Selama lebih dari satu dekade ini terdapat perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian nasional. Krisis ekonomi datang silih berganti dan menjadi salah satu alasan penting terjadinya perubahan ekonomi tersebut. Pemerintah telah berbuat semampunya untuk menghadapi dan mengatasi krisis ekonomi itu, salah satunya dengan mendesain kebijakan reformasi ekonomi. Terlepas dari keberhasilan beberapa aspek tertentu, namun reformasi ekonomi itu masih banyak meninggalkan tumpukan masalah. Salah satu yang menjadi sumber persoalan adalah diabaikannya aspek kelembagaan sebagai pilar penting dalam menjalankan reformasi ekonomi. Tulisan ini bermaksud menunjukkan aspek-aspek kelembagaan ekonomi, khususnya pada level makro dan mikro, yang dialpakan dalam proses reformasi ekonomi tersebut.
Kerapuhan Kelembagaan Makro
Selain argumentasi tentang pilihan dan urutan kebijakan reformasi ekonomi yang dianggap sebagian kalangan (baca: ekonom) bermasalah, problem reformasi ekonomi yang menghasilkan capaian tidak optimal disebabkan juga oleh ketiadaan strategi reformasi kelembagaan yang solid. Pada titik ini, reformasi kelembagaan merupakan “enabling environment†yang membuat kebijakan reformasi dapat berjalan seperti yang diharapkan. Sekurangnya terdapat tiga aspek reformasi kelembagaan pada level makro (institutional environment) yang kurang disentuh pada saat pemerintah menjalankan kebijakan reformasi ekonomi. Ketiga aspek kelembagaan itu tidak lain adalah kelembagaan reformasi administrasi (administrative reform), sistem hukum (legal system reform), dan politik (political reform) [Chowdhury, 1999:389]. Negara-negara yang berhasil menjalankan kebijakan reformasi pasti menyentuh kelembagaan makro tersebut karena ketiganya sangat memengarui kinerja kegiatan ekonomi.
Aspek reformasi administrasi-birokrasi ini nyaris tidak disentuh dalam desain reformasi ekonomi. Inilah yang kemudian membuat prosedur dan biaya memulai bisnis di Indonesia menjadi tidak efisien. Data memperlihatkan lama memulai bisnis di Indonesia pada 2009 masih 60 hari (hanya lebih bagus daripada Kamboja dan Timor Leste) dan ongkos memulai bisnis mencapai 26% dari pendapatan per kapita (cuma lebih murah ketimbang Kamboja dan Filipina) [World Bank, 2009]. Reformasi terhadap sistem legal juga tidak berjalan, sehingga pencurian hak cipta, penjiplakan, dan pembajakan merupakan hal yang jamak dalam keseharian kegiatan ekonomi. Implikasinya, insentif ekonomi untuk melakukan investasi menjadi hilang. Studi yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Counsultancy) pada 2010 menyebutkan Indonesia memiliki catatan terburuk dalam melindungi hak kekayaan intelektual di Asia (peringkat paling buncit dari 12 negara Asia yang disurvei).
Terakhir, pekerjaan rumah dianggap berakhir ketika reformasi politik telah dijalankan. Makna reformasi politik yang betul bukan hanya secara prosedur sudah mengadopsi unsur-unsur penting dari demokrasi, seperti pemilihan umum yang terjadwal, eksistensi parlemen, dan pelembagaan media untuk berekspresi. Di sini diandaikan, jika kegiatan ekonomi sudah dideregulasi dan sistem politik telah demokratis, maka patronase antara politisi dan birokrat dapat dibatasi dalam sistem ekonomi yang dipandu oleh pasar (market-driven economic system). Realitasnya, ketika sistem politik demokratis tidak ditopang dengan aturan main yang rinci, maka agenda reformasi ekonomi berpotensi ditelikung oleh political rent-seekers. Misalnya, APBN/APBD sebagian menguap ke saku para “political fund managers†yang membiayai Pemilu/Pilkada. Inilah kerapuhan kelembagaan makro yang tidak diperhatikan di Indonesia.