Sampai kini tidak ada tanda-tanda penyerapan APBN mengalami perbaikan dari waktu ke waktu. Pola penyerapan APBN tetap saja seret pada awal tahun dan baru dipacu pada semester kedua, lebih khusus lagi triwulan IV. Sampai dengan pertengahan Juni 2010 penyerapan APBN hanya 36%, masih jauh dari kondisi ideal (50%). Situasi inilah yang kemudian membuat efektivitas APBN menjadi rendah, meskipun pada akhirnya tetap saja pada ujung tahun sebagian besar anggaran itu terserap. Pertanyaan yang kerap muncul, mengapa penyerapan APBN itu tidak pernah dapat diperbaiki setelah sekian lama berjalan seperti itu? Apakah seluruhnya hanya karena faktor teknis, seperti yang selama ini dinyatakan oleh Menteri Keuangan? Pernyataan terbaru yang disampaikan oleh Menkeu yang mengatakan keterlambatan itu disebabkan sebagian besar kuasa anggaran masih menyesuaikan dengan sistem anggaran yang ditetapkan Kementerian Keuangan, rasanya sulit untuk dipahami.
Argumentasi Keterlambatan
Secara teknis ada beberapa aspek yang dapat dipahami dengan seretnya penyerapan anggaran pada awal tahun. Pertama, pada awal tahun setiap kementerian dan lembaga disibukkan dengan telaah atas perencanaan yang sudah dibuat. Telaah ini diperlukan untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan itu memang telah sesuai dengan kebutuhan pada tahun anggaran berjalan. Penyerapan lebih dipersulit lagi karena sebagian proyek/program sejak awal tidak diikuti dengan jadwal pelaksanaan yang jelas. Kalaupun jadwal sudah tersedia, sifatnya hanya sebagai panduan dan bukan sebagai target pelaksanaan. Lebih dari itu, secara psikologis para birokrat juga belum tergerak untuk segera menginisiasi program/proyek yang sudah “fixed†karena menganggap waktu anggaran masih lama, sehingga program yang sederhana sekalipun tidak segera dieksekusi. Faktor inilah yang kemudian menyebabkan pada awal tahun tidak banyak kegiatan yang dapat dieksekusi.
Kedua, setiap program yang berjalan menghendaki proses tender yang memakan waktu untuk menyesuaikan dengan aturan. Proses tender ini kerap memakan waktu berbulan-bulan sehingga praktis pada triwulan I kegiatan yang harus menggunakan prosedur tender belum dapat dimulai. Proses tender ini akan lebih lama jika nilai proyek itu lebih besar dan pengerjaannya rumit. Bahkan, dalam contoh yang ekstrem, di daerah (dengan menggunakan dana APBN/APBD) tender harus diulang karena jumlah perusahaan yang mengikuti tender kurang dari persyaratan (karena perusahaan di daerah itu amat terbatas). Di beberapa daerah yang terpencil susah mencari mitra (kontraktor/perusahaan) untuk pengerjaan kegiatan program yang relatif kompleks, misalnya kegiatan yang membutuhkan teknologi tinggi. Jadi, faktor prosedur (tender) dan keterbatasan mitra (pihak ketiga yang mengerjakan proyek) bisa menjadi kendala pengerjaan program.
Ketiga, terdapat jenis-jenis program/proyek tertentu yang tidak tepat apabila dilakukan pada awal tahun, seperti monitoring dan evaluasi atas program/proyek yang dijalankan. Program-program semacam itu memang baru dapat dilakukan pada akhir tahun. Juga ada kegiatan-kegiatan yang pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan musim, khususnya berkaitan dengan sektor pertanian. Subsidi benih dan pupuk, misalnya, tentu baru tepat diberikan apabila petani memasuki masa tanam. Masalahnya, masa tanam itu baru tiba sekitar September/Oktober sehingga tidak tepat jika dieksekusi pada awal atau pertengahan tahun. Sebaliknya, ada kegiatan-kegiatan yang sebenarnya lebih tepat dilakukan pada awal tahun dengan pertimbangan lebih efektif, misalnya pembangunan jalan (kalau dilakukan pada musim hujan biasanya akan tersendat). Sayangnya, pembangunan jalan ini jarang bisa dimulai pada awal tahun anggaran.
Alternatif Perbaikan Penyerapan
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka sudah seharusnya pemerintah berupaya memerbaiki penyerapan anggaran ini sehingga efektivitas APBN menjadi lebih tinggi. Pertama, jadwal pelaksanaan proyek (time schedule) sudah waktunya diberlakukan secara ketat. Masing-masing Kementerian dan Lembaga (KL) harus membuat jadwal program itu secara ketat sehingga memudahkan pengaturan penyediaan anggaran dan pengukuran kinerja. Kementerian Keuangan sebagai bendahara keuangan negara berperan sebagai koordinator dalam mengawal jadwal implementasi tiap-tiap program pada masing-masing KL. Dengan cara ini, Kementerian Keuangan maupun KL pemilik program sama-sama dintungkan karena panduan setiap program telah jelas. Bagi Kementerian Keuangan pengaturan arus keuangan menjadi lebih terang, sedangkan bagi KL menjadi mudah mengajukan klaim pembayaran atas setiap program yang akan atau telah dilakukan.
Kedua, harus ada mekanisme reward and punishment bagi KL yang berprestasi dan berkinerja buruk sehingga ke depannya tidak terulang lagi (bagi KL yang kinerjanya buruk). Khusus untuk penalti bagi KL yang kinerjanya jelek, aneka hukuman bisa diberikan, misalnya anggaran tahun berikutnya dipotong. Pemotongan anggaran bagi KL merupakan penalti yang pasti akan ditakuti karena meraka menjadi tidak bisa bergerak pada tahun berikutnya. Alternatif lainnya adalah kegiatan yang terlambat dilakukan tidak akan dibiayai oleh Kementerian Keuangan sehingga melatih masing-masing KL menjadi lebih disiplin. Penalti ini bisa diberikan ke KL manapun, termasuk Kementerian Pendidikan (meskipun sudah ada aturan captive-budget sebesar 20% dari APBN). Sebaliknya, bagi KL yang prestasinya bagus tentu harus diberi insentif, seperti peningkatan anggaran pada periode berikutnya. Cara ini akan mendorong masing-masing KL lebih taat dengan perencanaan yang telah dibuat.
Terakhir, ada tendensi keterlambatan penyerapan anggaran ini terkait dengan praktek korupsi yang masih banyak terjadi. Proyek-proyek yang dikerjakan pada akhir tahun membuka ruang korupsi yang lebih besar. Ilustrasinya, pengerjaan infrastruktur (misalnya jalan) yang seharusnya dikerjakan selama 9 bulan, tiba-tiba harus dikebut dalam 4 bulan (karena harus selesai akhir tahun). Penghematan 5 bulan itulah yang menjadi ruang rente ekonomi yang akan dinegosiasikan antara pemilik proyek (birokrasi) dengan pelaksana proyek. Pada kasus ini bukan sekadar penyerapan anggaran menjadi buruk, tetapi kualitas program juga ikut dikorbankan. Di sini, pemerintah mesti tegas bahwa setiap proyek harus dikerjakan dengan rentang waktu yang rasional sehingga tidak menjadi ajang perburuan rente dan mengorbankan kualitas. Semua langkah ini menghendaki kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden (juga Menteri Koordinator Perekonomian) yang efektif sehingga seluruh anggaran terkawal dengan baik demi mendorong pembangunan yang berkualitas.