan) [BPS, 2007]. Data itu menginformasikan bahwa pertumbuhan ekonomi disokong oleh sektor-sektor ekonomi yang kurang memiliki dampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Khusus industri manufaktur perlu mendapatkan perhatian yang saksama mengingat terdapat indikasi terus menurun. Pertumbuhan sektor industri manufaktur pada 2007 untuk sementara berada di sekitar angka 7,9%, namun bila melihat perbandingan pertumbuhan kuartal I 2007 terhadap kuartal I 2006 maka hanya tumbuh 5,4%.
Sepanjang 2007 juga terdapat tendensi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, khususnya sejak pertengahan 2007. Pemerintah menetapkan dalam APBN-P 2007 kurs sebesar Rp 9.050 per dolar, tetapi rasanya hal itu sulit dicapai sehingga sekarang rata-rata nilai tukar menjadi Rp 9.125 per dolar. Sedangkan sampai bulan Juni 2007 nilai tukar mencapai Rp 9.101 per dolar. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut tentu mengganggu dalam aspek lain, misalnya pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri (ULN). Diperkirakan pembayaran ULN akan meningkat sebesar Rp 7,2 triliun akibat penurunan nilai tukar rupiah. Sedangkan untuk inflasi, sampai November 2007 akumulasinya mencapai 5,42%. Rasanya target pemerintah untuk mencapai inflasi sebesar 6% pada 2007 akan tercapai. Penyebab utama dari inflasi sampai saat ini masih berupa kenaikan beberapa bahan pokok yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh pemerintah, misalnya minyak goreng.
Di sisi lain, suku bunga telah mengalami penurunan yang berarti dari Januari – Oktober 2007. BI rate pada bulan Januari sebesar 9,50% dan secara konsisten terus menurun menjadi 8,25% pada Juli 2007. BI rate sebesar itu bertahan hingga sekarang dan diharapkan kondisi itu akan terus menurun. Tentu saja penurunan BI rate juga memicu penurunan suku bunga kredit sehingga diharapkan dapat mengerek tingkat investasi. Salah satu dampak dari penurunan suku bunga tersebut dapat dilihat dari kinerja LDR (loan to deposit ratio) yang diperkirakan sebesar 67,3%, di mana persentase itu yang tertinggi sejak krisis ekonomi. Ini berarti telah terjadi agresivitas penyaluran kredit ke masyarakat. Dengan begitu, variabel suku bunga masih menjadi determinan penting bagi penyaluran kredit. Oleh karena itu, pemerintah harus terus berjuang untuk menurunkan BI rate sampai pada level yang kondusif bagi dunia usaha melakukan opsi investasi.
Defisit Fiskal
Sayangnya, stabilitas makroekonomi yang cukup bagus tersebut kurang diikuti oleh kinerja fiskal yang bagus. APBN 2007 menetapkan jumlah defisit Rp 40 triliun, atau setara dengan 1,1% PDB. Sumber defisit itu sebagian disumbangkan dari subsidi listrik dan BBM. Dalam APBN 2007, jumlah subisidi untuk BBM dialokasikan sebesar Rp 61,8 triliun dan subsidi non-BBM sebesar Rp 41,1 triliun. Namun, nampaknya defisit fiskal itu bakal melonjak akibat melambungnya harga minyak yang tidak dapat dikendalikan. Dalam APBN-P 2007 pemerintah telah mengubah rencana defisit menjadi sekitar Rp 58 triliun, atau setara 1,5% dari PDB. Sampai akhir tahun, diprediksikan defisit fiskal akan membumbung menjadi Rp 76,4 triliun akibat kenaikan asumsi harga minyak dari 60 US$/barrel menjadi 72,59 US$ sepanjang tahun 2007. Di sinilah terbuka pemicu kenaikan inflasi dari dua penjuru: kenaikan biaya produksi (cost-push inflation) dan penambahan jumlah uang beredar.
Sementara itu, ULN sampai sekarang masih menjadi hantu perekonomian. Sampai pertengahan 2007, jumlah ULN mencapai 59 miliar US$. Jumlah itu memang kian menurun dari tahun ke tahun. Walaupun begitu, jumlah ULN yang semakin menurun tidak lantas membuat struktur perekonomian menjadi lebih sehat. Sampai 2008 diperkirakan rasio ULN terhadap PDB masih sekitar 34%. Sedangkan dalam anggaran 2007, pembayaran cicilan pokok dan bunga ULN dipatok Rp 54,75 triliun dan diperkirakan bertambah sekitar Rp 7,2 triliun akibat melemahnya kurs rupiah. Begitulah, faktor kenaikan harga minyak internasional dan beban pembayaran ULN telah mengganggu portofolio fiskal Indonesia sehingga akan terjadi pendarahan jika tidak ditangani dengan baik. Sementara itu, tidak mudah bagi pemerintah untuk mengurangi subsidi (minyak) dalam APBN 2008 karena musim Pemilu hampir tiba. Jadi, nampaknya tahun depan situasi tidak terlampau berpihak kepada pemerintah.
Jawa Pos, 14 Desember 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw
dan Dewan Pendiri INSEF (Institute for Strategic Economics and Finance)