Secara lengkap kinerja ekonomi 2010 telah diumumkan oleh BPS pada 7 Februari 2010 lalu. Pertumbuhan ekonomi, seperti sudah diramalkan oleh banyak kalangan, tumbuh lebih tinggi dari asumsi pemerintah, yakni 6,1% (asumsi pemerintah 5,8%). Jika dilihat dari lapangan usaha (sektor), maka sektor pertanian tumbuh 2,9%; pertambangan dan penggalian 3,5%; industri pengolahan 4,5%; listrik, gas, dan air bersih 5,3%; konstruksi 7,0%; perdagangan, hotel, dan restoran 8,7%; pengangkutan dan komunikasi 13,5%; keuangan, realestat, dan jasa 5,7%; dan jasa-jasa (6,0%). Sementara itu, apabila pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dilihat dari wilayah, maka Sumatera menyumbang 23,1%; Jawa 58,0%; Bali dan Nusa Tenggara 2,8%; Kalimantan 9,2%; Sulawesi 4,6%, dan Maluku dan Papua 2,4% (BPS, 2011). Di luar itu, BPS juga mengumumkan pendapatan per kapita menjadi Rp 27 juta atau meningkat sekitar 13% dari pendapatan per kapita 2009.
Lesunya Sektor Riil
Sebetulnya, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura, pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia bukanlah angka yang cukup tinggi karena negara-negara tetangga tersebut tumbuh di atas 8%. Namun, pertumbuhan yang diperoleh Indonesia juga tidak dapat dikatakan rendah, sebab banyak negara lainnya yang pertumbuhan ekonominya lebih rendah dari Indonesia. Oleh karena itu, lebih tepat apabila analisis dikaitkan dengan kontribusi sektoral maupun neraca pembangunan daerah. Pertama, pertumbuhan sektor pertanian (perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan) adalah yang paling rendah (2,9%) dan sektor pengangkutan dan komunikasi pertumbuhannya yang paling tinggi (13,5%). Realitas ini merupakan kelanjutan dari pola pertumbuhan ekonomi sejak 5-7 terakhir yang selalu bertumpu kepada non-tradeable sector, sehingga berpotensi memunculkan persoalan yang lebih besar.
Jika didalami oleh lebih lanjut, sektor riil (tradeable sector) hanya tumbuh rata-rata 3,63% (pertanian, pertambangan, dan industri), sedangkan non-tradeable sector tumbuh 7,7%. Jadi terdapat selisih pertumbuhan ekonomi sebesar 4,1% antara sektor tradeable dan non-tradeable. Selisih pertumbuhan ekonomi ini mungkin tidak akan terlalu bermasalah jika distribusi tenaga kerja yang bekerja di non-tradeable sector lebih besar ketimbang tradeable sector. Masalahnya, tenaga kerja di Indonesia justru menumpuk di tradeable sector, di mana untuk sektor pertanian dan industri sudah menyerap tenaga kerja sekitar 52% dari total tenaga kerja. Deskripsi ini dengan mudah menerbitkan kesimpulan bahwa selama sektor riil terjebak dalam pertumbuhan rendah, maka masalah kemiskinan dan pengangguran sulit diatasi. Hal ini pula yang memberikan penjelasan mengapa kemiskinan dan pengangguran hanya turun tipis dalam 5 tahun terakhir meskipun dana ratusan triliun rupiah telah digelontorkan.
Kedua, sampai saat inipun distribusi pembangunan ekonomi juga tidak mengalami perbaikan, malah akhir-akhir ini terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Menyimak laporan BPS tersebut, kontribusi Jawa dan Sumatera terhadap pembentukan PDB sudah mendekati angka 82%, sehingga daerah-daerah lain hanya memeroleh sisanya saja. Rasanya, pola ini akan terus bertahan selama 10 tahun ke depan, kecuali ada perubahan yang radikal dalam strategi pembangunan ekonomi. Implikasi dari konsentrasi ekonomi di Jawa dan Sumatera sangat banyak, di antaranya orang-orang terbaik di daerah akan pindah ke Jawa, aliran dana masuk dari luar Jawa ke Jawa, dan daya dukung sektor pertanian/pangan di Jawa akan kian menurun. Bila proses ini dibiarkan berlarut-larut, maka akumulasi persoalan bakal muncul dikemudian hari dan makin sulit dipecahkan, seperti kerawanan pengan, rendahnya mutu sumber daya manusia di daerah, dan lain sebagainya.
Keluar dari Perangkap
Tentu saja masalah pembangunan ekonomi yang terjadi masih sangat banyak lagi, namun dua aspek itu merupakan bagian penting yang harus segera ditangani jika tidak ingin muncul perangkap ekonomi, sosial, dan politik dimasa depan. Pemerintah perlu secara serius mengembalikan dasar pembangunan ekonomi pada sektor pertanian dan industri. Kedua sektor ini terlalu penting diabaikan, karena keterkaiatannya dengan sumber daya ekonomi, kesempatan kerja, dan potensi ekspor. Â Pemerintah harus merumuskan kembali penguatan sektor pertanian dan industri, khususnya dengan dukungan alokasi anggaran (APBN). Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan sektor industri yang berbasis pertanian dan kemaritiman selama sebagian sumber daya pemerintah diarahkan ke sana. Jika kedua sektor ini berkembang, pemerintah tidak perlu menciptakan kebijakan ad hoc dan karikatif untuk menangani kemiskinan dan pengangguran.
Berikutnya, agenda penting yang harus diprioritaskan adalah keseimbangan kontribusi pembangunan ekonomi antarwilayah di Indonesia. Sebagian kekayaan sumber daya alam Indoensia ada di luar Jawa, sehingga tidak logis apabila daerah tersebut dibiarkan tetap miskin seperti sekarang. Kesadaran sebagai bagian dari wilayah Indonesia tidak bisa hanya dinafkahi dari sisi sosial dan politik, tapi juga mesti disuapi dari sisi ekonomi. Pemicu terpenting dari agenda keseimbangan pembangunan antarwilayah ini adalah infrastruktur, investasi, dan insentif kebijakan pemerintah. Ketiga hal ini harus berpadu padan sehingga membentuk sinyal kepada seluruh masyarakat/pelaku ekonomi (termasuk investor) bahwa orientasi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan adalah membentuk keseimbangan aktivitas ekonomi antarwilayah. Sudah terlalu banyak konsep yang didesain untuk menangani persoalan ini, yang ditunggu saat ini tinggal niat baik pemerintah.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FE
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef