Langkah pemerintah untuk melakukan privatisasi BUMN kembali membuncah setelah sempat meredup tahun 2005-2006. Harus diakui, pergantian pucuk pimpinan kementerian BUMN merupakan pemicu kegairahan privatisasi tersebut, setelah menteri sebelumnya cenderung mengerem proyek privatisasi. Di antara BUMN yang akan diprivatisasi tahun ini di dalamnya termasuk empat bank, yakni Bank Mandiri, BNI, BTN, dan BRI. Sampai saat ini, pemerintah masih menguasai penuh BTN (100%), BNI 99,11%, Bank Mandiri 68,93%, dan BRI 57,56% (JP, 20/3/2007). Dengan adanya privatisasi dipastikan kepemilikan saham pemerintah akan berkurang, bahkan bisa jadi bukan lagi pemilik (pemegang saham) mayoritas. Rencana privatisasi sektor perbankan ini tentu patut mendapatkan intensi yang mendalam mengingat terdapat beberapa implikasi serius yang bakal terjadi seiring berjalannya privatisasi, khususnya pergerakan sektor riil.
Kondisi Sektor Perbankan
Setidaknya saat ini terdapat tiga kondisi yang menempel pada sektor perbankan nasional. Pertama, level intermediasi perbankan yang sangat rendah, yang ditunjukkan oleh angka LDR (loan-deposit ratio) sekitar 62% tahun 2006 (padahal benchmark BI sebesar 94,75%). Tingkat LDR yang rendah tersebut merupakan kombinasi dari dua sebab, yakni situasi sektor riil yang nyaris lumpuh akibat kenaikan harga BBM tahun 2005 dan kebijakan otoritas moneter yang membuka marjin terlalu besar antara BI rate dengan bunga deposito. Dalam situasi tersebut, perbankan cemas dengan risiko pemberian kredit sehingga lebih memilih melakukan investasi dalam bentuk lain. Pilihan investasi itu antara lain adalah menempatkan dana pihak ketiga ke SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Sampai Maret 2007, dana SBI itu mencapai Rp 211 triliun. Akibatnya, pemerintah harus menanggung pembayaran bunga SBI sekitar Rp 20 triliun/tahun dan sektor riil menjadi macet.
Kedua, kepemilikan asing yang semakin besar dalam sektor perbankan. Tercatat bank-bank swasta nasional yang mayoritas kepemilikannya dikuasai asing adalah BCA, Niaga, Danamon, BII, Lippo, NISP, dan Buana. Di luar itu, masih banyak bank-bank lain di mana pihak asing bukan pemilik saham mayoritas, seperti Bank Permata dan Panin (Bank Indonesia, 2006). Jika kepemilikan asing mayoritas, maka tentu visi dan operasi perusahaan akan mengikuti pemegang saham terbanyak. Celakanya, data yang ada menunjukkan bahwa kontribusi bank asing terhadap kredit UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) hanya sekitar 5%. Bandingkan dengan donasi jenis bank lainnya, misalnya Bank Persero (BUMN) yang mencapai 34%, Bank Swasta Nasional (47%), dan BPD (13%) terhadap kredit UMKM (Bank Indonesia, 2007). Data ini memang belum akurat karena tidak mengomparasikan dengan total kredit masing-masing jenis bank. Namun, data itu setidaknya memberikan sinyal tentang segmen pasar yang hendak dituju oleh jenis-jenis bank di atas.
Ketiga, dalam kasus bank BUMN, terdapat indikasi perbaikan kinerja perusahaan sejak iklim kompetisi dan tata kelola perusahaan diimplementasikan. Data tahun 2006 memberi ilustrasi Bank Mandiri memeroleh laba Rp 2,421 triliun (melompat 300% dari 2005), BNI mencetak profit Rp 1,929 triliun (meningkat 36% dari 2005), dan BRI mengakumulasi keuntungan Rp 4,26 triliun (naik hampir 12% dari 2005). Jika laba bank BUMN tersebut dibandingkan dengan perolehan privatisasi yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini, maka terdapat selisih yang mencolok. Misalnya, tahun 2006 lalu angka prognosa hasil privatisasi hanya Rp 2,1 triliun (lebih kecil dari laba Bank Mandiri tahun 2006). Rekor penerimaan privatisasi terjadi tahun 2003 yang mencapai Rp 9,9 triliun. Jadi, bank BUMN yang hendak diprivatisasi tersebut sebetulnya secara operasional bisnis sedang menuju ke jalur yang benar, sekurangnya dilihat dari pergerakan laba.
Proyek Privatisasi
Deskripsi situasi sektor perbankan nasional di atas memberikan arahan mengenai perlu tidaknya dilakukan privatisasi di sektor perbankan. Jika privatisasi ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara (mengisi APBN), maka rencana itu harus gugur karena sebenarnya sumbangan privatisasi sangat kecil, lebih-lebih dikomparasikan dengan laba bank BUMN tersebut. Apabila tujuan penerimaan negara ini dijadikan alasan utama, lebih masuk akal pemerintah menggenjot penerimaan dividen BUMN sebab sumbangannya lebih besar sepuluh kali lipat ketimbang hasil privatisasi (tahun 2006 sumbangan dividen BUMN mencapai Rp 21,4 triliun). Demikian pula, bila tujuan privatisasi untuk memperbaiki iklim kompetisi, maka untuk kasus sektor perbankan hal itu menjadi tidak bernalar. Sebab, perbankan merupakan salah satu sektor ekonomi yang paling kompetitif (pasar persaingan sempurna) dengan beroperasinya ratusan bank, termasuk bank asing.
Fakta lain yang harus dipertimbangkan adalah komitmen sektor swasta terhadap ekonomi skala kecil yang dihuni sebagian besar masyarakat, seperti pertanian dan UMKM. Sulit membayangkan, misalnya, ketika BRI nanti sahamnya dikuasai swasta (asing) akan tetap memiliki komitmen menyalurkan kreditnya kepada UMKM, seperti yang dijalankan selama ini. Jika bank dimiliki negara, relatif mudah bagi pemerintah mengarahkan agar visi usaha berkesuaian dengan situasi ekonomi masyarakat, khususnya bila fungsi intermediasi tidak berjalan. Jadi, khusus di sektor perbankan (juga sektor lain, misalnya telekomunikasi/pertambangan), terdapat aspek-aspek lain yang mesti dipertimbangkan sebelum privatisasi dilakukan. Apabila seluruh argumentasi ini masih dianggap rapuh, sebaiknya privatisasi diprioritaskan kepada pelaku UMKM dan sektor pertanian sebagai pemegang sahamnya (melalui konversi credit to stocks). Dengan jalan ini akan tetap dijamin eksistensi perbankan betul-betul bermanfaat bagi kepentingan ekonomi nasional, bukan sekadar pemodal kakap (asing).
Jawa Pos, 10 Juli 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)