Jim O’Neil (bekas ekonom Goldman Sachs) pada 2001 membuat akronim BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) dalam konstelasi perekonomian dunia. Empat negara tersebut dianggap sebagai poros ekonomi baru yang menjadi episentrum ekonomi internasional menggeser keberadaan AS, Inggris/Jerman, dan Jepang. Keempat negara itu memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan yang mencolok adalah jumlah penduduk yang besar, khususnya China, India, dan Brazil. Rusia meskipun penduduknya di bawah Indonesia, tapi masih menempati posisi 6 besar dunia. Tentu saja, dengan jumlah penduduk yang sangat besar membuat PDB masing-masing negara tersebut juga besar, meskipun tidak lantas menunjukkan besarnya pendapatan per kapita. Sementara itu, perbedaannya juga cukup banyak, di antaranya basis kegiatan ekonominya berbeda, seperti Rusia di pertambangan dan industri, India (pendapatan per kapitanya paling rendah US$ 1400) di sektor jasa, China pada manufaktur, dan Brazil (pendapatan per kapita US$ 12.800) masih banyak disumbang oleh sektor primer.
Poros Ekonomi Baru
Baru-baru ini kelompok empat negara tersebut menjalin interaksi yang intensif dengan bertambahnya Afrika Selatan (BRICS). Afsel juga makin menunjukkan kedigdayaan ekonomi pasca-kekrisuhan politik (apartheid). Pendapatan per kapita (US$ 8000), perdagangan internasional, dan stabilitas makroekonomi merupakan pondasi yang membuat negara tersebut berkibar. Pada saat pusat ekonomi dunia lainnya sedang dihantam krisis ekonomi dalam dua tahun terakhir, maka keberadaan BRICS seakan menjadi penyeimbang ekonomi baru. Tanpa China (pendapatan per kapita US$ 5400), misalnya, krisis subprime mortgage di AS pada 2008 lalu pasti akan sulit diatasi, karena China bersedia membeli sebagian besar surat utang pemerintah AS. Rusia (pendapatan per kapita US$ 13.000) secara perlahan mulai menunjukkan kepercayaan diri di bidang ekonomi, meskipun masih banyak kendala yang dihadapi. Singkatnya, kelima negara ini memang secara ekonomi mempunyai potensi besar yang harus dilihat dalam kancah ekonomi global.
BRICS makin menyedot perhatian dunia ketika beberapa waktu lalu menginisiasi untuk membentuk lembaga pengumpul modal untuk menandingi Bank Dunia, sekaligus lembaga semacam IMF untuk mengelola persoalan moneter. Ide ini sebetulnya bukan hal yang baru, sebab sebelumnya sudah ada Asian Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (IDB) yang secara jelas menunjukkan kiblat dari negara-negara tersebut. Namun, meskipun bukan merupakan gagasan baru, tetap saja rencana tersebut dianggap mengejutkan karena diinisiasi oleh BRICS. Di balik potensi besar dari lembaga tersebut, jika memang jadi dibentuk, tentu ada beberapa hal yang pantas dicatat sebagai faktor penguat munculnya gagasan itu. Hal yang paling terasa adalah dominannya AS, Eropa, dan Jepang di Bank Dunia dan IMF sehingga mustahil kedua lembaga multilateral itu bisa mewakili kepentingan sebagian besar negara anggotanya. Perasaan ini sudah lama tertancapt dalam hati negara-negara berkembang.
Dominasi itu bisa dilihat dari formasi suara di kedua lembaga teresebut. AS dan Eropa merupakan pemilik suara mayoritas sehingga kendali kebijakan dan organisasi di tangan negara tersebut. Demikian pula dalam penentuan pucuk pimpinan Bank Dunia dan IMF yang tidak pernah bergeser dari AS dan Eropa. Presiden Bank Dunia selalu berasal dari AS, sedangkan Direktur Eksekutif IMF merupakan jatah Eropa. Di IMF, misalnya, Uni Eropa punya suara 32% dan AS hampir 17%, sedangkan Kanada, Selandia Baru, dan Australia 4% (Mahbubani, 2013). Pola yang sama juga terjadi di Bank Dunia dan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Kenyataan ini tentu menyakitkan karena seakan Bank Dunia dan IMF adalah milik mereka. Apalagi akhir-akhir ini negara yang mulanya dianggap sebagai pendekar pengelola ekonomi yang baik itu, ternyata gagal mengurus negaranya masing-masing. Jadi, secara moral sebetulnya AS dan Eropa tak lagi memiliki legitimasi untuk memimpin lembaga multilateral tersebut akibat inkompetensi pengelolaan ekonomi domestik.
Misi Lembaga Baru
Melihat perkembangan tersebut rasanya langkah yang akan dilakukan oleh BRICS patut diapresiasi. Namun, beberapa catatan perlu disampaikan terkait rencana tersebut. Pertama, keanggotaan dan kepesertaan perlu diperluas ke negara-negara lain yang memiliki potensi ekonomi bagus dan komitmen yang sama. Poros ekonomi dunia akhir-akhir ini juga diperkaya dengan makin banyaknya negara yang memiliki kinerja ekonomi yang cukup bagus, seperti Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, dan Turki (MIST). Meksiko memiliki penduduk 115 juta dan sekarang menempati posisi ekonomi ke-11 dilihat dari PDB dunia. Indonesia sekarang penduduknya mendekati 250 juta dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 4000, sedangkan Korsel pendapatan per kapitanya sangat tinggi (US$ 30.000), setara dengan Perancis, Jepang, dan Italia. Level pengangguran Korsel juga sangat rendah, hanya 3,3% (terendah di G-20). Sementara itu, Turki merupakan jembatan Asia dan Eropa dari banyak sisi dengan pendapatan per kapita US$ 12.300. Jika MIST bergabung, maka dapat dipastikan bobot lembaga baru itu akan lebih bertenaga.
Kedua, orientasi dari lembaga multilateral ini bukan sekadar membuat perlawanan terhadap Bank Dunia dan IMF, tetapi memerkuat posisi ekonomi negara yang terbelakang, khususnya akibat ekspansi globalisasi/liberalisasi ekonomi. Kawasan Asia (Selatan) dan Afrika merupakan daerah yang paling dirugikan dari skema liberalisasi perekonomian sehingga seluruh komitmen internasional harus diarahkan untuk memajukan kawasan tersebut secara cepat. Bank Dunia dan IMF terbukti tidak memiliki komitmen itu, karena justru menempatkan negara berkembang/terbelakang sebagai obyek ekspansi kredit ataupun tekanan kebijakan dengan kedok memberikan bantuan (finansial maupun kebijakan). Oleh karena itu, lembaga baru ini nanti jika berdiri mengemban dua misi penting: mengimbangi IMF/Bank Dunia dan memberdayakan negara-negara terbelakang. Jika misi tersebut bisa dijalankan dengan optimal, maka masa depan lembaga akan cerah.
Ketiga, cakupan bantuan dari lembaga yang akan dibentuk juga harus dirumuskan dengan baik: apakah persis seperti IMF/Bank Dunia (bantuan finansial dan kebijakan) ataukah memiliki warna yang berbeda. Melihat kiprah IMF dan Bank Dunia selama ini, sebaiknya lembaga baru nanti hanya fokus kepada bantuan finansial tanpa memiliki obsesi memberikan bantuan kebijakan. Kasus yang terjadi selama ini, bantuan kebijakan mudah bermetamorfosis menjadi intervensi kebijakan dengan memanfaatkan posisi lemah (powerless) negara yang dibantu. Implikasinya, banyak kepentingan ekonomi dan politik di balik tiap kebijakan yang disodorkan sehingga membuat negara yang dibantu makin sulit keluar dari kenestapaan ekonomi. Intinya, jangan sampai bantuan membuat posisi negara yang lemah menjadi seperti jajahan. Jadi, biarkan negara yang dibantu mendesain kebijakan sendiri sesuai dengan opsi yang diambil dan bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
Tentu saja bantuan kebijakan tidak tertutup untuk difasilitasi asalkan atas permintaan negara yang dibantu, serta itu juga bukan merupakan persyaratan atas bantuan finansial yang diberikan. Hal lain yang perlu dipikirkan adalah mekanisme suara dan pengambilan keputusan dalam formasi lembaga baru tersebut, sehingga dominasi satu atau beberapa negara tidak terjadi (seperti yang dialami Bank Dunia dan IMF). Jika BRICS bisa menyembulkan iktikad tersebut pada awal inisiasi pembentukan lembaga, saya kira akan banyak negara yang tertarik untuk bergabung. Indonesia pun perlu memikirkan untuk bergabung selama misi pembentukannya sesuai dengan amanat konstitusi (UUD 1945). Akhirnya, jika lembaga itu berdiri, maka setiap anggota yang bergabung disyaratkan keluar dari IMF dan Bank Dunia sehingga posisinya menjadi lebih independen dan kuat. Dengan kerangka pikir seperti itulah lembaga ini menjadi rasional dan memiliki relevansi dengan perkembangan zaman.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef