Pemerintah kian hari makin kehilangan arah tiap kali persoalan ekonomi muncul, sehingga kebijakan yang diproduksi hanya mampu mengatasi masalah sesaat, kadang malah dengan menciptakan jebakan dalam jangka panjang. Dalam soal fiskal, misalnya, ketika subsidi energi membengkak akibat kenaikan harga minyak internasional (dan makin menyusutnya produksi minyak) kebijakan yang diambil hanya menaikkan harga minyak, tanpa sungguh-sungguh berani masuk ke dalam arus pusaran utama masalah. Pada sisi moneter, pada saat nilai tukar mata uang rupiah anjlok terhadap dolar AS akibat rencana pemerintah AS mengurangi kebijakan quantitative easing, respons yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah dengan melonggarkan kembali masa pemegangan surat berharga agar asing berminat kembali membawa modal ke Indonesia. Dalam jangka pendek, kebijakan ini tentu membantu menstabiliasi nilai tukar rupiah, namun di masa depan instabilitas ekonomi makin sulit dikendalikan.
Transaksi Kepentingan
Kasus di atas jika dideretkan tentu masih banyak lagi, misalnya yang terbaru soal mencari konsensus penyelesaian defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Sejak 2012 neraca perdagangan defisit (setelah berpuluh tahun tak pernah mengalami), yang sebetulnya tren itu sudah bisa dilihat dalam 6 tahun terakhir. Pertumbuhan ekspor selalu lebih rendah ketimbang pertumbuhan impor, sehingga pada masa tertentu nilai ekspor akan beririsan dengan impor, yang itu kemudian terjadi pada 2012. Pemerintah bereaksi dengan mempermudah penjualan komoditas primer, karena hanya itu yang dapat dijual masa sekarang. Kebijakan ini mungkin dalam jangka pendek bisa mengendalikan defisit, tapi upaya pendalaman sektor industri menjadi korbannya. Selebihnya, pemerintah juga alpa tentang penyebab utama terhadap peningkatan impor itu, yaitu percepatan liberalisasi perdagangan (yang tanpa kalkulasi masak) telah menyergap pasar domestik dalam jeratan barang internasional.
Sementara itu, dalam kasus defisit neraca transaksi berjalan problem yang tak pernah disinggung adalah kebebasan lalu lintas modal, misalnya kemudahan bagi PMA untuk membawa keuntungan ke negara asal (repatriasi), dan sektor jasa yang terus jeblok. Dalam paket kebijakan ekonomi yang disusun pemerintah beberapa waktu lalu, solusi untuk mengatasi transaksi berjalan ini adalah: mendorong ekspor dan memberikan tambahan pengurangan pajak ekspor padat karya, menurunkan impor minyak dan gas dengan mendorong penggunaan biodiesel, menetapkan pajak impor barang mewah dari sekarang 75% menjadi 125 – 150%, dan memerbaiki ekspor mineral dengan memberikan relaksasi kuota. Sekali lagi, kebijakan itu mungkin saja menolong dalam jangka pendek (namun dengan keraguan yang besar), tapi sama sekali sekali tidak menyasar masalah yang benar-benar terjadi. Tanpa berani mengubah kebijakan repatriasi dan sektor jasa, maka soal defisit transaksi berjalan akan menjadi abadi.
Satu lagi yang bisa dimunculkan adalah kebijakan dan manajemen pangan yang sulit dipahami kerangka besarnya. Pemerintah berhasrat mencapai swasembada pangan, khususnya komoditas strategis, seperti beras, gula, jagung, kedelai, dan daging, tapi keputusan yang diambil makin menjauhkan dari tujuan tersebut. Singkatnya, jika pemerintah ingin meraih kecukupan produksi untuk kebutuhan domestik, maka insentif petani harus ditingkatkan agar bergairah menanam. Namun, alih-alih petani diberi gula-gula ekonomi, yang terjadi justru dihajar dengan aneka kebijakan yang menyengsarakan mereka. Kebijakan relaksasi impor selalu dipilih bila pemerintah dikepung dengan lonjakan harga pangan di dalam negeri, sehingga petani kehilangan insentif berproduksi. Pola ini patut diterima jika dilakukan sesekali, namun apabila sudah menjadi tradisi secara turun-temurun maka laik dipertanyakan: pemerintah tak cakap menganalisis problem atau ada transaksi kepentingan di balik kebijakan tersebut.
Kebajikan Ideologi
Pemerintah boleh saja mengambil sekian banyak opsi kebijakan ekonomi untuk mengatasi persoalan yang muncul. Boleh jadi pilihan kebijakan itu berbeda dengan pikiran banyak orang (ekonom), namun itu tidak masalah sepanjang opsi itu memiliki tautan dengan akar persoalan yang terjadi dan proyeksi tujuan yang ingin dicapai dalam jangka panjang. Jika model kebijakan itu yang dipilih, maka pemerintah dinilai mempunyai agenda besar yang hendak dicapai sehingga bisa merumuskan kebijakan dan program ekonomi yang subtansif. Sebaliknya, apabila kebijakan ekonomi yang disusun terlepas dari kaitan dengan dasar persoalan, apalagi dengan perencanaan jangka panjang yang telah dibuat, maka pemerintah lebih menafkahi kepentingan pragmatis jangka pendek. Pragmatisme di sini dimaknai sebagai opsi terapi permukaan tanpa memiliki energi penyelesaian di masa depan. Jika merujuk beberapa contoh kasus kebijakan di muka, maka hari ini spirit pragmatisme itu tengah bersemayam dalam perilaku pengambil kebijakan.
Pada titik yang lebih mendasar, pragmatisme itu sebetulnya berakar dari kegamangan menentukan ideologi ekonomi yang menjadi pegangan. Pemerintah AS selama tiga dekade terakhir dianggap mengalami persoalan yang sama dengan patologi di Indonesia karena miskinnya kaitan kebijakan ekonomi yang dipilih dengan ideologi yang mereka yakini. Inilah yang menjadi penjelas mengapa terjadi ketakseimbangan makroekonomi AS dalam wujud defisit anggaran, pengangguran struktural, dan peningkatan ketimpangan pendapatan (Wolnicky, 2012). Superioritas pragmatisme itu hanya dapat dihentikan bila loyalitas terhadap kebajikan ideologi hadir dalam setiap menguliti kesenjangan antara konsep dan realitas. Sisi inilah yang hilang dari arena formulasi kebijakan ekonomi di Indonesia, sehingga produktivitas kesalahan kebijakan kian meningkat.
Pada akhirnya, pertanyaan rumit yang harus dijawab adalah: adakah jalan keluar mujarab dari problem pelik ini? Saya kira kita butuh tiga tingkatan tindakan berikut ini. Pertama, keraguan terhadap ideologi negara mesti dihentikan dan kemudian dibumikan dengan bahasa yang lugas. Ideologi negara dirumuskan menjadi “mantra ekonomi†yang diamini kredibilitasnya, yang bila merujuk konstitusi kurang lebih berbunyi: kesejahteraan ekonomi, usaha bersama, dan keadilan sosial. Kedua, bahasa praktis yang kaya nilai itu harus dioperasionalkan dalam bentuk sistem ekonomi yang sekurangnya mengatur soal hak kepemilikan, mekanisme kerjasama usaha (bukan persaingan ekonomi), model perencanaan, dan distribusi pelaku ekonomi. Ketiga, merumuskan kebijakan ekonomi strategis berlandaskan ideologi dan sistem ekonomi yang disusun. Selebihnya, tinggal kesetiaan tiap rezim untuk menjalankannya secara total agar masa kegelapan segera berakhir.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef