Tadinya saya termasuk orang yang bergembira dengan komposisi tiga capres/cawapres yang akan bertarung dalam “presidential race†kali ini. Kegembiraan itu dipicu oleh kemungkinan adanya pertandingan gagasan ekonomi yang menarik karena perbedaan spektrum yang luas antarkandidat. Pertama, incumbent dengan segala prestasi dan keterbatasannya dengan mudah bisa dinilai platform ekonominya dengan melihat pekerjaan yang dilakukan selama sekitar 5 tahun terakhir. Kedua, pasangan Megawati – Prabowo merupakan kombinasi yang kompleks mengingat perbedaan antara kebijakan ekonomi yang dilakukan Megawati selama menjadi presiden dengan platform Prabowo (Partai Gerindra). Ketiga, pasangan JK – Wiranto mengemukakan platform ekonomi yang tampak tidak terlalu “heroikâ€, tetapi disemangati oleh realitas ekonomi yang ada di lapangan. Ketiga dasar platform itulah yang membuat saya berpikir akan terjadi pertarungan ide yang apik.
“Crouching Tigerâ€
Bayangan pertarungan ide yang keras dan menarik itu mendadak punah ketika deklarasi SBY – Boediono dilakukan. Orasi Boediono sebagian diarahkan untuk membalik serangan yang menuduhnya ekonom “neoliberalâ€. Secara eksplisit Boediono menyatakan tidak percaya dengan mekanisme pasar bebas dan justru menghendaki intervensi negara melalui regulasi yang kuat. Tentu saja ini menjadi antiklimaks karena pertarungan ide “head to head†yang diharapkan itu menjadi pupus. Terhadap pernyataan Boediono tersebut terdapat dua hal yang dapat dikomentari. Pertama, sebetulnya Boediono perlu memberi pelajaran yang bagus kepada publik mengenai jalur neoliberal tersebut. Pembelajaran itu tidak lain adalah memberi argumentasi rasionalitas di balik paham itu, tentu di samping kelemahan yang ada di baliknya. Sebaliknya, saya malah menangkap adanya ketakutan yang berlebihan terhadap tuduhan itu sehingga mesti disembunyikan dalam desain platform ekonominya.
Kedua, pengelakan itu berpotensi menjadi petaka jika dikaitkan dengan kebijakan yang diproduksi pemerintah selama ini, khususnya 4-5 tahun terakhir. Pada saat publik memberikan stempel neoliberalisme terhadap platform ekonomi pemerintahan sekarang (di mana Boediono menjadi pemandunya), tentu tidak dalam posisi menganggap segalanya begitu bebas dan tanpa perlu adanya intervensi negara. Neoliberalisme dalam pemaknaan yang akademik dicirikan dengan kepercayaan mekanisme pasar untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi, sektor swasta diberi ruang yang besar dalam kegiatan ekonomi, modal dan investasi menjadi motor pembangunan ekonomi, intensitas perdagangan internasional, dan penanaman modal/ utang asing sebagai pendorong pembangunan. Pertanyaannya, bukankah pilar-pilar seperti itu yang dipraktikkan selama ini? Bukankah di samping ada kelemahan, pendekatan itu juga memproduksi keunggulan (seperti yang diklaim selama ini)?
Oleh karena itu, penyangkalan terhadap cap neoliberalisme itu sebenarnya tidak perlu dilakukan. Alih-alih, yang dibutuhkan adalah pernyataan terbuka tentang rasionalitas ide itu untuk membangun Indonesia. Pada forum-forum seminar dan diskusi gagasan itu terus dijual dan dipamerkan, tapi mengapa dalam pertandingan politik mereka justru seperti “macan merunduk†(crouching tiger)? Publik mengharapkan Boediono dan tim ekonominya justru berdiri tegak menjelaskan pilihan paham dan kebijakan ekonomi yang diambil selama ini, bukannya kabur/merunduk dengan penjelasan yang amat sumir. Sebab, sebagai sebuah paham, neoliberalisme juga layak diberi panggung dalam pilihan kebijakan ekonomi di Indonesia. Sayangnya, penganut dan penganjur mazhab ini tidak memiliki kepercayaan yang teguh atas paham yang diyakininya (setidaknya dalam medan politik). Inilah yang nantinya menghadirkan selisih jalan antara platform yang diucapkan dan kebijakan yang diimplementasikan.
Uji Konsep Alternatif
Sementara itu, terdapat peluang yang besar bagi penganjur paham yang lain untuk mencari alternatif yang segar bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Sebab, sekurangnya selama 4 dekade terakhir konsep pembangunan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola perekonomian Indonesia bisa dikatakan satu warna. Jika istilah neoliberalisme dianggap terlalu keras, setidaknya selama ini pemerintah memberi peran yang sangat besar bagi pasar untuk mengalokasikan kegiatan ekonomi, intervensi pemerintah yang kian dilucuti, semangat yang menggebu untuk mendatangkan penanaman modal asing dan utang luar negeri, serta dukungan terhadap liberalisasi keuangan dan perdagangan. Hasilnya, di samping prestasi-prestasi ekonomi yang dipublikasikan dan diklaim selama ini, seperti pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makro ekonomi; juga menyembulkan luka pembangunan yang tidak kalah banyak, misalnya kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, eksploitasi sumber daya alam, ketergantungan utang, dan porsi pelaku ekonomi asing yang kian membesar.
Tawaran pasangan JK -Wiranto yang mengusung tema “kemandirian ekonomi†harus diperkuat dan diuji dengan agenda ekonomi yang lebih detail sehingga tidak jatuh dalam jargon kosong yang sulit diimplementasikan. Dalam beberapa hal agenda detail itu sudah diperinci cukup jelas, misalnya mengurangi atau meniadakan campur tangan konsultan dan lembaga asing (multilateral), fokus kepada pembangunan sektor riil ketimbang sektor keuangan/pasar modal, dan pemihakan terhadap pelaku ekonomi kecil dan sumber daya ekonomi lokal. Jika agenda-agenda ini dijelmakan dalam kebijakan ekonomi, maka potensi untuk mengubah tampilan ekonomi Indonesia menajdi cukup besar. Sekurangnya, dengan fokus kepada sektor riil, maka problem pengangguran akan teratasi karena pembukaan kesempatan kerja lebih banyak di sektor riil, bulkan sektor keuangan. Hasilnya, persoalan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan juga terselesaikan dengan sendirinya.
Seterusnya, tawaran pasangan Megawati – Prabowo juga tidak kalah menawan. Hanya, publik dalam beberapa hal agak skeptis akibat sejarah pemerintahan Megawati sebelumnya yang tidak kalah masif dalam melakukan liberalisasi, seperti penjualan BUMN. Sungguh pun begitu, tanpa menengok kisah lampau itu, platform ekonomi yang diusung Prabowo (seperti dipahami, Prabowo akan diberi wewenang mengurus ekonomi jika pasangan ini terpilih) memberikan warna yang kontras. Antusiasmenya yang begitu menyala untuk membangun ekonomi kerakyatan lewat pembelaan terhadap kaum tani, nelayan, buruh, sektor informal, pasar tradisional, dan lainnya perlu diapresiasi karena sekurangnya dia tidak takut terhadap resistensi dari konstituen lainnya (misalnya pengusaha besar). Akhirnya, risalah ini semoga bermanfaat untuk memberi penilaian platform pasangan mana yang berpotensi menghadirkan kesatuan napas antara gagasan dan tindakan (platform asli), serta platform mana yang cuma ditampilkan untuk menjala para pemilih (platform aspal/asli tapi palsu).
Seputar Indonesia, 26 Mei 2009