Para pendiri negara bukan sekadar patriot yang punya nyali dan nasionalisme, tapi juga gagasan besar untuk membangun bangsanya. Bung Karno secara jelas menyebut istilah Trisakti yang merujuk konsep berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Mohammad Hatta sendiri banyak mendonorkan pikiran hebat dalam formulasi konsep ekonomi, yang antara lain termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 (ayat 1-3). Ayat 1 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan†merupakan dasar penyusunan struktur ekonomi yang otentik dan berpijak kepada kondisi sosio-budaya masyarakat Indonesia. Keterangan singkat ini memberikan pemahaman bahwa negara ini diproklamasikan bukan tanpa visi, tapi justru dihidupi dengan segepok ide hebat untuk mewujudkan tujuan kemakmuran ekonomi dan keadilan sosial. Mereka punya mimpi bahwa Indonesia merdeka adalah antitesa dari Indonesia yang terjajah.
Dualisme Ekonomi
Pada aras ekonomi, gagasan berdikari secara ekonomi merupakan perasan dari beberapa karakteristik ekonomi kolonial yang menempel dalam praktik keseharian rakyat. Pertama, ekonomi kolonial dicirikan oleh kegiatan ekonomi ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya alam/SDA untuk dibawa ke negara penjajah. Indonesia memiliki SDA yang luar biasa sehingga menjadi incaran negara besar untuk mengakumulasi kesejahteraan. Mereka hadir bukan sekadar untuk memperluas wilayah secara politik, tapi tujuan akhirnya adalah pengurasan sumber daya ekonomi. Tenaga kerja pribumi diperas tenaganya untuk bekerja di kebun, ladang, dan sawah siang-malam dan hasil produksinya diserahkan kepada penjajah. Produksi komoditas primer itu tidak dikonsumsi di wilayah jajahan, namun dibawa ke negara maju untuk diolah dan dikonsumsi di sana. Â Pada titik ini, kenaikan produksi tidaklah paralel dengan kesejahteraan rakyat pribumi yang telah diperas tenaganya tersebut.
Kedua, watak ekonomi kolonial juga dikarakteristikkan dengan dualisme ekonomi. Ciri dualisme ekonomi itu antara lain bisa dilihat dari eksistensi ekonomi formal dan informal yang hidup berdampingan, ekonomi desa dan kota yang jauh berbeda, dan ekonomi tradisional dan modern yang berlainan level kemakmurannya. Ekonomi formal berada di sektor industri dan jasa, sedangkan ekonomi informal menempel dari kegiatan ekonomi formal. Mereka tak punya izin usaha, tempat yang permanen, dan perlindungan regulasi sehingga masa depan hidupnya tidak pasti. Ekonomi pedesaan tergantung sektor pertanian yang subsisten, sedangkan ekonomi perkotaan dikendalikan oleh sektor industri/jasa yang nilai tambahnya besar. Ekonomi tradisional dikelola dengan keterampilan tenaga kerja seadanya, sedangkan ekonomi modern dipenuhi dengan teknologi dan inovasi. Seluruh kegiatan ini menyatu dalam satu bangsa, tapi dengan hasil ekonomi yang amat jauh berbeda.
Ketiga, ekonomi kolonial juga dibangun dengan watak perbedaan kelas antara tuan (pemilik modal, penjajah) dengan pekerja (penduduk pribumi). Tuan adalah penjajah dengan kasta ekonomi tertinggi yang memiliki hak menentukan nasib hidup pekerja, entah itu terkait jam kerja, jenis pekerjaan, tingkat upah, dan seterusnya. Pekerja tidak memiliki hak apapun untuk turut memutuskan organisasi kegiatan ekonomi, misalnya jam kerja dan tingkat upah. Para pekerja tersebut bahkan kehilangan hak atas tubuh dan pikirannya sendiri. Pola ini dengan mudah jatuh dalam praktik aktivitas ekonomi yang eksploitatif yang tak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka berusaha dengan jam kerja yang luar biasa panjang dengan upah yang amat tak layak. Mereka hanya diperas tenaganya, tapi hasilnya dicuri oleh para tuan tersebut. Inilah yang membuat ekonomi kolonial tak lebih dari orkestrasi kesewenang-wenangan pihak yang memiliki kekuasaan besar terhadap kaum lemah.
Menyalakan Obor Proklamasi
Pada saat Indonesia merdeka, cita-cita membangun kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial menjadi pilar yang penting, yang dibungkus dengan konsep berdikari secara ekonomi. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 merupakan bangun ekonomi yang secara eksplisit ingin menempatkan seluruh rakyat dalam posisi setara dan memiliki hak untuk memutuskan secara kolektif. Dengan konsep ini, struktur ekonomi bukanlah menghadapkan antara pemilik modal dan pekerja, tapi pelaku ekonomi dalam unit usaha (yang bercirikan usaha bersama dan asas kekeluargaan) mempunyai kedudukan yang sejajar. Pemilik modal adalah semua pelaku ekonomi yang terlibat, bukan individu tertentu dengan penguasaan kapital yang besar. Demikian pula, insentif kegiatan ekonomi tidak semata-mata dirangsang oleh laba material, namun lebih dipicu oleh gerakan kolektif dengan pijakan modal sosial. Dengan desain ini dijamin tidak akan ada benturan antara kesejahteraan ekonomi dengan keadilan sosial.
Berikutnya, dualisme ekonomi tak boleh dibiarkan hidup dengan memberi porsi yang tepat antarpelaku ekonomi, yaitu koperasi, badan usaha milik negara (BUMN), dan usaha swasta. Mereka membagi peran sesuai dengan fungsi masing-masing. Koperasi merupakan representasi dari gerakan ekonomi kolektif untuk memerkuat sendi-sendi ekonomi rakyat, sedangkan usaha swasta menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dengan tanpa mengabaikan semangat kesetaraan. Sementara itu, BUMN merupakan agen pembangunan yang memikul tanggung jawab pelaksanaan Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Cabang-cabang produksi yang penting dan SDA berada dalam kekuasaannya dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Ketiga pelaku itu juga memanggul tugas memodernisasi ekonomi dengan mengolah sumber daya, bukan sekadar mengeksploitasi dalam bentuk bahan mentah. Jadi, secara jelas UUD 1945 telah memberi panduan untuk menyusun struktur ekonomi.
Pertanyaannya, apakah gagasan besar itu telah diwujudkan pada saat usia kemerdekaan telah menginjak 69 tahun? Jawabnya belum, bahkan sebagian watak ekonomi kolonial masih melekat. Sebagian kegiatan ekonomi hanya mengeksplorasi SDA tanpa pengolahan dan dibawa ke negara maju (ekspor). 6 dari 10 komoditas ekspor dengan nilai tertinggi dalam bentuk komoditas primer. Sektor formal dan informal masih tegas terlihat, bahkan sektor informal masih menyumbang sekitar 59% dari total tenaga kerja, tentu (sebagian besar) dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Bangun usaha belum mencerminkan sebagai gerakan bersama, tapi diiniasi oleh kekuatan modal sehingga menghilangkan karakter kesetaraan. SDA yang penting bagi negara tidak dikuasai oleh BUMN sehingga sulit digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Jadi, Indonesia sudah memeroleh bungkus kemerdekaan, tapi secara ekonomi isi proklamasi belum bisa dihidangkan. Generasi sekarang tak boleh putus asa, bara dan obor cita-cita proklamasi itu harus terus dinyalakan. Merdeka!
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef