Belakangan makin banyak lembaga internasional yang memberi perhatian kepada Indonesia karena dianggap solid prospek ekonominya. Saat menggelar Indonesia Investment Day di New York Stock Exchange, di sela-sela pertemuan PBB beberapa minggu lalu, muncul akronim MIST (Meksiko, Indonesia, Korsel/South Korea, dan Turki) menggantikan BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) sebagai poros ekonomi baru. Sebaliknya, OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) baru saja melansir kajian bertajuk “OECD Review of Agricultural Policies: Indonesiaâ€, dengan substansi yang mengejutkan: Indonesia dianggap salah arah dalam merumuskan kebijakan pangan (pertanian). Kebijakan swasembada dipandang tak lagi relevan diadopsi Indonesia.
Indonesia dituduh keliru merumuskan kebijakan pertanian karena dua hal pokok: (i) subsidi yang diberikan ke petani sangat mahal dan tidak efektif, misalnya subsidi pupuk. Menurut OECD subsidi pupuk lebih banyak dinikmati produsen pupuk ketimbang petani; dan (ii) perdagangan internasional komoditas pangan dipandang terlalu protektif dibandingkan negara Asia lainnya, baik dalam bentuk pengenaan tarif impor (seperti beras dan kedelai) maupun pajak ekspor (misalnya CPO). Kebijakan ini menimbulkan situasi yang tidak nyaman bagi negara lain untuk melakukan perdagangan dengan Indonesia. Rekomendasi OECD: alihkan subsidi ke peruntukan lain dan percepat liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian.
Analisis OECD itu bukanlah hal baru, meski tergolong pedas. Harus diakui dengan terus terang bahwa subsidi di sektor pertanian memang kerap jatuh ke pihak yang tidak tepat, seperti pupuk. Di lapangan, pupuk subsidi jadi bancakan sektor industri atau rent-seeker agents. Pemerintah betul-betul tak mampu mengontrol persekongkolan di lapangan. Demikian pula, saat harga komoditas pangan internasional melambung (seperti kasus kedelai beberapa waktu lalu), kebijakan tarif impor makin memberatkan konsumen dalam negeri, termasuk pelaku usaha (kecil) yang membuat produk dengan bahan baku kedelai. Pada situasi seperti ini, relaksasi tarif impor merupakan pilihan paling masuk akal untuk melindungi kepentingan konstituen ekonomi domestik.
Namun, analisis OECD itu mengandung dua kesalahan elementer. Pertama, menganggap swasembada tak relevan merupakan kesimpulan rapuh. Dalam situasi fluktuasi ekonomi dunia yang kerap terjadi dan sulit diantisipasi (termasuk harga komoditas pertanian), ketergantungan terhadap produk impor merupakan malapetaka, seperti pernah dialami Indonesia pada awal 2008 dan 2012. Di luar itu, cadangan pangan merupakan hal yang vital bagi negara berkembang. Celakanya, cadangan pangan (beras) Indonesia cuma 4,3% dari total produksi, bandingkan dengan Thailand (61,5%), Brunei (52,1%), Vietnam (24,4%), Myanmar (18,2%), Filipina (16,5%), Laos (15,7%), dan Malaysia (10,8%) [Asean Food Security Information System, 2011]. Tentu, cadangan pangan komoditas strategis jauh lebih mudah diupayakan jika swasembada dicapai.
Kedua, sejak liberalisasi (pertanian) dikerjakan pada 1998 telah menciptakan serangkaian tragedi pangan di Indonesia. Realitas itu didukung oleh studi Wanki Moon (2011) yang secara lugas menyampaikan sektor pertanian tidak mungkin diliberalisasi karena tiga argumen berikut: (a) produksi pertanian secara kolektif terkait dengan barang dan jasa nonmarket (lahan, air, biodiversitas, hutan), baik di tingkat lokal maupun nasional; (b) pertanian secara intimatif terasosiasi dengan isu-isu kemanusiaan, semacam perubahan iklim, kesinambungan, dan ketahanan pangan (kemiskinan/kelaparan), khususnya di negara berkembang; dan (c) sektor pertanian memiliki peran dan kapasitas yang berbeda-beda antarnegara sehingga kekalahan dalam liberalisasi bisa menjadi petaka kemanusiaan.
Pemerintah tak usah surut langkah oleh publikasi OECD itu, tapi beberapa kebijakan pertanian memang harus dirombak dan sebagian mesti diperbaiki pada level implementasi. Kebijakan subsidi tak perlu dikurangi, jika perlu ditambah, namun dengan formula baru yang lebih efektif dan tepat sasaran (seperti di negara-negara maju). Liberalisasi pertanian tidak bisa dibuka seenaknya, sebab ini menyangkut nasib 43% dari total tenaga kerja (TK) nasional. Studi OECD itu hanya relevan di negara maju yang tak terlampau berpijak di sektor pertanian dan rata-rata pekerja yang terlibat di dalamnya hanya 2-5% dari total TK. Dalam soal swasembada, pemerintah harus makin mempertebal keteguhan bahwa hal itu merupakan langkah strategis dan niscaya. Pemerintah mesti yakin: “peperangan ekonomi global tak mungkin dimenangkan tanpa menaklukkan pertempuran di sektor pertanian.â€
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef